Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

20/PUU-XVII/2019

Keerugian Konstitutional : a) Bahwa syarat KTP elektronik dalam ketentuan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu berpotensi menghilangkan, menghalangi, dan mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti mayarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial warga binaan di lapas dan rutan dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik. Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berpotensi menghilangkan hak memilih dalam pemilu legislatif karena masalah prosedur administrasi perpindahan tempat memilih sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Dalam hal terjadi keadaan tak terduga tidak layak diberikan jangka waktu maksimal 30 hari sebelum hari pemungutan suara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 210 ayat (1) UU pemilu. Pembatasan ini berpotensi menghambat, menghalangi dan mempersulit dilaksanakan hak memilih. b) Bahwa ketentuan Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu tidak dapat dilaksanakan akibat saat ini pembentukan TPS didasarkan atas daftar pemilih tetap atau DPT dengan KTP elektronik dan bukan lagi didasarkan atas domisili faktual pemilih. Ketentuan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu perlu diberi pemaknaan sebagaimana petitum Para Pemohon agar tidak menimbulkan persoalan dan komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan pemilu 2019 5 apalagi hasil simulasi penghitungan menunjukkan kemungkinan terlewatinya batas waktu tersebut (vide perbaikan permohonan hlm 10-13). Legal standing: Bahwa Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dijamin oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Bahwa DPR RI berpandangan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 mengatur mengenai prinsip pelaksanaan pemilihan umum sehingga tidak relevan jika dipertautkan dengan ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu karena tidak mengatur mengenai hak konstitusional bagi setiap warga Negara dan tidak dapat dijadikan batu uji dalam perkara pengujian pasal-pasal a quo UU Pemilu. Bahwa Para Pemohon yang terdiri atas perkumpulan (PERLUDEM) dan perorangan yang berprofesi/berstatus sebagai peneliti, direktur PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, warga binaan di Lapas Tangerang, Wiraswasta, dan Mahasiswa hanya menyampaikan asumsi-asumsi atas keberlakuan ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu. Bahwa pembentuk Undang-Undang melalui pasal-pasal a quo UU Pemilu telah berupaya menjamin pemenuhan hak pilih setiap warga negara dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu Tahun 2019. Oleh karena itu Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu. Selain itu kerugian hak dan/atau kewenanganan konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan dengan berlakunya ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 9 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 2. Pengujian Pasal-Pasal A Quo UU Pemilu a. Pandangan Umum 1) Bahwa amanat pelaksanaan Pemilu di Indonesia adalah perintah konstitusional dari Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah". Sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang ada dan berlaku di negara kita dan berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 maka dapat kita ketahui bahwa ada 2 (dua) pemilihan yakni yang pertama adalah pemilihan “Dewan Perwakilan Rakyat”, “Dewan Perwakilan Daerah”, dan ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” yang kedua, adalah pemilihan “Presiden dan Wakil Presiden”. Walaupun ada dua pemilihan yang berbeda 10 tersebut, namun prinsip utama Pemilu yang wajib tetap ditaati, yakni sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. 2) Bahwa begitu pentingnya peranan Pemilu dan hubungannya dengan perwujudan demokrasi adalah sesuai dengan konsepsi Joseph Schumpeter (mazhab Schumpeterian) yang menempatkan penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi suatu sistem politik untuk dapat disebut demokrasi. Jikalau hal ini dihubungkan dengan sistem pemerintahan kita yakni presidensial, dimana baik jabatan kepala negara maupun jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden, maka kita akan memahami bahwa demokrasi dalam Pemilu ini hanya akan terwujud bilamana Presiden (begitu juga wakil presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat. Adapun bentuk pemerintahan presidensial biasanya diadopsi oleh negara Republik yang memandang negara merupakan milik seluruh warga negara sehingga kepala negara dan kepala pemerintahannya harus dipilih oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu negara kita, negara Republik Indonesia hingga saat ini dengan teguh dan konsisten menganut sistem presidensial karena hingga kini dirasakan adalah yang terbaik. Sejalan dengan hal tersebut adalah tepat bilamana presiden yang merupakan panglima tertinggi dipilih langsung oleh rakyat. 3) Bahwa terkait hak pilih warga negara, baik hak memilih maupun hak dipilih dalam suatu pemilihan, hal ini merupakan salah satu substansi penting dalam perkembangan demokrasi dan sekaligus sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak yang dilindungi dan diakui keberadaannya dalam UUD Tahun 1945. Oleh karena itu setiap warga negara yang akan menggunakan hak tersebut harus terbebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, diskrimininasi, dan segala bentuk tindak kekerasan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan haknya dalam memilih dan dipilih dalam setiap proses pemilihan. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945. Bahwa hal ini juga secara spesifik dimuat dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam International 11 Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) pada tanggal 16 Desember 1966. Pada prinsipnya substansi dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan terhadap hak sipil (civil liberties) dan hak politik yang esensial atau mengandung hak-hak demokratis bagi semua orang. Kovenan ini menegaskan mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan individu yang harus dihormati oleh semua negara. 4) Bahwa dasar dilakukannya pembentukan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (yang kemudian ketika diundangkan menjadi UU Pemilu) yang merupakan juga kodifikasi undang-undang terkait dengan pemilu ini didasari atas Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang dalam putusannya telah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU No.42 Tahun 2008). Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 angka [3.20] huruf b menyatakan bahwa: “Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif”. 5) Bahwa UU Pemilu dibentuk untuk menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan Pemilu yang termuat dalam tiga Undang-Undang, yaitu UU No. 42 Tahun 2OO8 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjawab dinamika politik terkait pengaturan penyelenggara dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen pemilu, dan penegakan hukum dalam satu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. 12 b. Pandangan DPR RI Terhadap Pokok Permohonan 1) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu: a. Bahwa Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu termasuk dalam Bab V UU Pemilu yang mengatur mengenai Penyusunan Daftar Pemilih khususnya bagian kelima mengenai Penyusunan Daftar Pemilih Tetap. Bahwa UU Pemilu secara khusus telah mengatur baik secara substansi maupun secara teknis terkait penyusunan daftar pemilih. Pengaturan ini mulai dari data kependudukan, daftar pemilih, pemutakhiran data pemilih, penyusunan daftar pemilih sementara hingga Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bahwa UU Pemilu ini juga telah mengatur hingga daftar pemilih luar negeri, rekapitulasi DPT, hingga pengawasan dan penyelesaian perselisihan dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 201 sampai dengan Pasal 220 UU Pemilu. b. Bahwa Para Pemohon mendalilkan pengaturan mengenai pendaftaran pemilih yang pindah memilih yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemungutan suara dianggap terlalu singkat untuk mengurus pindah memilih (vide perbaikan permohonan perkara, hal 7-8) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemilu di tahun 2019 ini adalah Pemilu serentak pertama kali yang berbeda dengan Pemilu sebelumnya yang dilaksanakan secara terpisah. Ketika UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 42 Tahun 2008 masih diberlakukan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) dilengkapi dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) paling lambat 3 (tiga) hari menjelang pemungutan suara. Namun demikian dengan mempertimbangkan keserentakan Pemilu yang ada di tahun 2019 berdasarkan desain tahapan pemilu dan untuk mengantisipasi pendistribusian surat suara, penggunaan batas waktu 3 (tiga) hari menjelang hari pemungutan suara seperti dalam undang-undang sebelumnya terlalu beresiko untuk dilaksanakan. c. Bahwa pengaturan mengenai Pemilu dalam UU Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang diberikan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD Tahun 1945 yang berketentuan “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian Pembentuk Undang-Undang dapat menentukan batasan waktu yang rasional bagi pemilih untuk mengurus pindah pemilih agar tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak terganggu sehingga Pemilu dapat dilaksanakan tepat waktu dan efektif. Bahwa pembentuk undang-undang dalam melaksanakan amanat Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 mengenai keserentakan 13 pelaksanaan pemilu dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek dan penuh kehati-hatian. Pertimbangan tersebut mencakup pula di dalamnya mengenai desain tahapan pemilu dan distribusi surat suara untuk pemilu yang perdana dilakukan secara serentak ini penting agar surat suara terjamin dan terdistribusi dengan lancar serta tidak terkendala. 2) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9) UU Pemilu : a. Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berpotensi membatasi hak pilih seseorang untuk memilih anggota legislatif. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan: • Bahwa dalam Pemilu Tahun 2014 Pemilih yang pindah memilih di provinsi lain mendapatkan kertas suara untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota namun bukan berasal dari daerah domisili si pemilih sesuai KTP, melainkan surat suara sesuai daerah pemilihan dimana si Pemilih sedang berada. Kondisi tersebut berdampak pada jumlah suara dan hasil pemilu legislatif tersebut. Kondisi ini tidaklah ideal dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik. • Bahwa setiap anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih pada hakikatnya merupakan pilihan dari rakyat yang ada di daerah pemilihannya. Jika calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut dilantik sebagai Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota maka anggota tersebut harus mewakili aspirasi dari rakyat di daerah pemilihannya. Jika pemilih diberikan hak untuk memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang bukan wakil dari masyarakat di daerah pemilihannya maka akan terjadi ketidaksesuaian antara orang yang dipilih dengan orang yang berhak memilih. • Bahwa jika hak memilih diberikan kepada warga Negara untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di daerah yang bukan merupakan daerah pemilihannya dikhawatirkan dapat terjadi mobilisasi besar-besaran pemilih untuk memilih di daerah pemilihan yang bukan daerah pemilihannya, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya disparitas nilai kursi antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya. • Bahwa pembentuk undang-undang mengharapkan penyelenggaraan Pemilu dapat menjamin prinsip 14 keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan pula partisipasi oleh Pemilih untuk memilih wakilnya dengan mempertimbangkan visi misi calonnya. Maka dengan itu diharapkan agar Pemilih dapat memilih sesuai dengan dapilnya, dengan tujuan untuk mengenal calon wakil rakyatnya. Dengan Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. • Bahwa berangkat dari hal tersebut maka dibentuklah aturan tersebut bukanlah untuk membatasi melainkan untuk memberikan solusi dan kejelasan pelaksanaan norma. Norma yang ada di UU Pemilu sebelumnya yakni di UU No. 8 Tahun 2012 memang tidak mengatur secara detail mengenai pembatasan tersebut. Bahwa ketidakjelasan aturan di UU Pemilu sebelumnya tersebut justru rawan ditafsirkan pemilih yang pindah memilih di TPS lain masih bisa mendapatkan kertas suara sesuai daerah asal domisinya/daerah pemilihannya, padahal secara teknis tidak mungkin dilakukan. • Bahwa berdasarkan fakta empiris dari Pemilu sebelumnya (terakhir di Pemilu Tahun 2014) maka dalam membentuk regulasi Pemilu yang baru sesuai Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 maka pembentuk undang-undang patut berhati-hati dalam membentuk norma agar norma yang dihasilkan nantinya tidak menimbulkan keresahan dalam penerapannya. Pengaturan di Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang dianggap oleh Para Pemohon sebagai pengaturan yang membatasi justru telah dibentuk melalui pertimbangan yang matang oleh Pembentuk Undang-Undang guna membawa kemanfaatan. Pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Hal ini juga telah sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit). 15 • Bahwa Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas. Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa Para Pemohon kurang memahami hal yang dimohonkannya sendiri. b. Bahwa Para Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu dengan asumsi bahwa frasa “dengan kartu tanda penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu berpotensi menghilangkan hak pilih banyak orang. Hal ini dikarenakan saat ini masih banyak penduduk yang belum memiliki KTP elektronik (vide perbaikan permohonan hlm. 10) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan : • Bahwa penggunaan kartu tanda penduduk elektronik telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undang dalam UU Pemilu agar sejalan dengan langkah untuk memaksimalkan penggunaan kartu tanda penduduk elektronik yang telah dimulai sejak lama. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (yang kemudian menjadi UU No. 10 Tahun 2016) semangat bersama akan memaksimalkan penggunakan kartu tanda penduduk elektronik itu telah sama-sama dibangun oleh Pembentuk Undang-Undang. Selain itu pada saat pembahasan UU No. 10 Tahun 2016 Pemerintah telah setuju untuk menuntaskan kewajiban pemenuhan kartu tanda penduduk elektronik untuk sesegera mungkin. Hal ini muncul dalam Pasal 200A ayat (3) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2016 yang berketentuan sebagai berikut : Pasal 200A UU No. 10 Tahun 2016 (3) Surat keterangan sementara dari kepala dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat, baik sebagai syarat 16 dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih dapat dipergunakan paling lambat sampai dengan bulan Desember 2018. (4) Syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019. Bahwa semangat pemenuhan program Kartu Tanda Penduduk Elektronik sejak UU Pilkada ini pula yang menjadikan penggunaannya menjadi penting dalam UU Pemilu. Pasal 200A ayat (3) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2016 dibentuk dengan penuh kesadaran dan pembentuk undang-undang meyakini bahwa seharusnya pembenahan akan pemenuhan kebutuhan kartu penduduk elektronik di tahun 2019 ini seharusnya sudah terpenuhi. Atas dasar itu pula maka Para Pemohon sepatutnya memahami komitmen baik yang coba dibangun oleh pembentuk undang-undang. • Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 34 UU Pemilu, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Lebih lanjut ketentuan Pasal 348 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa “(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi: a pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tetap di TPS yang bersangkutan; b pemilik kartu tanda penduduk etektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan; c pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan; dan d penduduk yang telah memiliki hak pilih.” • Bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan Administrasi Kependudukan diantaranya bertujuan untuk menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional yang akurat, lengkap, mutakhir sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya, mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu, serta menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. • Bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi 17 Kependudukan, antara lain yaitu mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dalam menyediakan data penduduk (database kependudukan) yang terjamin akurasinya dan terkini, Pemerintah melaksanakan pemutakhiran data kependudukan, penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. Proses pemutahiran dan pengelolaan database kependudukan, penerbitan Nomor Induk Kepedudukan (NIK), dan penerapan KTP Elektronik secara nasional, harus dapat berjalan dengan baik dan didukung dengan pembiayaan yang tepat sesuai dengan kebutuhan baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. • Bahwa ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur bahwa : (1). Setiap Penduduk wajib memiliki NIK. (2). NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. (3). NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya. • Bahwa dalam rangka menyukseskan program pembagunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), maka pengaturan dalam UU Pemilu mengatur mengenai adanya KTP Elektronik yang harus dimiliki oleh Pemilih. Apabila mencermati ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Adminduk, Dokumen Kependudukan meliputi: a. Biodata Penduduk; b. KK; c. KTP; d. surat keterangan kependudukan; dan e. Akta Pencatatan Sipil, yang berdasarkan pengaturan dalam UU Adminduk, KK sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 ayat (1) dijadikan salah satu dasar penerbitan KTP. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU Adminduk diatur bahwa “Dalam KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan ruang untuk memuat kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting”. Maka mengacu pada ketentuan tersebut, adanya KTP yang memuat kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting dalam perkembangannya hingga saat ini adalah berupa KTP elektronik. • Bahwa berdasarkan UU Adminduk, Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi chip yang merupakan identitas 18 resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana. Ketentuan Pasal 7 Permendagri Nomor 19 Tahun 2018 tentang Peningkatan Kualitas Layanan Administrasi Kependudukan menentukan bahwa : (1). Penduduk yang wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk tetapi belum melakukan perekaman, wajib segera melakukan perekaman di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota. (2). Penduduk yang telah melakukan perekaman tetapi belum mendapatkan KTP-el segera melapor ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota secara langsung dan/atau melalui nomor telepon pengaduan (call center). • Bahwa ketentuan Pasal 8 Permendagri Nomor 19 Tahun 2018 tentang Peningkatan Kualitas Layanan Administrasi Kependudukan mengatur bahwa Pimpinan lembaga pemerintahan, swasta dan kelompok masyarakat dapat meminta kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota setempat untuk melakukan pelayanan jemput bola administrasi kependudukan. Lebih lanjut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil yang di dalamnya mengatur mekanisme penerbitan KTP El. Maka pengaturan mengeai KTP El dalam UU Pemilu yang dianggap menghilangkan, menghalangi dan mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti mayarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial warga binaan di lapas dan rutan dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik tidaklah benar karena Pemerintah telah memfasilitasi sedemikian rupa. Namun hal ini tentu saja harus ada peran aktif masyarakat. • Bahwa dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 348 ayat (1) UU Pemilu dan pelaksanaan percepatan program KTP El dalam rangka melaksanakan ketentuan mengenai administrasi kependudukan maka kekhawatiran Para Pemohon terkait hilangnya suara atau hak pilih para pemilih telah diantisipasi dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah dan KPU. • Bahwa ketentuan Pasal 349 UU Pemilu yang mengatur: “(1) Pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan serta Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (1) huruf c dan huruf d diberlakukan ketentuan sebagai berikut: a memilih di TPS yang ada di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik; 19 b mendaftarkan diri terlebih dahulu pada KPPS setempat; dan c dilakukan 1 (satu) jam sebelum pemungutan suara di TPS setempat selesai. (2) Untuk warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri yang menggunakan paspor dengan alamat luar negeri, diberlakukan ketentuan: a lebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; dan b dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS setempat.” • Bahwa Para Pemohon memohon agar ketentuan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu harus dimaknai “dalam hal tidak mempunyai KTP Elektronik, karena dapat menggunakan kartu identitas lainnya, yaitu KTP Non Elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, akta nikah atau alat identitas lainnya yang bisa membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum” justru menjadikan validitas jumlah pemilih dengan jumlah suara akan mengalami kerancuan mengingat data kependudukan nasional dalam sistem administrasi kependudukan berikut kejadian-kejadian kependudukan dicatat berdasarkan NIK yang terdapat dalam KTP el. Mengingat terkait dengan ketentuan identitas lain dalam UU Pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 348 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu dalam rangka pelaksanaan Pemilu. 3) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu : Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan TPS dengan basis DPT berpotensi menghambat sejumlah pemilih untuk menggunakan hak pilihnya yang dalam kondisi tertentu tidak dapat memilih di TPS sesuai basis DPT tersebut. Oleh karena itu menurut Para Pemohon pasal ini harus dapat dimaknai pula untuk dapat memungkinkan dibentuknya TPS khusus dengan basis daftar pemilih tambahan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan : • Bahwa Para Pemohon perlu dicermati bahwa pasal ini justru bermaksud memberikan kemudahan sehingga TPS yang ada sebagai tempat pemilih menyalurkan hak pilihnya harus berada di lokasi yang tepat yakni tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Sehingga ketika Para Pemohon mencoba mengaitkannya dengan pembentukan TPS khusus untuk 20 pemilih tambahan adalah tidak tepat dan tidak ada relevansinya. • Bahwa Para Pemohon dalam petitum permohonannya memohonkan MK agar membentuk norma baru yakni membuat norma sebagai berikut “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb”. Selain dari posisi MK yang bukan positive legislator, menurut kewajaran pula untuk membuat TPS khusus yang berbasis pemilih DPTb seperti yang dicontohkan oleh para pemohon dalam rumah tahanan misalnya menjadi sulit diaplikasikan. Bagaimana caranya penyelenggara pemilu membuat TPS khusus dengan basis DPTb yang mana keinginannya juga masing-masing pemilih mendapatkan kertas suara sesuai domisili asalnya. Jika pola semacam ini jika dilaksanakan maka akan menimbulkan kendala baik secara teknis maupun aturan. Sehingga dalam hal ini Para Pemohon perlu kiranya memahami dampak yang sekiranya dapat terjadi jikalau hal ini dipaksakan karena aplikasinya rumit dengan metode pemilihan yang masih menggunakan surat suara seperti sekarang. 4) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu : Bahwa Para Pemohon mendalilkan berdasarkan simulasi penghitungan suara menujukkan adanya kemungkinan terlewatinya batas waktu yang cuma 1 (satu) hari itu saja, sehingga menurut Para Pemohon perlu dibuka kemungkinan bahwa penghitungan suara dimungkinkan sampai 1 (satu) hari berikutnya sejak hari pemungutan suara. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan : • Bahwa jika mengikuti keinginan Para Pemohon sebagaimana termuat dalam petitum permohonannya yakni meminta MK menjadi positive legislator dengan membuat norma yang berbunyi “jika batas waktu terlampaui, penghitungan suara harus dilanjutkan tanpa henti dan tidak terputus sampai selesai, hingga paling lama 1 (satu) hari sejak hari pemungutan suara”, maka dikhawatirkan perpanjangan waktu penghitungan itu justru menjadikan persoalan baru. Perlu dilihat pula bahwa semenjak UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No. 8 Tahun 2012) begitu juga UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (UU No. 42 Tahun 2008). Dalam Pasal 175 UU No. 8 Tahun 2012 dan Pasal 132 UU No. 42 Tahun 2008 diatur hal yang serupa pula yakni penghitungan suara dilakukan pada hari pemungutan suara dan selesai pula di hari pemungutan suara tersebut. • Bahwa ketika waktu penghitungan suara diperpanjang potensi manipulasi suara pun menjadi terbuka lebar, apalagi Pemilu serentak amanat Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 adalah kali 21 pertama. Oleh karena itu guna menjamin terwujudnya hasil sesuai dengan waktunya maka pembentuk undang-undang menambah SDM bagi penyelenggara Pemilu. Dalam UU Pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan pembaharuan secara kelembagaan. Pembaharuan ini diperlukan karena tantangan kedepan begitu besar. Seperti misalnya dari sisi persyaratan untuk syarat usia mengalami perubahan yakni naik 5 (lima) tahun baik KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota begitu juga Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Naiknya usia minimal ini pula dibutuhkan karena kematangan dalam sikap dan tidak dan tanduk adalah dibutuhkan guna menghadapi tantangan pelaksanaan Pemilu kedepan. Pembaharuan restrukturisai berdampak di tingkatan KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi menjadi berjumlah 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. Untuk KPU Kabupaten/Kota keseluruhannya berjumlah 5 (lima) orang sedangkan untuk Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Begitu juga di tingkatan kabupaten/kota yang mana untuk sisi pengwaas saja ada penguatan kelembagaan dari semula panwas kabupaten/kota menjadi bawaslu kabupaten/kota. Hal-hal semacam ini adalah suatu cara dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi Pemilu serentak yang terselenggara di tahun 2019. • Bahwa dengan demikian Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu adalah tetap dibatasi cukup dihitung dihari itu saja dan tidak perlu diperpanjang hari esoknya lagi. Hal ini guna menjaga keaslian dari hasil Pemilu itu sendiri. Untuk kebutuhan akan kerja keras yang membutuhkan banyak tenaga, struktur penyelenggara pemilu telah ditambah dan hal ini telah dipertimbangkan dengan penuh kehati-hatian oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk UU Pemilu. Pokok permohonan: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 348 ayat (9) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (LNRI Tahun 2017 Nomor 182 dan TLNRI Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak mempunyai KTP Elektronik, karena dapat menggunakan kartu identitas lainnya, yaitu KTP Non Elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, akta nikah atau alat identitas lainnya yang bisa membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum; 3. Menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (LNRI Tahun 2017 Nomor 182 dan TLNRI Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 4. Menyatakan Pasal 210 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (LNRI Tahun 2017 Nomor 182 dan TLNRI Nomor 6109) sepanjang frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “paling lambat 3 (tiga) hari” 5. Menyatakan Pasal 350 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (LNRI Tahun 2017 Nomor 182 dan TLNRI Nomor 6109) sepanjang frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suara secara langsung, bebas dan rahasia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb 6. Menyatakan Pasal 383 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (LNRI Tahun 2017 Nomor 182 dan TLNRI Nomor 6109) sepanjang frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai “jika batas waktu terlampaui, penghitungan suara harus dilanjutkan tanpa henti dan tidak terputus sampai selesai, hingga paling lama 1 (satu) hari sejak hari pemungutan suara” 7. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono

20/PUU-XVII/2019

Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD Tahun 1945.