Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

19/PUU-XVII/2019

Kerugian Konstitusional : Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 210 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 Ayat (2), dan Pasal 348 Ayat (4) UU Pemilu yang pada intinya menurut Para Pemohon berpotensi membuat Para Pemohon tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan/atau menggunakan hak pilihnya secara penuh dikarenakan: a) Tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap TPS daerah asal sesuai alamat KTP elektronik dan tidak bisa mengurus pindah memilih dan dimasukan dalam daftar pemilih tambahan (selanjutnya disebut DPTb) serta singkatnya waktu untuk mengurus pindah memilih yaitu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara; b) Kehabisan surat suara bagi pemohon yang masuk kategori DPTb karena tidak teralokasinya pengadaan surat suara bagi kelompok pemilih DPTb; c) Tidak dapat memberikan hak suaranya untuk semua jenis pemilihan dalam Pemilu serentak ini karena pindah memilih antar provinsi (hanya memperoleh surat suara presiden). Legal Standing : DPR RI berpandangan bahwa ParaPemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo. Selain itu kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusioal yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak bersifat spesifik, aktual dan potensial yang dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu. Oleh karena itu, Para Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Penjelasannya, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Pokok Permohonan : 1) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu: a. Bahwa Pasal 210 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pemilu termasuk dalam Bab V UU Pemilu yang mengatur mengenai Penyusunan Daftar Pemilih khususnya bagian kelima mengenai Penyusunan Daftar Pemilih Tetap. Bahwa UU Pemilu secara khusus telah mengatur baik secara substansi maupun secara teknis terkait penyusunan daftar pemilih. Pengaturan ini mulai dari data kependudukan, daftar pemilih, pemutakhiran data pemilih, penyusunan daftar pemilih sementara hingga Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bahwa UU Pemilu ini juga telah mengatur hingga daftar pemilih luar negeri, rekapitulasi DPT, hingga pengawasan dan penyelesaian perselisihan dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 201 sampai dengan Pasal 220 UU Pemilu. b. Bahwa Para Pemohon mendalilkan pengaturan mengenai pendaftaran pemilih yang pindah memilih yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemungutan suara dianggap terlalu singkat untuk mengurus pindah memilih (vide perbaikan permohonan hlm 7). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemilu di tahun 2019 ini adalah Pemilu serentak pertama kali yang berbeda dengan Pemilu sebelumnya yang dilaksanakan secara terpisah. Ketika UU No. 8 Tahun 2012 dan UU No. 42 Tahun 2008 masih diberlakukan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) dilengkapi dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) paling lambat 3 (tiga) hari menjelang pemungutan suara. Namun demikian dengan mempertimbangkan keserentakan Pemilu yang ada di tahun 2019 berdasarkan desain tahapan pemilu dan untuk mengantisipasi pendistribusian surat suara, penggunaan batas waktu 3 (tiga) hari menjelang hari pemungutan suara seperti dalam undang-undang sebelumnya terlalu beresiko untuk dilaksanakan. c. Bahwa Para Pemohon mendalilkan dirinya pernah mengurus pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor namun setelah dicek di Sistem Daftar Informasi Pemilih (SIDALIH), Pemohon I dinyatakan tidak terdaftar di TPS asal (vide perbaikan permohonan hal 5). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa penentuan DPT sudah melalui proses yang berjalan panjang dimulai dari data pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan hingga menghasilkan daftar pemilih sementara (DPS). Ketika tahapannya masih dalam DPS pun daftar nama diumumkan dan berdasarkan ketentuan Pasal 206 ayat (3) UU Pemilu diberikan kesempatan selama 14 (empat belas hari) bagi masyarakat untuk memberikan masukan ataupun tanggapan (termasuk menyampaikan ke penyelenggara jika nama yang bersangkutan belum ada dalam DPS), dan akhirnya ditetapkan menjadi DPT. Sehingga jika Para Pemohon (utamanya Pemohon I) memang berniat untuk menyalurkan hak pilihnya seharusnya yang bersangkutan selalu memeriksa dan memantau proses pemutakhiran data pemilih dari sejak awal agar permasalahan yang didalilkan Para Pemohon tidak terjadi. d. Bahwa pengaturan mengenai Pemilu dalam UU Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang diberikan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD Tahun 1945 yang berketentuan “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian Pembentuk Undang-Undang dapat menentukan batasan waktu yang rasional bagi pemilih untuk mengurus pindah pemilih agar tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak terganggu sehingga Pemilu dapat dilaksanakan tepat waktu dan efektif. Bahwa pembentuk undang-undang dalam melaksanakan amanat Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 mengenai keserentakan pelaksanaan pemilu dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek dan penuh kehati-hatian. Pertimbangan tersebut mencakup pula di dalamnya mengenai desain tahapan pemilu dan distribusi surat suara untuk pemilu yang perdana dilakukan secara serentak ini penting agar surat suara terjamin dan terdistribusi dengan lancar serta tidak terkendala. 2) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu: Bahwa Para Pemohon menguji Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu dengan dalil bahwa pencetakan surat suara tambahan yang hanya sebanyak 2% dari jumlah suara tetap di suatu daerah tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan akan berbagai kebutuhan yang ada (termasuk mengakomodir hak pemilih pindahan untuk dapat menyalurkan hak suaranya) (vide perbaikan permohonan hlm. 7). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan : • Bahwa basis ideal untuk mencetak surat suara adalah sesuai dengan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap. Kelebihan pencetakan surat suara secara berlebih tanpa batasan yang jelas justru sangat rawan untuk disalahgunakan dan oleh karenanya pembatasan ini diberlakukan dengan maksud untuk mengantisipasi pemilih yang pindah memilih agar masih dapat menyalurkan hak pilihnya. • Bahwa ketentuan mengenai pencetakan surat suara yang dilebihkan sebanyak 2% (dua persen) dari jumlah suara tetap sebagai cadangan, merupakan norma yang umum berlaku dari Pemilu sebelumnya. Norma ini telah diberlakukan sejak UU Pemilu sebelumnya yakni dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 dan Pasal 108 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008. • Bahwa terkait dengan pencetakan surat suara tambahan yang hanya sebanyak 2% dari jumlah suara tetap di suatu daerah tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan akan berbagai kebutuhan yang ada (termasuk mengakomodir hak pemilih pindahan untuk dapat menyalurkan hak suaranya) hal ini merupakan kekhawatiran Para Pemohon yang tidak atau belum terjadi. • Bahwa meskipun cadangan surat suara ditetapkan sebesar 2 % dari jumlah Daftar Pemilih Tetap di setiap TPS, tetapi dalam hal terdapat kekurangan jumlah surat suara maka KPU dapat menetapkan jumlah surat suara yang dicetak setelah adanya rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu sesuai dengan tingkatannya dan/atau setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berbunyi “Dalam hal terdapat kekurangan jumlah surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, KPU menetapkan jumlah surat suara yang dicetak setelah adanya rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu sesuai dengan tingkatannya dan/atau setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi.” Oleh karena itu, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu yang hanya menjadi Daftar Pemilih Tetap sebagai basis pengadaan surat suara ditambah 2% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap berpotensi mengakibatkan Pemohon tidak kebagian surat suara sehingga tidak dapat memberikan suara dalam Pemilu, menjadi tidak beralasan. 3) Pandangan DPR RI terhadap pengujian ketentuan Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9) UU Pemilu : a. Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berpotensi membatasi hak pilih seseorang untuk memilih anggota legislatif. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan: • Bahwa dalam Pemilu Tahun 2014 Pemilih yang pindah memilih di provinsi lain mendapatkan kertas suara untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota namun bukan berasal dari daerah domisili si pemilih sesuai KTP, melainkan surat suara sesuai daerah pemilihan dimana si Pemilih sedang berada. Kondisi tersebut berdampak pada jumlah suara dan hasil pemilu legislatif tersebut. Kondisi ini tidaklah ideal dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik. • Bahwa setiap anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih pada hakikatnya merupakan pilihan dari rakyat yang ada di daerah pemilihannya. Jika calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut dilantik sebagai Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota maka anggota tersebut harus mewakili aspirasi dari rakyat di daerah pemilihannya. Jika pemilih diberikan hak untuk memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang bukan wakil dari masyarakat di daerah pemilihannya maka akan terjadi ketidaksesuaian antara orang yang dipilih dengan orang yang berhak memilih. • Bahwa jika hak memilih diberikan kepada warga Negara untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di daerah yang bukan merupakan daerah pemilihannya dikhawatirkan dapat terjadi mobilisasi besarbesaran pemilih untuk memilih di daerah pemilihan yang bukan daerah pemilihannya, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya disparitas nilai kursi antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya. • Bahwa pembentuk undang-undang mengharapkan penyelenggaraan Pemilu dapat menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan pula partisipasi oleh Pemilih untuk memilih wakilnya dengan mempertimbangkan visi misi calonnya. Maka dengan itu diharapkan agar Pemilih dapat memilih sesuai dengan dapilnya, dengan tujuan untuk mengenal calon wakil rakyatnya. Dengan Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. • Bahwa berangkat dari hal tersebut maka dibentuklah aturan tersebut bukanlah untuk membatasi melainkan untuk memberikan solusi dan kejelasan pelaksanaan norma. Norma yang ada di UU Pemilu sebelumnya yakni di UU No. 8 Tahun 2012 memang tidak mengatur secara detail mengenai pembatasan tersebut. Bahwa ketidakjelasan aturan di UU Pemilu sebelumnya tersebut justru rawan ditafsirkan pemilih yang pindah memilih di TPS lain masih bisa mendapatkan kertas suara sesuai daerah asal domisinya/daerah pemilihannya, padahal secara teknis tidak mungkin dilakukan. • Bahwa berdasarkan fakta empiris dari Pemilu sebelumnya (terakhir di Pemilu Tahun 2014) maka dalam membentuk regulasi Pemilu yang baru sesuai Putusan MK No. 14/PUUXI/2013 maka pembentuk undang-undang patut berhati-hati dalam membentuk norma agar norma yang dihasilkan nantinya tidak menimbulkan keresahan dalam penerapannya. Pengaturan di Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang dianggap oleh Para Pemohon sebagai pengaturan yang membatasi justru telah dibentuk melalui pertimbangan yang matang oleh Pembentuk Undang-Undang guna membawa kemanfaatan. Pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Hal ini juga telah sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit). • Bahwa Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas. Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa Para Pemohon kurang memahami hal yang dimohonkannya sendiri.

19/PUU-XVII/2019

Pasal 210 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu.

Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945