77/PUU-XVI/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pemohon beranggapan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kepastian hukum tentang bagaimana seorang dianggap sakit yang berkepanjangan yang benar-benar dapat dinyatakan tanpa adanya keterangan rekam medis atau keterangan resmi sakit dari rumah sakit maupun analisa ilmiah yang nantinya bisa menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Oleh karena hal tersebut, Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dimohonkan oleh Pemohon untuk direvisi atau ditambahkan kata-kata “rekam medis dari kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit", agar tidak ada permasalahan bagi para pekerja dan para pengusaha dikemudian hari. (vide perbaikan permohonan, angka 6) 2. Bahwa dengan tidak adanya kepastian hukum dari Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan otomatis Pemohon ataupun para pengusaha atau perusahaan wajib membayar para pekerja yang putus kerja dengan menggunakan bunyi Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan walaupun tidak melampirkan bukti rekam medis ataupun surat keterangan resmi sakit dari Rumah Sakit dan Pemohon/pengusaha harus mengeluarkan biaya yang tidak ada kepastian hukumnya apakah Pekerja tersebut sakit berkepanjangan atau tidak (vide perbaikan permohonan, angka 9). Legal Standing: a) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan kostitusional yang diberikan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, yang pada intinya mengatur mengenai jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Bahwa ketentuan Pasal a quo yang diujikan oleh Pemohon pada intinya mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dan pemberian kompensasi bagi Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. Bahwa terhadap pernyataan Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal a quo sudah memberikan kepastian hukum dengan memberikan pengaturan mengenai hak pekerja /buruh untuk mengajukan pemutusan hubungan kerja dan kewajiban Pemberi kerja untuk memberikan kompensasi sebagaimana ketentuan Pasal a quo UU Ketenagakerjaan. Bahwa ketentuan Pasal a quo UU Ketenagakerjaan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan telah mengatur dengan jelas, pasti dan proporsional bagi Pemberi Kerja dan Pekerja/buruh sehingga sudah memberikan jaminan kepastian hukum yang adil kepada kedua belah pihak. Bahwa hak Pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal a quo UU ketenagakerjaan sebagai wujud jaminan perlindungan terhadap hak dasar bagi Pekerja/buruh yang sejalan dengan 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO) yang mengatur tentang penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja. Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu: Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ). Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, tidak ada pertautan antara hak konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan. b) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian atau berpotensi dirugikan dikarenakan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan tidak memiliki kepastian hukum tentang bagaimana seorang dianggap sakit yang berkepanjangan tanpa adanya keterangan rekam medis atau keterangan resmi sakit dari rumah sakit maupun analisa ilmiah yang nantinya bisa menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon kurang memahami ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan secara menyeluruh. Bahwa sudah ada pengaturan mengenai pembuktian kondisi kesehatan dengan surat keterangan dokter bagi Pekerja/buruh yang berhalangan masuk kerja karena sakit dengan berdasarkan keterangan dokter dalam ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan j UU Ketenagakerjaan. Hal ini membuktikan bahwa kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tersebut adalah diakibatkan karena Pemohon sendiri yang kurang memahami UU Ketenagakerjaan secara utuh dan komprehensif. Oleh karenanya, tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan. c) Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan karena adanya Putusan Pengadilan Negeri Nomor 134/2017 yang menyatakan menghukum Pemohon untuk membayar kompensasi dan hak-hak Pekerja secara tunai dan sekaligus (vide perbaikan permohonan angka 7). Bahwa terhadap kerugian yang didalilkan Pemohon, DPR RI berpandangan yang dialami Pemohon adalah akibat dari penerapan hukum atas ketentuan Pasal a quo UU Ketenagakerjaan dan bukan permasalahan inkonstitusionalitas norma Pasal a quo UU Ketenagakerjaan. Sehingga Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa dari uraian diatas, Pemohon tidak memiliki hak konstitusional dalam permohonan pengujian UU a quo dan kerugian yang didalilkan bukanlah kerugian konstitusional, maka sudah jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang di dalilkan oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa DPR RI berpandangan apabila permohonan dari Pemohon dikabulkan maka akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Hal ini tentunya justru bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok Perkara: 1) Bahwa perusahaan dapat mengetahui latar belakang kondisi kesehatan seorang pekerja (buruh) yang akan diterimanya sebagai karyawan pada suatu perusahaan dengan melakukan proses medical check up terlebih dahulu dalam melakukan penerimaan karyawan baru. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 1 angka 2 PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja berbunyi: “Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.” 2) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan: “Bahwa dengan tidak adanya kepastian hukum dari Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan otomatis Pemohon ataupun para pengusaha atau perusahaan harus wajib membayar para pekerja yang putus kerja dengan menggunakan bunyi Pasal 172 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan walaupun tidak melampirkan bukti rekam medis ataupun surat keterangan resmi sakit dari Rumah Sakit dan Pemohon/pengusaha harus mengeluarkan biaya yang tidak ada kepastian hukumnya apakah Pekerja tersebut sakit berkepanjangan atau tidak (vide perbaikan permohonan angka 9) • Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI memberikan pandangan bahwa rekam medis mempunyai arti sebagai keterangan baik tertulis maupun rekaman tentang indentitas, anamnesis, penentuan fisik, pemeriksaan laboratorium/radiologi, diagnosis, segala pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien baik pelayanan rawat jalan, rawat inap, maupun pelayanan gawat darurat yang diberikan kepada pasien. Rekam medis menurut Terminologi Hukum Indonesia bisa digolongkan sebagai benda atau barang (benda berwujud). (https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/06/aspek- hukum-rekam-medik-di-indonesia/) (Posted by : teknosethat in HUKUM KESEHATAN, Rekam Medik. Billy N.) • Bahwa apabila dilihat pada isi ketentuan didalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran) yang mengatur bahwa “(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.” • Dan pada Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan bahwa “(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.” • Bahwa rekam medis yang diinginkan oleh Pemohon terkait dengan Pasal a quo UU Ketenagakerjaan keliru atau tidak berdasar karena menurut ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU Praktik Kedokteran rekam medis perupakan rahasia kedokteran yang tidak dapat diberikan kepada siapapun kecuali untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 3) Bahwa sudah ada pengaturan mengenai pembuktian kondisi kesehatan dengan rekam medis bagi Pekerja/buruh yang berhalangan masuk kerja karena sakit dengan berdasarkan keterangan dokter dalam ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan j UU Ketenagakerjaan yang pada intinya mengatur tentang adanya bukti surat keterangan dokter yang menyatakan Pekerja/buruh berhalangan masuk selama jangka waktu tertentu atau dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja. Bahwa dengan adanya surat keterangan dokter sudah tidak diperlukan adanya rekam medis yang ditunjukkan kepada Pemberi Kerja dalam hal pengajuan pemutusan hubungan kerja oleh Pekerja/buruh. 4) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan: “Bahwa Pemohon sangat merasa dirugikan sekali dengan tidak adanya kepastian hukum dari Pasal 172 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan bukti sebagai berikut: Putusan Perkara No. 134/Pdt. Sus-PHI/2017/PN.Bdg yang mana isinya berbunyi antara lain menyatakan : menghukum Tergugat/Pemohon untuk membayar kompensasi dan hak-hak Penggugat (Pekerja) lainnya secara tunai dan sekaligus kepada Penggugat (Pekerja) dengan jumlah total sebesar Rp 87.621.377,- (delapan puluh tujuh juta enam ratus dua puluh satu ribu tiga ratus tujuh puluh tujuh rupiah).” (vide perbaikan permohonan angka 7) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI memberikan pandangan justru dengan adanya Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut telah memberikan bukti bahwa Pekerja/buruh dalam perkara tersebut dapat membuktikan bahwa benar telah mengalami sakit berkepanjangan selama 12 bulan terus menerus atau lebih dengan menderita cacat pada tangan dan kaki kanan sehingga tidak dapat bekerja, dan hal tersebut sudah dapat dipastikan telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Bandung. Bahwa justru hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf a dan j UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang adanya bukti surat keterangan dokter yang menyatakan Pekerja/buruh berhalangan masuk selama jangka waktu tertentu atau dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja. 5) Bahwa penambahan ketentuan sebagaimana permohonan Pemohon agar ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan direvisi atau ditambahkan kata-kata “rekam medis dari kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit", merupakan perumusan norma baru dalam pasal a quo UU Ketenagakerjaan yang sesungguhnya menjadi kewenangan Pembentuk Undang-Undang. 6) Bahwa terhadap Petitum Pemohon tersebut, DPR RI berpendapat sesuai dengan pendirian Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 yang menyatakan bahwa: “Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata- kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.” Demikian juga mengutip pendapat Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” (Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). 7) Bahwa penambahan ketentuan sebagaimana permohonan Pemohon agar ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan direvisi atau ditambahkan kata-kata “rekam medis dari kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit", merupakan perumusan norma baru dalam pasal a quo UU Ketenagakerjaan yang sesungguhnya menjadi kewenangan Pembentuk Undang-Undang. 8) Bahwa ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD TAhun 1945.
77/PUU-XVI/2018
Pasal 172 UU Ketenagakerjaan
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945