80/PUU-XV/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pemohon I, II, III, IV, XI, XV, dan XVII mendalilkan sebagai pengurus atau mantan pengurus IDI (Pusat maupun Daerah) dan atau beberapa organisasi dalam lingkungan IDI (MKKI, MKEK, Kolegium Dokter Primer Indonesia, POGI, dan PDKI) yang secara konstitusional kedudukan hukumnya dirugikan akibat praktek- praktek penyelenggaraan organisasi profesi secara tidak benar. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13 angka 13) 2. Bahwa Pemohon III, VII, VIII, X, XI, XVI, XVII, XX, XXVII, XXVIII, XXIX, XXX, XXXI, XXXII, dan XXXVI mendalilkan sebagai yang menjalankan praktek dokter mempunyai kedudukan hukum yang dirugikan secara konstitusional dengan keberadaan kolegium (kecuali kolegium ilmu bedah) yang menjalankan proses sertifikasi/resertifikasi tanpa memiliki status sebagai badan hukum. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13) Legal Standing: a) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa Para Pemohon dalam perkara ini secara umum terdiri atas pengajar fakultas kedokteran (guru besar, dosen, dan pensiunan dosen) yang mendalilkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 yang pada intinya mengatur mengenai negara hukum; bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan; pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil; hak hidup sejahtera lahir dan batin; dan hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Bahwa atas dalil tersebut, DPR RI berpandangan, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan mengatur mengenai mekanisme pengelolaan negara yang berdasarkan hukum. Sehingga tidak tepat apabila Para Pemohon menggunakan ketentuan ini sebagai dasar adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional. Bahwa Para Pemohon dalam perkara ini secara umum terdiri atas pengajar fakultas kedokteran (guru besar, dosen, dan pensiunan dosen) dan praktisi kedokteran, sedangkan ketentuan yang diujikan oleh Para Pemohon mengatur mengenai definisi organisasi kedokteran dan definisi kolegium kedokteran indonesia dan kedokteran kedokteran gigi Indonesia serta adanya ketentuan bagi setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi serta persyaratan memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi. Ketentuan ini berlaku bagi setiap orang yang hendak menjadi dokter dan dokter itu sendiri. Oleh karenanya, Para Pemohon yang merupakan pensiunan dosen tidak berkaitan dengan ketentuan yang diujikan dan tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengujikan ketentuan-ketentuan pasal a quo. Selain itu, Para Pemohon yang merupakan pengajar di fakultas kedokteran, baik yang merupakan dosen maupun guru besar, sudah pasti berprofesi sebagai dokter. Sehingga ketentuan-ketentuan pasal a quo tidak menghalangi ataupun merugikan Para Pemohon. b) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa Para Pemohon dalam perkara a quo secara umum terdiri atas pengajar fakultas kedokteran (guru besar, dosen, dan pensiunan dosen) dan praktisi kedokteran yang mendalilkan memiliki kepedulian agar terselenggaranya pendidikan kedokteran yang berkualitas dan memiliki kepentingan terhadap adanya jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran (vide Perbaikan Permohonan hlm. 12). Para Pemohon juga mendalilkan berkepentingan dan mempunyai kedudukan hukum agar para peserta didik di Fakultas Kedokteran tidak dieksploitasi oleh kolegium kedokteran yang dibentuk tanpa dasar hukum yang sah dan dipungut biaya penerbitan sertifikat kompetensi di luar perhitungan biaya yang wajar (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon dalam Positanya tidak ada keterkaitanya antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan pasal UUD Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dalam permohonan a quo. Atas dasar itu, maka kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon bukanlah akibat dari berlakunya pasal-pasal a quo. Dengan demikian tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan. c) Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Para Pemohon mendalilkan secara konstitusional kedudukan hukumnya dirugikan akibat praktek-praktek penyelenggaraan organisasi profesi secara tidak benar dan keberadaan kolegium (kecuali kolegium ilmu bedah) yang menjalankan proses sertifikasi/resertifikasi tanpa memiliki status sebagai badan hukum. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan Para Pemohon tidak dapat menggambarkan kerugian konstitusional dari berlakunya pasal-pasal a quo secara spesifik dan aktual ataupun yang potensial bagi Para Pemohon. Para Pemohon merupakan akademisi, staf pengajar/dosen atau pensiunan staf pengajar/dosen fakultas kedokteran yang berkepentingan agar para peserta didiknya di fakultas kedokteran tidak dieksploitasi dengan pemungutan biaya penerbitan sertifikat kompetensi di luar perhitungan biaya yang wajar. Adapun Para Pemohon yang menjalankan praktek sebagai dokter umum juga tidak menyebutkan adanya kerugian yang bersifat spesifik dan aktual dalam permohonan a quo. Sehingga dengan demikian, tidak terdapat kerugian yang bersifat spesifik dan aktual ataupun potensial yang dialami secara langsung oleh Para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa Para Pemohon tidak mengalami kerugian atas berlakunya ketentuan-ketentuan pasal a quo karena Para Pemohon mengajukan permohonan dengan bermula dari adanya rasa kepedulian terhadap pendidikan kedokteran dan masa depan dokter dengan adanya ketentuan-ketentuan pasal a quo. Para Pemohon dalam permohonan a quo bukanlah dokter (basic medical doctor) yang mengalami kesulitan dalam proses resertifikasi baik dari segi proses maupun pembiayaan, dan kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon bukanlah ditimbulkan atas pemberlakuan pasal-pasal a quo melainkan akibat dari kebijakan internal organisasi profesi serta Para Pemohon tidak menyebutkan adanya kerugian yang bersifat spesifik dan aktual dalam permohonan a quo. Selain itu Para Pemohon juga tidak memiliki relevansi dengan permohonan a quo karena Para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan permohonan a quo dalam hal ini hubungan sebab akibat (causal verband). Sehingga dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa atas dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon, DPR RI sebagaimana telah diuraikan di atas berpandangan bahwa dengan tidak adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo UU Praktik Kedokteran, maka tidak relevan lagi apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian uu a quo. Bahwa dengan tidak adanya kerugian yang dialami oleh Para Pemohon sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo, maka adanya putusan mahkamah konstitusi atas permohonan a quo tidak akan memberikan pengaruh apa-apa kepada Para Pemohon. Pokok Perkara: 1) Bahwa Para Pemohon mendalilkan, "frasa “Ikatan Dokter Indonesia” dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran yang dalam Penjelasan Pasal 1 dinyatakan “cukup jelas” padahal sebetulnya belumlah jelas" (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan: a) Bahwa berdasarkan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011) mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan pada angka 187 dinyatakan bahwa pasal yang memuat ketentuan umum tidak perlu diberikan penjelasan, selengkapnya diatur sebagai berikut: “Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan”. Dengan telah sesuainya pengaturan ketentuan umum beserta penjelasan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran dengan UU 12/2011 tersebut, maka dalil Para Pemohon menjadi tidak berdasar. b) Bahwa mempertimbangkan semakin meningkatnya teknologi dan ilmu kedokteran serta kompleksitas pelayanan kesehatan, organisasi profesi selain sebagai wadah berhimpun profesi dokter juga dituntut untuk tetap dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi sektor pendidikan dan pemberian pelayanan kesehatan sekaligus. Untuk itu Ikatan Dokter Indonesia dengan struktur kepemimpinan yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) harus dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab secara optimal sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. IDI merupakan organisasi profesi yang akan fokus dalam menciptakan kondisi bekerja dokter di pelayanan kesehatan sehingga dapat mensejahterakan anggotanya sesuai dengan ketentuan dalam UU Praktik Kedokteran, kolegium menjadi bagian dari organisasi profesi yang bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran. c) Bahwa adanya penempatan majelis-majelis yang bersifat otonom dalam lingkungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) menjadi sub-ordinate dari Pengurus Besar IDI (PB-IDI) adalah permasalahan internal dari IDI, dan bukan permasalahan norma dalam UU Praktik Kedokteran. d) Bahwa Para Pemohon telah jelas mendalilkan bahwa majelis- majelis, khususnya MKKI, sebagai sub-ordinate dari PB-IDI yang pengaturannya dilakukan melalui Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga IDI (AD/ART IDI) (vide Perbaikan Permohonan hlm. 16). Adanya perubahan pengaturan perihal penempatan struktur kepemimpinan IDI juga dilakukan melalui mekanisme perubahan AD/ART IDI Tahun 2003 menjadi AD/ART IDI Tahun 2015. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang mendalilkan perubahan AD/ART Tahun 2015 yang mengubah penempatan majelis-majelis, khususnya MKKI, sebagai sub- ordinate PB-IDI sehingga PB-IDI merasa berwenang untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter adalah bukan merupakan persoalan norma dalam pasal- pasal a quo, sehingga dalil Para Pemohon hanya berdasar pada asumsi-asumsi dan menjadi tidak berdasarkan hukum. Sehingga Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran beserta Penjelasannya sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan "frasa “pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan” dalam Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang diikuti oleh setiap dokter atau dokter gigi dan diselenggarakan oleh organisasi profesi menyebabkan proses resertifikasi dokter (basic medical doctor) sama sekali tidak melibatkan institusi pendidikan kedokteran dan pemerintah" (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan: a) Bahwa perlu dicermati kembali mengenai Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran yang mensyaratkan adanya 5 hal dalam memperoleh Surat tanda Registrasi (STR) yaitu: (1) memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis; (2) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi; (3) memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; (4) memiliki sertifikat kompetensi; dan (5) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. b) Bahwa selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (4) UU Praktik Kedokteran diatur dalam melakukan registrasi ulang STR diperlukan surat keterangan sehat fisik dan mental; dan sertifikat kompetensi yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Pembaharuan sertifikat kompetensi ini yang selanjutnya disebut oleh Para Pemohon sebagai resertifikasi. c) Bahwa perlu dibedakan antara kewenangan melakukan registrasi ulang yang menjadi kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sementara resertifikasi dilakukan oleh organisasi profesi untuk dokter (basic medical doctor), dan oleh kolegium untuk dokter spesialis. d) Bahwa resertifikasi diselenggarakan oleh organisasi profesi yang selanjutnya akan dikirimkan kepada KKI untuk diperiksa dan diterbitkan STR kepada dokter yang bersangkutan. Hal ini merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh KKI terhadap penerbitan sertifikat kompetensi yang dilakukan oleh organisasi profesi. e) Bahwa resertifikasi yang merupakan bagian dari registrasi ulang sudah melibatkan unsur institusi pendidikan kedokteran dan pemerintah, yang tergabung dalam keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) UU Praktik Kedokteran : “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : a. organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang; b. organisasi profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang; c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang; d. asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang; e. kolegium kedokteran 1 (satu) orang; f. kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang; g. asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang; h. tokoh masyarakat 3 (tiga) orang; i. Departemen Kesehatan 2 (dua) orang; dan j. Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.” Dengan adanya 5 (lima) orang anggota KKI yang berasal dari unsur institusi pendidikan kedokteran dan Pemerintah, maka dalil Para Pemohon menjadi tidak berdasarkan hukum dan hanya merupakan asumsi dari Para Pemohon. f) Dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) terdapat perbedaan antara sertifikat profesi (ijazah) dengan sertifikat kompetensi. Sertifikat profesi (ijazah) dikeluarkan oleh perguruan tinggi, sebagai bukti bahwa seorang dokter telah memenuhi semua persyaratan dan telah teruji secara akademik. Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi dokter atau dokter gigi yang dilakukan oleh fakultas kedokteran atau fakultas kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang mendalilkan Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyebabkan proses resertifikasi kompetensi dokter (basic medical doctor) yang sama sekali tidak melibatkan institusi pendidikan kedokteran dan pemerintah adalah tidak berdasarkan hukum dan hanya merupakan asumsi Para Pemohon. Sehingga Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran beserta Penjelasannya sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. 3) Bahwa Para Pemohon mendalilkan "frasa “Kolegium” dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang dikaitkan dengan frasa “sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan” dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran tidak terdapat kepastian hukum, karena pengertian Kolegium mengacu pada cabang disiplin ilmu yaitu spesialisasi kedokteran, sedangkan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d bisa ditafsirkan bahwa kolegium itu juga mencakup dokter (basic medical doctor)" (vide Perbaikan Permohonan hlm. 19). Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan: a) Bahwa dalam Pasal 13 UU Praktik Kedokteran hanya diatur terkait kolegium kedokteran Indonesia yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut. b) Bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa kolegium yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran hanyalah dimaksudkan pada kolegium yang mengampu cabang disipilin ilmu kedokteran yakni kolegium bagi dokter spesialis, hal tersebut tidak benar karena tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU Praktik Kedokteran yang secara terang menunjukkan cabang disiplin ilmu kedokteran adalah sama dengan spesialis kedokteran. c) Bahwa selanjutnya dalam Pasal 34 UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa tata cara registrasi ulang diatur lebih lanjut melalui Peraturan KKI. d) Berdasarkan AD/ART IDI, kolegium-kolegium yang berhimpun di bawah Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI di tingkat pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dengan Demikan, maka kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi yang bertugas kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu fungsi IDI adalah suatu wadah berhimpun profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI. Pengahapusan frasa ‘’órganisasi profesi’’ dalam ketentuan a quo menghilangkan unsur pembentuk kolegium yang dalam hal ini adalah dokter sendiri berdasarkan cabang ilmu masing-masing berhimpun dalam MKKI sebagai salah satu unsur pimpinan pusat IDI. e) Bahwa Kolegium Dokter Indonesia (KDI) yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan badan otonom di lingkungan IDI yang bertanggung jawab dalam pengembangan kebijakan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pendidikan profesi kedokteran, dan menerbitkan sertifikat kompetensi. KDI sebagai salah satu majelis kolegium dalam MKKI seharusnya beranggotakan guru besar, kepala departemen ilmu yang bersangkutan pada institusi pendidikan, ketua program studi ilmu yang bersangkutan, ketua perhimpunan ilmu yang bersangkutan, dan anggota yang diangkat sebagaimana ketentuan dalam Kompendium MKKI Tahun 2016. f) Bahwa adanya ketidaksesuaian komposisi anggota KDI yang tidak sesuai dengan Kompendium MKKI Tahun 2016, yang juga tidak diatur dalam AD/ART IDI Tahun 2015, merupakan persoalan internal lembaga yang tidak ada kaitannya dengan norma pasal-pasal a quo. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang mendalilkan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran beserta Penjelasannya yang tidak terdapat kepastian hukum atas pengertian kolegium adalah tidak berdasarkan hukum dan hanya merupakan asumsi Para Pemohon. Sehingga Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran beserta Penjelasannya sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. 4) Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa frasa “dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran terkait sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan. Terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan: a) Ketentuan Pasal 50 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) mengatur mengenai organisasi profesi, sebagai berikut: (1) “Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan. (2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi. (3) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.” Bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan tersebut mengandung makna bahwa adanya keharusan bagi setiap jenis tenaga kesehatan, termasuk dokter untuk membentuk hanya satu organisasi profesi yang mempunyai tujuan dalam meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, serta etika profesi tenaga kesehatan. Untuk mencapai tujuan organisasi profesi tersebut, dibutuhkan dokter yang profesional untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi dokter. b) Bahwa pembentukan hanya satu organisasi profesi dokter sebagai bagian dari kelompok tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU Tenaga Kesehatan dilatarbelakangi oleh fungsi dari organisasi profesi itu sendiri. Adapun fungsi dari organisasi profesi dari masing-masing tenaga kesehatan, yaitu: pertama: sebagai wadah yang menghimpun tiap-tiap tenaga kesehatan seprofesi di Indonesia. kedua: organisasi profesi dari tiap-tiap tenaga kesehatan tersebut akan menjadi anggota konsil masing- masing tenaga kesehatan, memberikan rekomendasi dari masing-masing tenaga kesehatan untuk mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP) melakukan pembinaan praktik, organisasi profesi masing-masing tenaga kesehatan akan membentuk kolegium membentuk standar nasional pendidikan yang bekerjasama dengan stakeholder lainnya, bekerja sama dengan perguruan tinggi melaksanakan uji kompetensi, menyusun standar kompetensi kerja bersama dengan konsil tenaga kesehatan seprofesi, menetapkan standar profesi, melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan kewenangannya. c) Bahwa dalam menjalankan organisasi profesi kedokteran, IDI mengacu pada UU Praktik Kedokteran dan AD/ART IDI yang diputuskan dalam Muktamar IDI. d) Bahwa menurut Pasal 9 huruf b AD/ART IDI Tahun 2015, unsur kepemimpinan dalam IDI terdiri dari Ketua Umum PB- IDI, Ketua MKEK, Ketua MKKI, dan Ketua MPPK. e) Bahwa pengertian IDI yang mengalami penyempitan kepada PB-IDI hanya merupakan asumsi dari Para Pemohon, dan dalil penempatan majelis-majelis khususnya MKKI sebagai sub-ordinate PB-IDI adalah tidak sesuai dengan AD/ART IDI sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 9 huruf b AD/ART IDI Tahun 2015. Hal ini dikarenakan semua unsur kelembagaan dalam lingkungan IDI bertanggungjawab kepada Muktamar IDI sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi dalam lingkungan IDI.
80/PUU-XV/2018
Pasal 1 angka 12 dan angka 13, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan UU Praktik Kedokteran
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.