84/PUU-XVI/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena keberadaan Pasal 272 KUHAP serta tidak diberlakukannya secara tegas dan konsekuen Pasal 65 KUHP oleh aparatur penegak hukum dan atau penyelenggara negara di Indonesia (vide permohonan hlm. 7) 2. Bahwa menurut Pemohon perkara pidana yang dialami Pemohon seharusnya masuk ke dalam beberapa hal perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, yaitu pidana penjara. Pasal 272 KUHAP telah tidak sejalan dan menyebabkan Pasal 65 KUHP tidak bisa dijalankan (vide permohonan hlm. 9-10). 3. Bahwa Pemohon merasa dirugikan karena harus menjalani empat kali persidangan di Pengadilan Negeri dan mendapatkan empat putusan pengadilan yang berbeda, dan kesemua hukumannya diakumulasikan. Pemohon berpendapat seharusnya yang dijalankan hanya satu putusan pidana saja, yaitu pidana terberat ditambah sepertiga (vide permohonan hlm. 10). Pemohon mengalami kerugian konstitusional di mana seharusnya hukum dapat memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi semua warga negara Indonesia (vide permohonan hlm. 11). Legal Standing: a) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa Pemohon a quo yang pada saat ini berstatus sebagai warga binaan pemasyarakatan mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 yang pada intinya mengatur tentang kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bagi setiap orang. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pasal 272 KUHAP mengatur pidana yang dijalankan terpidana secara berturut-turut terhadap seseorang yang telah dipidana dan memiliki pidana lain. Sehingga sebagaimana tujuan KUHAP, pasal a quo bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana. Begitupun Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang mengatur pembagian tentang perbarengan tindak pidana dalam beberapa bentuk, yaitu perbarengan peraturan, perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan, di mana pengaturan tersebut akan menciptakan kepastian hukum. Bahwa hak konstitusional yang didalilkan Pemohon tersebut tidak ada relevansinya dengan pasal- pasal a quo yang dimohonkan pengujian. b) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa Pemohon menganggap hak/kewenangan konstitusional Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya pasal a quo pada KUHP dan KUHAP. Adanya hukuman yang dijalankan Pemohon melalui empat putusan pengadilan oleh Pemohon dianggap disebabkan oleh berlakunya Pasal 272 KUHAP. Bahwa perkara pidana yang dialami Pemohon seharusnya masuk ke dalam beberapa hal perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, yaitu pidana penjara sebagaimana diatur Pasal 65 KUHP. Pemohon berpendapat, Pasal 272 KUHAP telah tidak sejalan dan menyebabkan Pasal 65 KUHP tidak bisa dijalankan. Bahwa DPR RI berpandangan pasal a quo bukanlah penyebab dialaminya kerugian konstitusional Pemohon. Pemohon hendaknya dapat membedakan bahwa vonis pengadilan tersebut bukanlah penyebab Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (2). Melalui pasal a quo, Pemohon justru berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kerugian yang dialami oleh Pemohon adalah bukan permasalahan konstitusional norma, tetapi penafsiran dan penerapan pasal-pasal a quo oleh pengadilan/penegak hukum. c) Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon tidak dapat menggambarkan kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual ataupun yang potensial terjadi yang dapat dipastikan terjadi karena pasal a quo. DPR RI berpandangan bahwa tidak ada kerugian yang bersifat nyata akibat yang ditimbulkan oleh pasal–pasal a quo, hal ini dikarenakan Undang-Undang a quo telah mengatur mengenai hak/kewenangan konstitusional Pemohon. Selain itu, uraian legal standing (kedudukan hukum) Pemohon juga tidak dibangun dengan konstruksi yang singkat, jelas, dan fokus, di mana Pemohon justru menambahkan uraian teori-teori hukum dan keadilan tanpa mengkorelasikan dengan ketentuan pasal-pasal a quo. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. DPR RI berpandangan bahwa tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon sebagai akibat berlakunya pasal-pasal a quo. Bahwa Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP telah jelas rumusannya dan sejalan dengan tujuan hukum pidana secara formil dan materil. Adapun kerugian Pemohon yang dianggap sebagai akibat berlakunya pasal-pasal a quo adalah tidak benar, atau tidak berdasar hukum karena kerugian yang didalilkan Pemohon tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan pasal- pasal a quo. Jikapun benar terdapat kerugian oleh Pemohon berupa jaminan keadilan dan kemanfaatan hukum, hal tersebut disebabkan oleh penerapan norma, bukan bunyi norma. Sehingga dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok Perkara: 1) Bahwa secara khusus, Pasal 28H ayat (2) mengatur HAM berkaitan dengan keadilan dalam penyelenggaraan negara. Pasal 28H ayat (2) menghendaki adanya jaminan negara untuk memberi kemudahan dan perlakuan khusus tertentu, di mana setiap orang secara adil mendapat kesempatan dan manfaat yang sama dalam penyelenggaraan negara. Paham negara hukum, baik menurut konsep Rechsstaat, Etat de droit, maupun Rule of Law, menempatkan perlindungan terhadap hak-hak individu (yang kemudian menjadi hak konstitusional) sebagai salah satu ciri atau syarat utamanya. Hak asasi manusia secara definitif adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Evolusi dari doktrin hak-hak alamiah (yang kemudian dikenal sebagai hak- hak asasi manusia) menjadi hak-hak konstitusional- yakni tatkala hak-hak tersebut dijamin oleh konstitusi, yang dapat ditegakkan pemenuhannya melalui pengadilan- sangat panjang. Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang dasar, baik yang dijamin secara tegas maupun tersirat merupakan hak konstitusional yang wajib dihormati. Karena dicantumkan dalam konstitusi atau undang-undang dasar maka ia menjadi bagian dari konstitusi atau undang- undang dasar sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib menghormatinya. Demikian pula hal ini berlaku bagi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constituional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta, 2013). 2) Bahwa Pasal 272 KUHAP adalah pengaturan mengenai pidana yang dijalankan terpidana secara berturut-turut terhadap seseorang yang telah dipidana dan memiliki pidana lain, maka hukumannya akan ditambahkan, yaitu hukuman pidana pertama dan pidana kedua secara berturut-turut, sementara Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP merupakan pembagian tentang perbarengan tindak pidana dalam beberapa bentuk, yaitu perbarengan peraturan, perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan. Secara umum, pasal-pasal a quo telah sejalan dengan makna dan tujuan dari Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 di mana seluruh cabang kekuasaan negara khususnya penegak hukum terikat pasal a quo pada KUHAP dan KUHP untuk menjamin tegaknya hukum materil maupun formil dalam suatu penegakan hukum pidana. Bahwa pengaturan pada KUHAP bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan membela pelaksanaan hukum pidana materiil agar berjalan dengan baik. 3) Bahwa Pemohon berpendapat Pasal 272 KUHAP dan Pasal 63, 64, dan 65 KUHP multitafsir dan menimbulkan ketidak adilan dan ketidakpastian hukum termasuk terhadap apa yang dialami Pemohon. Selain itu, menurut Pemohon pemberlakuan atau penerapan Pasal 65 KUHP bersifat mandul dan tidak dapat dilaksanakan secara tegas dan konsekuen oleh penegak hukum khususnya dalam perkara Pemohon. Terkait hal tersebut, DPR RI berpendapat bahwa sejatinya sangat jelas hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma dan bukan permasalahan konstitusionalitas norma. Pemohon menghendaki kepentingan subjektifnya atas perkara tersebut di mana Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP dapat diterapkan secara konsekuen. Namun secara normatif, tidak ada permasalahan yang bertentangan dengan konstitusi dari rumusan pasal a quo. 4) Bahwa mencermati seluruh permohonan Pemohon, DPR RI berpendapat hampir seluruh alasannya menguraikan tentang tidak diberlakukannya secara tegas dan konsekuen pasal a quo oleh aparat penegak hukum di Indonesia, beberapa di antaranya dapat kami kutip sebagai berikut: “aparat hukum selain tidak menjalankan serta mengamanatkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP yang berbunyi pada intinya pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun dan ketentuan Pasal 30 ayat (5) dan (6) KUHP yang berbunyi pada intinya maksimum pidana kurungan pengganti denda adalah delapan bulan. Selain itu, tidak mencerminkan rasa keadilan dan kemanfaatan hukum seperti diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28H.” Bahwa menurut Pemohon yang justru diberlakukan adalah Pasal 272 KUHAP, di mana Pemohon dijatuhi hukuman yang berbeda melalui empat putusan pengadilan dan hukuman- hukuman tersebut diakumulasi. Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP oleh Pemohon dianggap multitafsir sehingga tidak ada kepastian hukum. Terkait empat putusan hakim yang dijelaskan dalam uraian singkat kronologis Pemohon di mana telah dikenakan beberapa perkara serta pemeriksaan baik di Kepolisian maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan yang terpisah dalam perkara yang sama, di tempat serta waktu kejadian yang sama sebagaimana dijelaskan. Bahwa DPR RI berpandangan yang dikemukakan oleh Pemohon tersebut adalah berkaitan dengan proses persidangan dan putusan hakim. Pemohon mengemukakan lebih lanjut bahwa ia merasa perkaranya secara sengaja dipecah menjadi enam perkara yang kesemuannya diputus dalam empat persidangan dan sudah diputus oleh Pengadilan. Bahwa yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut adalah persoalan penerapan hukum oleh penegak hukum bukan permasalahan konstitusionalitas norma a quo. 5) Bahwa berdasarkan buku KUHP dan Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal oleh R. Soesilo, dapat dikutip beberapa hal penting terkait pasal a quo pada KUHP yang dimohonkan pengujiannya sebagai berikut: Pasal 63 (perbarengan peraturan): Pasal ini masuk dalam “gabungan” (samenloop) perbuatan yang boleh dihukum atau peristiwa pidana. Perbedaan samenloop dengan recidive adalah bahwa pada samenloop antara melakukan peristiwa pidana yang satu dengan yang lain belum pernah ada putusan hakim (vonis), sedangkan pada recidive antara melakukan peristiwa pidana yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim (vonis). Pasal 63 menyebutkan gabungan satu perbuatan (eendaadsche samenloopconcurcus idealis), yaitu melakukan suatu perbuatan termasuk beberapa ketentuan pidana yang tidak dapat dipisahkan yang satu tanpa melenyapkan yang lain (conditio sine qua non). Ayat kedua dari pasal 63 menyebutkan perimbangan antara ketentuan pidana umum dan ketentuan pidana istimewa (khusus) ialah jika suatu perbuatan diancam dengan ketentuan pidana umum dan istimewa, maka yang dikenakan hanya yang istimewa saja. Ini adalah suatu penjelmaan slogan lex specialis derogat legi generali yang berarti: undang-undang yang khusus meniadakan yang umum. Pasal 64 (perbuatan berlanjut): Beberapa perbuatan satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan dan praktik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan; 2. Perbuatan harus sama macamnya; 3. Waktu antaranya tidak terlalu lama; penyelesainnya mungkin memakan waktu akan tetapi perbuatan berulang untuk menyelesaikan perbuatan antaranya tidak boleh terlalu lama Dalam hal perbuatan yang diteruskan (voortgezette handeling) ini hanya dikenakan satu ketentuan pidana saja. Pasal 65 (perbarengan perbuatan): Pasal 65 adalah gabungan dari beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop = concursus realis). Jika seorang pada suatu hari dituntut di muka hakim yang sama karena melakukan beberapa kejahatan hanya dijatuhkan satu hukuman kepadanya, apabila hukuman yang diancamkan bagi kejahatan itu sejenis misalnya kesemuanya hukuman penjara kesemuanya hukuman kurungan atau kesemuanya hukuman denda. Hukuman itu tidak boleh lebih dari maksimum hukuman bagi kejahatan yang terberat ditambah sepertiganya. 6) Bahwa terkait petitum Pemohon yang memohonkan agar: Pasal 272 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau setidak- tidaknya menyatakan bahwa Pasal 272 KUHAP tersebut inkonstitusional bersyarat sejauh tidak dikecualikan untuk kasus-kasus concursus; serta Menyatakan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tersebut inkonstitusional bersyarat sejauh dikecualikan untuk kasus-kasus concursus dan perbuatan berlanjut sebelum dan setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap; Bahwa DPR RI berpandangan kesemua pasal a quo adalah dua hal yang berbeda dan telah jelas rumusannya. Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65 KUHP rumusannya jelas merujuk kepada perbuatan pidananya dan pelakunya. Pasal-pasal a quo merumuskan perbuatan-perbuatan yang menurut pandangan pembentuk undang-undang sedemikian dapat dipidana. Sementara Pasal 272 KUHAP murni berisi ketentuan dan tata cara untuk menjalankan ketentuan hukum pidana materiil dalam hal ini mengatur bagaimana pidana dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu, terhadap terpidana yang dipidana pidana penjara/kurungan yang kemudian dijatuhi pidana sejenis. 7) Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan: bahwa ketentuan Pasal 272 KUHAP telah tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 65 KUHP karena pada intinya Pasal 65 ayat (1) KUHP menegaskan dalam hal perbarengan beberapa perbuatan harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka dijatuhkan hanya satu pidana. Dikaitkan dengan perkara Robert Tantular, seharusnya beliau masuk ke dalam kategori sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP. Yaitu seharusnya dari keempat perkara tersebut yang dapat dijalani atau dijatuhi hukuman berupa pidana penjara yang sejenis adalah yang tertinggi ditambah sepertiga. Jadi keempat perkara pidana yang dikenakan terhadap Yth. Robert Tantular tidak harus dijalani semua, hanya satu perkara tertinggi ditambah sepertiga.” Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa penghitungan pidana dalam perbarengan terdiri dari empat macam, tergantung pada jenis perbarengan sebagaimana diatur Pasal 63 hingga Pasal 70 KUHP, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Cara absorpsi (penyerapan) murni untuk perbarengan peraturan dan perbuatan berlanjut 2. Cara absorpsi (penyerapan) yang dipertajam untuk perbarengan perbuatan atas kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis 3. Cara kumulasi (penjumlahan) yang diperlunak untuk perbarengan perbuatan atas kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok tidak sejenis 4. Cara kumulasi murni untuk pelanggaran. (Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, 2012) Bahwa pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon telah jelas memberi batasan maksimum pidana pada perbuatan perbarengan. Pemohon dalam dalil-dalilnya juga menghendaki kasus konkret yang dialami Pemohon seharusnya berkenaan dengan Pasal 65 KUHP. DPR RI berpandangan bahwa semakin jelas pasal a quo telah mengatur tentang penjatuhan pidana pokok yang sejenis berupa satu jenis pidana dan dengan maksimum tidak boleh lebih dari maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Rumusan pasal tersebut tidak bertentangan dengan rasa keadilan sebagaimana diuraikan Pemohon. Rumusan pasal tersebut sebenarnya telah sesuai dengan apa yang Pemohon kehendaki sehingga menjadi tidak relevan ketika Pemohon menguji pasal tersebut dan menganggap pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sebagaimana petitum Pemohon. Adapun jika dalam pelaksanaannya Pemohon merasa dirugikan, itu kembali pada ranah penegakan hukumnya. 8) Bahwa tidak maksimalnya penerapan Pasal 65 KUHP oleh aparat penegak hukum pada dasarnya hal tersebut merupakan pilihan penegak hukum dan bukan merupakan kerugian konstitusional yang disebabkan oleh pasal a quo. Hal tersebut merupakan masalah penerapan di lapangan dan tidak bertentangan dengan konstitusi jika diterapkan secara umum. Penegakan hukum pidana yang adil tersebut dikembalikan lagi sejauh mana penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam menangani suatu perkara pidana dapat bertindak hati-hati dan profesional sehingga dapat mencapai, atau setidak-tidaknya, mendekati kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya). 9) Bahwa di dalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya hukum pidana yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja. Adapun dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta- fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri. Jika terdapat ketidakpuasan terhadap penerapan pasal tersebut dalam suatu putusan hakim, maka jalan yang dapat ditempuh dengan melakukan upaya hukum banding dan kasasi. 10) Bahwa selain itu, UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jikapun terdapat disparitas putusan hakim, maka di Indonesia hal tersebut sering dikaitkan dengan independensi hakim dengan batasan asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang- undangan. Bahwa pasal a quo telah mengatur hal yang sudah sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik guna menjawab kebutuhan hukum tentang penjatuhan pidana pada Concursus. Adapun untuk masukan perubahan lebih lanjut dapat dilakukan melalui Legislative Review di DPR RI. 11) Bahwa persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang- undang. Tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. 12) Bahwa pasal a quo KUHP dan KUHAP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon justru dibentuk untuk menjawab permasalahan yang ada terkait penjatuhan pidana, menjamin ketertiban hukum dan memberi pemahaman yang benar dalam rangka melindungi masyarakat. Selain itu, DPR RI menilai pernyataan Pemohon bersifat subjektif karena dicampuradukkan dengan kepentingan Pemohon. Sehingga permohonan tersebut tidak beralasan hukum.
84/PUU-XVI/2018
Pasal 272 KUHAP dan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP
UUD Tahun 1945