Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

102/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon IV yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memiliki kedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana. Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8) 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang-wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak ada relevansinya dengan ketentuan yang diuji karena tidak memuat mengenai hak konstitusional. Sementara Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 juga tidak memiliki relevansi dengan pasal yang diujikan. Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK memberi batasan definisi serta tugas dan wewenang lembaga independen OJK yang salah satunya memiliki wewenang melakukan penyidikan. Pasal a quo justru memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang OJK dalam pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di Indonesia yang merupakan negara hukum. Bahwa Para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen, advokat, dan karyawan swasta mendalilkan memiliki kerugian konstitusional terkait pengakuan dan perlindungan HAM berdasarkan Due Process of Law sebagai prinsip Criminal Justice System dalam negara hukum, serta juga tidak mendapat kepastian hukum atas wewenang OJK pada suatu proses hukum pidana. Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 mengatur hal berbeda dengan permasalahan konstitusionalitas yang Pemohon maksud pada pasal a quo yang diujikan sehingga tidak ada relevansinya. Berdasarkan hal tersebut, DPR RI berpendapat Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional karena yang dapat menjadi subjek hukum dalam permohonan a quo seharusnya adalah pihak yang secara langsung terlibat dalam proses hukum yang terkait dengan sektor jasa keuangan. Subjek hukum tersebut kemudian mengalami kerugian secara riil dan faktual terjadi ataupun potensial dapat terjadi. Sehingga tidak ada kepentingan hukum Para Pemohon terhadap pasal-pasal yang diuji, serta tidak terdapat implikasi apapun terhadap Para Pemohon. b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa oleh karena tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 yang relevan dengan pasal a quo diujikan, maka tidak ada kerugian yang Para Pemohon maksud oleh suatu undang-undang yang diuji tersebut. Bahwa Para Pemohon menganggap hak/kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya pasal a quo pada UU OJK. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Pasal 1 angka 1 UU OJK mengatur bahwa OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang mengatur bahwa OJK mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal a quo justru memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang OJK dalam pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di Indonesia yang merupakan negara hukum. Bahwa terkait hal tersebut, DPR RI berpendapat bahwa pasal a quo UU OJK bukanlah penyebab dialaminya kerugian konstitusional Para Pemohon. Para Pemohon hendaknya dapat membedakan antara adanya kepentingan hukum dengan kedudukan hukum sebagai pemohon. Adanya kepentingan hukum dapat terpenuhi sebagai warga negara yang menginginkan adanya keadilan dan kepastian hukum, namun hal tersebut tidak serta merta mencerminkan adanya kedudukan hukum sebagai Pemohon yang memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 untuk mengajukan permohonan a quo. Bahwa Berlakunya ketentuan dengan adanya kata penyidikan pada pasal tentang definisi dan wewenang OJK tersebut bukanlah menjadi penyebab Para Pemohon tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Fungsi OJK sebagai institusi penegak hukum yang independen yang dianggap bertentangan dengan Due Process of Law yang dijamin dalam negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 juga tidak dapat menjadi dasar bagi Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menguji ketentuan a quo. Berlakunya pasal–pasal a quo dalam penafsiran normatifnya tidak menimbulkan kerugian konstitusional yang secara nyata dan terbukti terjadi pada Para Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, maka DPR berpendapat Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan sehingga hak Para Pemohon tidak terganggu. Para Ptetap dapat menjalankan peran pada profesinya sebagaimana mestinya. Adapun pemohon V dan Pemohon VI yang secara khusus berperan sebagai karyawan swasta yang sedang menjalani proses hukum pidana, maka tidak serta merta kerugian tersebut disebabkan pasal a quo yang diujikan karena antara batu uji para pemohon dengan pasal a quo tidak ada relevansinya. c. Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa adanya kerugian Para Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual tidak dapat dibuktikan secara nyata. Beberapa kerugian yang didalilkan Para Pemohon bersifat asumtif. Terkait pernyataan Para Pemohon yang menyatakan dirinya mengalami kerugian konstitusional dalam perannya sebagai dosen secara keilmuan hukum pidana khususnya dalam memberikan penjelasan kepada mahasiswa maupun forum akademis lainnya, maka DPR RI berpendapat pernyataan tersebut juga kabur dan tidak dapat dikonstruksikan sebab akibat serta bukti kerugiannya secara langsung. Bahwa Para Pemohon mendalilkan mengalami kebingungan dalam menjelaskan kepada mahasiswa, seperti bentuk pertanyaan mahasiswa dan lain-lain. Bahwa terhadap hal tersebut DPR RI berpandangan Para Pemohon seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa dalam perannya sebagai dosen bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penegak hukum yang baru dalam hal ini OJK yang dapat dibedakan dengan hukum pidana umum yang penegakannya diatur dalam KUHAP. Adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud. Bahwa terkait pernyataan Pemohon IV yang menyebut bahwa dalam risetnya ia tidak menemukan adanya rancangan lembaga OJK yang dalam melaksanakan fungsi pengawasannya diberikan wewenang melakukan penyidikan (vide perbaikan permohonan hlm. 9), DPR RI berpandangan bahwa uraian Para Pemohon juga tidak jelas dan kabur. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah bahan hukum yang digunakan Pemohon IV sudah cukup valid dan lengkap sehingga dapat dijadikan acuan tidak beralasannya OJK diberikan wewenang penyidikan tersebut. Tidak mungkin Pemerintah dan DPR dalam menyusun tugas dan fungsi wewenang OJK tanpa pertimbangan yang jelas. Selain itu, dalam perannya sebagai peneliti, tidak ada hasil penelitian yang menjelaskan masalah apa yang dihadapi dengan adanya kewenangan penyidikan tersebut. Sehingga apa yang menjadi dalil Para Pemohon bahwa wewenang penyidikan layaknya lembaga penegak hukum dilakukan tanpa penjelasan tujuan diberikannya wewenang tersebut dianggap sebagai problematika yang merugikan Para Pemohon adalah tidak relevan. Hal ini akan dibuktikan lebih lanjut oleh DPR RI dalam uraian keterangan DPR RI terhadap pokok permohonan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, DPR RI berpendapat, Para Pemohon tidak dapat menggambarkan kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual ataupun yang potensial terjadi karena pasal a quo. Bahwa dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa tidak ada kerugian yang bersifat nyata akibat yang ditimbulkan oleh pasal–pasal a quo, hal ini dikarenakan Undang-Undang a quo tidak ada relevansinya dengan kepentingan hukum Para Pemohon. Para Pemohon tidak membangun dengan konstruksi jelas di mana kerugian yang faktual terjadi. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa dengan tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan yang dapat dibuktikan secara nyata disebabkan oleh pasal–pasal a quo yang diujikan, maka tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan dengan pasal a quo. DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon bukanlah pihak yang langsung terlibat dalam kegiatan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Tidak ada kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo. Bahwa sebagaimana Pemohon I dalam perannya sebagai dosen dan advokat yang mendalilkan bahwa terdapat potensi kerugian apabila ia mendapat klien yang bergerak di bidang jasa keuangan dan akan kesulitan memberi bantuan hukum karena tidak diatur secara jelas dalam UU OJK hak-hak seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan. Pemohon I juga berpendapat bahwa dalam keilmuan hukum pidana yang ia ketahui, sesuai asas persemption of innocence, maka sejak awal dimulainya penyidikan, seluruh hak-hak yang disangka melakukan dugaan tindak pidana harus diatur dengan UU sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan HAM dari orang tersebut. Namun Pemohon tidak mendapat kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada dalam lingkup kekuasaan OJK. Terhadap hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pernyataan tersebut sangat asumtif. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa kerugian tersebut telah dialami Pemohon I. Tidak ada keterlibatan secara langsung dalam perannya sebagai advokat terhadap berlakunya pasal a quo. Hal ini juga berlaku dalam pernyataan Pemohon I yang menganggap dirinya tidak mendapat kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada dalam lingkup kekuasaan OJK. Padahal tidak ada klien Pemohon I yang telah mengalami kasus terkait pasal a quo dan mengalami kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual. Bahwa selain itu, Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon, hal ini disebabkan terdapat tindakan sewenang-wenang OJK dalam melakukan penyidikan. Terkait dalil Pemohon tersebut, DPR berpendapat hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang Pemohon V dan Pemohon VI dalilkan tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi lagi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan Para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Pokok Perkara: 1) Bahwa Pasal 1 angka 1 UU OJK menjamin keberadaan lembaga OJK sebagai lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan: “untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.” 2) Bahwa OJK memang diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Terkait hal tersebut, DPR RI berpendapat bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang mengatur bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa fungsi penyidik pada OJK tidak ada kaitannya dengan pertentangan dengan due process of law sebagaimana dalil Pemohon. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung kewenangan penegakan hukum. Dukungan penegakan hukum dengan kewenangan penyidikan seperti ini tidak hanya dimiliki oleh OJK, namun beberapa lembaga lainnya. Para Pemohon hendaknya dapat membedakan bahwa wewenang penyidikan tersebut bukanlah penyebab Para Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Melalui pasal a quo, Para Pemohon justru berhak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Berlakunya pasal–pasal a quo dalam penafsiran normatifnya tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. 3) DPR RI berpendapat bahwa penyidik independen seperti pada lembaga OJK diperlukan karena memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki penyidik konvensional. Fungsi penyidikan oleh OJK juga untuk menjamin keberlangsungan penindakan perkara sesuai keahlian di bidang jasa keuangan. Pengaturan penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal- hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan mempunyai sifat kekhususan. Karena kekhususan tersebut perlu ditangani secara hati-hati dengan orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun tetap dilakukan di bawah kordinasi kepolisian yang memiliki tugas penyidikan tersebut. Apabila penanganan dilakukan secara biasa, maka hal tersebut bisa menggoyahkan sendi-sendi ekonomi, dalam hal ini jasa keuangan. Keberadaan penyidik OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK, dimana risalah lengkapnya dapat dilihat pada subbab setelah ini. 4) Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan umumnya sehingga sifatnya umum. Sementara pengaturan pada mengenai penyidikan pada UU OJK merupakan lex specialis dari KUHAP tersebut. 5) Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa, PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. PPNS menjalankan penyidikan berdasarkan KUHAP tetapi kewenangan untuk melakukan penyidikan tersebut diberikan Undang Undang spesifik masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepada Pimpinan Kementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung. 6) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa beberapa poin pada Pasal 49 ayat (3) UU OJK sama sekali tidak mengaitkan KUHAP dan OJK dapat melakukan penyidikan tanpa koordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lain yang memperlihatkan proses penyidikan terlepas dari “integrated criminal justice system.” (vide perbaikan permohonan hlm. 34) DPR RI berpandangan permohonan Para Pemohon tidak fokus dan kabur (obscuur libels) karena tidak jelas pasal mana yang seharusnya menjadi rujukan Pemohon dalam mengurai permasalahan konstitusionalitas norma. Selain itu, dalil Para Pemohon yang menyebutkan terdapat pengabaian terhadap KUHAP adalah tidak benar dan tidak berdasar hukum. Dalil Para Pemohon bersifat asumtif. Sebab telah jelas Pasal 49 ayat (1) UU OJK berketentuan: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.. Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. 7) Bahwa sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai Penyidik OJK dilakukan sebagaimana dimaksud KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, antara lain: a) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). b) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP). c) PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP). d) Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP). Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Sehingga dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan atau kesatuan pemahaman serta gerak serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan dan oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya sinkronisasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. 8) Bahwa sebagaimana disebutkan di atas, keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain. Kesemua fungsi penyidikan PPNS tersebut harus merujuk pada KUHAP. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: 9) Bahwa seharusnya Para Pemohon dapat memahami bahwa tidak ada tindakan sewenang-wenang yang tercermin melalui Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena pasal a quo secara jelas memberikan wewenang penyidikan pada OJK berdasarkan apa yang telah disepakati dalam proses pembahasan panjang RUU OJK. 10) Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik OJK karena berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK sama sekali tidak mengaitkan dengan KUHAP dalam bentuk rincian wewenang penyidikannya. Para Pemohon juga memperbandingkan Pasal 49 ayat (3) UU OJK dengan pengaturan wewenang PPNS oleh lembaga negara lainnya dalam UU-nya masing-masing, di mana ketentuan norma pada Pasal 49 ayat (3) UU OJK dianggap tidak menyebut secara eksplisit: “kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan KUHAP atau setidaknya menyatakan: “penyidik PPNS berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polri.” Hal tersebut menurut Para Pemohon bertentangan dengan asas “due process of law.” (vide perbaikan permohonan hlm. 33-34) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpendapat bahwa permohonan pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libeels (tidak jelas/kabur). Selain itu, jikapun terdapat ketidaksesuaian Pasal 49 ayat UU OJK dengan KUHAP karena permasalahan penyebutan norma yang harus secara eksplisit menurut Para Pemohon, maka DPR RI berpendapat bahwa sejatinya hal tersebut bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma. 11) Bahwa selain itu, Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap Para Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Para Pemohon, hal ini disebabkan terdapat tindakan sewenang-wenang OJK dalam melakukan desakan terhadap bank untuk memberikan status coll 2, padahal seharusnya permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan administratif perbankan. (vide perbaikan permohonan hlm. 12) Terkait dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma dan Para Pemohon menghendaki kepentingan subjektifnya atas perkara yang sedang dihadapi. Adapun kerugian Pemohon yang dianggap sebagai akibat berlakunya pasal-pasal a quo adalah tidak benar, atau tidak berdasar hukum karena kerugian yang didalilkan Pemohon tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan pasal-pasal a quo. Jikapun benar terdapat kerugian oleh Pemohon berupa jaminan keadilan dan kemanfaatan hukum, hal tersebut disebabkan oleh penerapan norma, bukan bunyi norma. Sehingga dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 12) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyebutkan keberadaan penyidik OJK akan tidak selaras dengan integrated criminal justice system, yang mempunyai pengertian harus adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana dan menimbulkan ketidakpastian hukum akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK. (vide perbaikan permohonan hlm. 24) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI perlu menjelaskan terkait kerangka sistem peradilan pidana (crimial justice system), di mana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luarnya. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat UU, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 13) Bahwa jika dilihat lebih lanjut dari segi kelembagaan, PPNS bukan merupakan subordinasi dari lembaga kepolisian yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Sebagaimana diketahui terdapat pula 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003). Sehingga demikian, walaupun PPNS diberikan kewenangan menyidik sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Namun, keberadaan PPNS di luar subsistem peradilan pidana, seharusnya tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan tidak mengacaukan jalannya sistem peradilan pidana yang telah ada. Berbagai ketentuan yang mengatur bagaimana cara penyidikan yang dilakukan PPNS agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri juga telah dilakukan. 14) Bahwa seharusnya tidak ada prinsip due process of law yang dilanggar oleh penyidik selama dalam melaksanakan tugasnya berpatokan pada peraturan yang ada. Esensi due process of law dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya jika penegak hukum memedomani, mengakui, menghormati, dan melindungi serta menjamin dengan baik doktrin inkorporasi yang memuat berbagai hak tersangka. Sehingga adanya berbagai kesewenang-wenangan penyidik OJK sebagaimana didalilkan Para Pemohon bukan merupakan sebab akibat dari adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebagaimana sudah diuraikan secara jelas di poin sebelumnya bahwa hal tersebut telah sesuai dengan fungsi dan tujuan didirikannya OJK. Sehingga masalah penerapan norma dan konstitusionalitas norma harus dapat dibedakan oleh Para Pemohon. 15) Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa lembaga OJK mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, yakni dalam Peraturan OJK No. 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di sektor Jasa Keuangan. Selain itu, terdapat ketidaksesusaian antara Pasal 49 ayat (1) jo ayat (3) UU OJK dengan Peraturan tersebut yang membuat OJK melantik dua pejabat kepolisian menjadi penyidik berpangkat inspektur Jenderal dan Brigadir Jenderal, menyebabkan ketidakpastian hukum atas keabsahan Penyidik berstatus anggota Polri yang masih aktif. (vide perbaikan permohonan hlm. 24-25) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon salah dalam memaknai hukum acara yang dimaksud. Adanya acara sendiri yang dimiliki oleh OJK melalui Peraturan OJK merupakan penerapan dari norma. Begitupula jika terdapat ketidaksesusaian antara Pasal 49 ayat (1) jo ayat (3) UU OJK dengan Peraturan OJK, maka Para Pemohon hendaknya memahami hal tersebut bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma. Terkait pengangkatan penyidik OJK, hal ini sudah diputus sesuai apa yang dibahas dalam proses pembentukan UU OJK, sebagai berikut: (Rapat Panja 26 November 2010, F-PG: Nusron Wahid): Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertama karena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadi adalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuai dengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 16) Bahwa khusus untuk Para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen dan advokat, maka hak dan wewenang Para Pemohon dalam profesinya tetap tidak terkurangi dengan ketentuan pasal a quo yang diujikan. Para Pemohon tetap dapat menjalankan profesinya sebagaimana biasanya. Begitupun hak-hak yang akan didapatkan oleh klien Pemohon yang berprofesi advokat masih tetap sama dengan hak-hak pelaku tindak pidana umum lainnya, dan advokat juga tetap bisa menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang diatur dalam UU Advokat untuk membela hak-hak hukum kliennya sehingga dengan demikian tidak ada kesulitan sebagaimana yang disampaikan oleh Pemohon. (vide perbaikan permohonan hlm. 9)

102/PUU-XVI/2018

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945