Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

4/PUU-XVII/2019

Kerugian Konstitusional: Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Bahwa menurut Para Pemohon original intent dari ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) pada pokoknya menghendaki Pidana Mati terhadap tindak pidana korupsi dengan syarat dalam hal-hal yang memberatkan atau special characteristic, misalnya tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi bencana alam misalnya. Adanya kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” menyebabkan hukuman mati hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaaan bencana alam yang mendapatkan status oleh Pemerintah Pusat sebagai Bencana Alam Nasional (vide perbaikan permohonan hlm 29-30). Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 yang pada intinya mengatur tentang Negara Indonesia adalah negara hukum, pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Bahwa terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan mengatur bahwa Negara Indonesia adalah negara hokum, sehingga Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak relevan untuk dipertentangkan dengan ketentuan penjelasan pasal a quo UU Tipikor. Ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak-hak tersebut tetap dimiliki oleh Para Pemohon dan tidak terkurangi sedikitpun dengan berlakunya ketentuan penjelasan pasal a quo UU Tipikor. Bahwa ketentuan penjelasan pasal a quo UU Tipikor memberikan penjelasan terhadap frasa “keadaan tertentu” yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Adanya penjelasan ini tentunya telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil kepada setiap orang termasuk Para Pemohon, selain itu pemberlakuan penjelasan pasal a quo juga tidak menghalangi Para Pemohon untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan karena haknya tersebut tidak terhalangi maupun terkurangi oleh diberlakukannya penjelasan pasal a quo UU Tipikor. Maka tidak tepat apabila penjelasan pasal a quo UU Tipikor dipertentangkan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 karena tidak terdapat pertautan antara ketentuan yang dimohon pengujian dengan ketentuan yang dijadikan batu uji. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Para Pemohon mendalilkan adanya kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” pada penjelasan pasal a quo UU Tipikor telah merugikan Para Pemohon dengan kerugian berupa kesulitan dalam menjelaskan kepada masyarakat dan forum diskusi tentang penerapan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi pada waktu terjadi bencana alam, ketentuan tersebut menjadi penghambat diterapkannya pidana mati bagi para koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada waktu bencana alam yang mengakibatkan tidak munculnya efek jera dan berpotensi merugikan pada saat Pemohon IX melakukan advokasi mendesak agar KPK menerapkan hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi pada waktu bencana alam. Bahwa atas dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan kerugian yang didalilkan Para Pemohon tidak memiliki korelasi dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kerugian tersebut juga tidak memiliki korelasi dengan adanya kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak dapat menggambarkan kerugian konstitusionalnya atas pengaturan dalam penjelasan pasal a quo UU Tipikor. Selain itu, kerugian- kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon hanyalah asumsi Para Pemohon saja yang dengan sengaja dikait-kaitkan dengan ketentuan a quo UU Tipikor. Sehingga tidak benar apabila Para Pemohon mendalilkan mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional khususnya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, kerugian yang didalilkan Para Pemohon bukanlah kerugian yang diakibatkan oleh Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. c. Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa dalam permohonannya, kerugian yang didalilkan Para Pemohon sudah jelas bukan kerugian yang diakibatkan oleh penjelasan pasal a quo UU Tipikor sebagaimana telah diuraikan pada huruf b. Selain itu, Para Pemohon juga tidak dapat menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut hanya bersifat asumsi dan kekhawatiran Para Pemohon saja. Bahwa sesungguhnya sebagaimana telah dikemukakan, Para Pemohon sama sekali tidak terkurangi hak dan/atau kewenangan kontitusionalnya baik sebagai dosen, mahasiswa, wiraswasta maupun karyawan. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah disampaikan pada poin a, b dan c, kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon hanyalah berupa asumsi Para Pemohon saja dan bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional juga tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Terlebih hak Para Pemohon sebagaimana yang dijamin oleh ketentuan pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 sama sekali tidak terkurangi maupun terlanggar oleh ketentuan a quo UU Tipikor. Dengan demikian tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian-kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Para Pemohon, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dengan tidak adanya pertautan antara ketentuan yang diujikan dengan pasal-pasal dalam UUD Tahun 1945 yang dijadikan batu uji, tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik berupa kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak adanya hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan penjelasan pasal a quo UU Tipikor maka dikabulkan atau tidaknya permohonan para Pemohon tidak akan berdampak apapun bagi Para Pemohon, khususnya terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Sehingga dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok Perkara: Bahwa terhadap dalil-dalil Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo, DPR RI berpandangan sebagai berikut : 1) Bahwa Para Pemohon mendalilkan original intent dari ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) pada pokoknya menghendaki Pidana Mati terhadap tindak pidana korupsi dengan syarat dalam hal-hal yang memberatkan atau special characteristic, misalnya tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi bencana alam misalnya. Adanya kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” menyebabkan hukuman mati hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaaan bencana alam yang mendapatkan status oleh Pemerintah Pusat sebagai Bencana Alam Nasional (vide perbaikan permohonan hlm 29-30) Bahwa terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan penentuan hukuman mati bukanlah suatu keputusan yang dibuat tanpa pertimbangan mengingat bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia dan dijamin oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa meskipun tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime pengaturan mengenai hukuman mati bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan dengan mudah, khususnya bila dikaitkan dengan kondisi bencana alam. Bencana alam juga memiliki beragam bentuk dan skala, yang tentunya juga perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. Apakah pada saat terjadi longsor atau banjir maka pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati? Tentu masalahnya tidak sesederhana itu. Bahwa benar dalam risalah pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 1999 disampaikan hal-hal sebagaimana dikutip Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya pada halaman 28-29, sebagai berikut: • “Pidana mati itu sangat berpegang teguh kita terima, tetapi merupakan suatu bagian dari pemberatan pidana” (vide hlm 94 risalah pembahasan) • ...Nah, jembatannya adalah terapkan pidana mati itu dalam kondisi-kondisi yang khusus tadi jadi harus ada alas an kenapa dikenakan pidana mati, tidak semua tindak pidana korupsi diancam pidana mati saya kira itu justru merendahkan hukum pidana sendiri,diancam tapi tidak pernah diterapkan dalam kondisi-kondisi yang khusus misalnya Negara dalam keadaan bahaya atau dalam krisis orang melakukan korupsi misalnya nah disitulah cukup signifikan bisa diancam pidana mati (vide hlm 103-104 risalah pembahasan) maka jelas bahwa pengaturan pidana mati tidak dapat diberlakukan secara mudah. 2) Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR RI perlu menguraikan di dalam risalah pembahasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, saat pembahasan rancangan undang-undang pada tanggal 4 Oktober 2001 diusulkan: a) Bapak M. Yahya Zaini, S.H, dari Fraksi Partai Golkar yang berpendapat bahwa “kalau saya justru karena ini pemberatan pak, nasional itu menjadi penting, justru beratnya itu di nasional.” b) Pemerintah menjelaskan bahwa “Pasal 2 itu ancaman pidananya seumur hidup, penjara seumur hidup, itu sudah terlalu amat tinggi,..., karena ini mati bagaimana seumur hidup menjadi mati, ini keadaan yang memperberat pidana (staft ferstrawende omsteheden) keadaaan yang memperberat pidana, karena ukurannya tinggi sekali dari seumur hidup menjadi mati, bayangkan itu, jadi perlu ada rambu-rambu yang khusus.” Berdasarkan keterangan risalah pembahasan UU Tipikor tersebut dapat dilihat bahwa semangat DPR dan Pemerintah memberantas korupsi sangat besar dan perhatian mereka dalam hal pelaku kejahatan tindak pidana korupsi khususnya yang dilakukan dalam hal terjadi bencana alam nasional harus diberatkan sanksinya dari seumur hidup menjadi pidana mati dan hal inilah yang menjadi pemberat atau special characteristic yang dimaksudkan oleh Pembuat Undang-Undang. 3) Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur bahwa “Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b. kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.” Ketentuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Penanggulangan Bencana diatur mengenai penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan Peraturan Presiden. Dan dalam ketentuan Pasal 51 UU Penanggulangan Bencana diatur: (1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota. Bahwa ketentuan Pasal 2 Perpres No 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu diatur: (1) Penentuan status Keadaan Darurat Bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana. (2) Penentuan status Keadaan Darurat Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat daerah provinsi oleh gubernur, dan tingkat daerah kabupaten/kota oleh bupati/wali kota. Bahwa ketentuan Pasal 23 PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana mengatur bahwa: (1) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana; (2) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota. 4) Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 PP No. 21 Tahun 2008 tersebut, disusunlah pedoman penetapan status keadaan darurat bencana oleh BNPB dengan uraian sebagai berikut : Bahwa dalam rangka penetapan tingkatan keadaan daerurat bencana diperlukan indikator-indikator yang dapat perbedaan keadaaan secara nyata. Tingkatan status keadaan darurat bencana dapat dinilai berdasarkan indikator-indikator yang menggambarkan kapasitas daerah dalam penanganan darurat bencana, yaitu : 1. Ketersediaan sumberdaya yang dapat dimobilisasi untuk penanganan darurat bencana; 2. Kemampuan Pemerintah daerah untuk mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana; dan 3. Kemampuan melakukan penanganan awal keadaan darurat bencana. Status Keadaan Darurat Bencana Kabupaten/Kota ditetapkan atas pertimbangan bahwa pemerintah kabupaten/kota masih memiliki kemampuan dalam hal : 1. Ketersediaan sumberdaya yang dapat dimobilisasi untuk penanganan darurat bencana dalam kualitas dan kuantitas yang terbatas; 2. Kemampuan Pemerintah daerah untuk mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana; dan 3. Kemampuan melakukan penanganan awal keadaan darurat bencana secara terbatas. Maka penyelenggaran penanganan darurat bencana di wiayah terdampak menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota bersangkutan. Status Keadaan Darurat Bencana Provinsi ditetapkan atas pertimbangan pemerintah kabupaten/kota terdampak tidak memiliki kemampuan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut : 1. Memobilisasi SDM untuk upaya penanganan darurat bencana; 2. Mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana; dan 3. Melaksanakan penanganan awal keadaan darurat bencana mencakup penyelamatan dan evakuasi korban/penduduk terancam serta pemenuhan kebutuhan dasar. Ketidakmampuan tersebut ditentukan oleh : 1. Pernyataan resmi dari Bupati/Walikota terdampak yang menerangkan adanya ketidakmampuan di dalam upaya penanganan darurat bencana 2. Pernyataan tersebut dikuatkan dan didukung oleh laporan hasil pengkajian cepat yang dilakukan oleh Pemerinah Provinsi yang benar menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam mengelola penanganan darurat bencana maka demikian kewenangan dan tanggungjawab penyelengaraan penanganan darurat bencana di wilayah terdampak dapat beralih kepada Pemerintah Provinsi bersangkutan. Status Keadaan Darurat Bencana Nasional ditetapkan atas pertimbangan Pemerintah Provinsi tidak memiliki kemampuan satu atau lebih hal-hal berikut : 1. Memobilisasi SDM untuk upaya penanganan darurat bencana; 2. Mengaktivasi sistem komando penanganan darurat bencana; dan 3. Melaksanakan penanganan awal keadaan darurat bencana mencakup penyelamatan dan evakuasi korban/penduduk terancam serta pemenuhan kebutuhan dasar. Ketidakmampuan tersebut ditentukan oleh : 1. Pernyataan resmi dari Gubernur wilayah provinsi terdampak yang menerangkan adanya ketidakmampuan di dalam upaya penanganan darurat bencana 2. Pernyataan tersebu dikuatkan dan didukung oleh laporan hasil pengkajian cepat yang dilakukan oleh Pemerinah (dalam hal ini BNPB dan Kementerian/Lembaga terkait) yang benar menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam mengelola penanganan darurat bencana maka demikian kewenangan dan tanggungjawab penyelengaraan penanganan darurat bencana di wilayah terdampak dapat beralih kepada Pemerintah. 5) Bahwa Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” bertentangan dengan UUD Tahun 1945, karena tindakan korupsi yang dilakukan pada saat keadaan bencana alam merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang tidak beradab (vide perbaikan permohonan hlm 10). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pandangan Para Pemohon tersebut tidak tepat. Atas dasar apa Para Pemohon mengkategorikan kejahatan korupsi pada saat bencana alam sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau “crimes against humanity”? Bahwa dasar hukum kejahatan terhadap kemanusiaan “crimes against humanity” adalah mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) The Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma) Tahun 1998 yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 9 yang menyatakan sebagai berikut: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salahsatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid Bahwa oleh karenanya DPR RI berpandangan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan pada saat keadaan bencana alam tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan “crime against humanity”. 6) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 karena tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusi yang dilanggar baik secara aktual maupun potensial.

4/PUU-XVII/2019

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945