2/PUU-XVII/2019
Kerugian Konstitusional: Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU Guru dan Dosen dianggap melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang intinya bahwa dengan tidak diakuinya profesi Pemohon (Pendidik PAUD pada jalur nonformal) sebagai guru telah membuat semua jaminan-jaminan hak konstitusional yang dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 menjadi tidak terpenuhi. Dalam menjalankan profesi sebagai Pendidik PAUD pada jalur nonformal, Pemohon tidak mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemohon juga tidak mendapatkan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemohon tidak pula mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri lantaran jaminan itu secara diskriminatif hanya diberikan kepada Pendidik PAUD di jalur formal saja. Semua jaminan hak konstitusional itu tidak ada satupun yang Pemohon terima, sehingga telah nyata terjadi pencederaan atas hak-hak konstitusional Pemohon sebagai Pendidik PAUD pada jalur nonformal (vide perbaikan permohonan hlm 5) Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa Pemohon dalam perkara a quo mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 yang pada intinya mengatur hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan ketentuan pasal-pasal a quo tidak menghalangi Pemohon untuk memperoleh hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU a quo justru memberikan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum serta tidak bersifat diskriminatif bagi seluruh warga negara yang berprofesi sebagai guru. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen merupakan ketentuan yang memberikan batasan mengenai guru dan kualifikasi guru. Bahwa Pemohon yang berkedudukan sebagai pendidik pada satuan PAUD nonformal tidak relevan untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, karenanya Pemohon tidak dapat mempertentangkan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Bahwa sesungguhnya hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 sama sekali tidak dikurangi, artinya Pemohon sebagai pendidik satuan PAUD nonformal tetap dapat menjalankan profesinya dan memperoleh haknya sebagaimana diatur dalam ketentuan UUD Tahun 1945. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya mengemukakan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen mengenai pendidik PAUD yang diakui berstatus dan berkedudukan sebagai “guru” hanyalah pendidik pada PAUD formal saja, sedangkan Pemohon sebagai Pendidik pada PAUD nonformal secara hukum tidak diakui sebagai guru (vide perbaikan permohonan hlm 6). Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Pemohon yang berkedudukan sebagai pendidik pada PAUD nonformal juga tetap mendapatkan haknya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan tidak dirugikan ataupun terbatasi dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo UU Guru dan Dosen. Bahwa Pemohon sebagai Pendidik pada PAUD nonformal yang bukan guru tetap diakui secara hukum. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 39 ayat (2), Pasal 40, dan Pasal 42 UU Sisdiknas dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 31 Tahun 2017 tentang Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pamong Belajar. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, karena Pemohon dalam pengujian ketentuan pasal a quo UU Guru dan Dosen berkedudukan sebagai pendidik di satuan PAUD nonformal bukan berprofesi sebagai guru. Bahwa kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai pendidik (bukan guru) pada PAUD nonformal bukanlah akibat dari berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU a quo. c. Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon mendalilkan dengan tidak diakuinya profesi Pemohon (Pendidik PAUD pada jalur nonformal) sebagai guru telah membuat semua jaminan-jaminan hak konstitusionalnya menjadi tidak terpenuhi. Semua jaminan hak konstitusional itu tidak ada satupun yang Pemohon terima, sehingga telah nyata terjadi pencederaan atas hak-hak konstitusional Pemohon sebagai Pendidik PAUD pada jalur nonformal (vide perbaikan permohonan hlm 5). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagaimana telah dikemukakan pada huruf a dan b, Pemohon yang berkedudukan sebagai pendidik pada satuan PAUD nonformal tidak relevan dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, sehingga ketentuan a quo tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon. Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon tidak bersifat bersifat spesifik (khusus) dan aktual serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa Pemohon yang berkedudukan sebagai pendidik pada satuan PAUD nonformal sangatlah tidak relevan dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, sehingga jelas ketentuan a quo tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Dengan demikian tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan pasal-pasal a quo UU Guru dan Dosen. e. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa Pemohon sebagaimana telah dikemukakan tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Guru dan Dosen. Bahwa selain itu juga tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU Guru dan Dosen. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok Perkara: 1) Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan dalam UU Guru dan Dosen menghilangkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian dan perlakuan yang sama bagi Pendidik PAUD nonformal karena pemberian status dan kedudukan “Guru” hanya kepada Pendidik PAUD formal saja adalah pengakuan yang bersifat parsial sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (vide Perbaikan Permohonan hlm 9). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan : a) Berdasarkan Angka 98 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, ketentuan umum berisi batasan pengertian atau definisi. Definisi guru ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen mencakup guru yang mengajar pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Konsekuensi hukum dari batasan definisi tersebut bahwa segala sesuatu yang diatur dalam UU Guru dan Dosen berlaku dan mengikat bagi pendidik PAUD Formal sedangkan PAUD nonformal tidak terikat ketentuan UU ini. b) Bahwa untuk memahami ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, yang pada intinya mengatur mengenai guru adalah pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah , Pemohon perlu memahami dan mencermati UU Guru dan Dosen secara komprehensif serta ketentuan dalam UU Sisdiknas. c) Bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (vide Pasal 13 ayat (1) UU Sisdiknas). Bahwa pemohon perlu memahami perbedaan antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal. d) Bahwa terkait dengan jalur pendidikan nonformal dan jalur pendidikan formal, ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Sisdiknas menjabarkan pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pengaturan jalur pendidikan nonformal dijelaskan dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Sisdiknas yang mengatur bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. e) Bahwa terkait dengan pendidikan formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Sisdiknas menyatakan pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. f) Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4) UU Sisdiknas mengatur bahwa : (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Maka jelas, ketentuan tersebut mengatur adanya pendidikan formal dan pendidikan nonformal pada PAUD. Bahwa terkait dengan pendidikan nonformal pada PAUD dipandang perlu juga mencermati ketentuan Pasal 26 UU Sisdiknas yang pada intinya mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal bagi warga masyarakat yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Bahwa atas dasar ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Sisdiknas tersebut sudah jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap pendidikan formal maka peserta didik pada PAUD nonformal diajar dan dididik oleh pamong belajar, tidak diajar dan dididik oleh guru. Mengingat pengertian pendidik dalam Pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas menyatakan : Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Bahwa Pamong Belajar sebagai pendidik pada jalur PAUD nonformal benar tidak dapat disetarakan dengan Guru pada jalur PAUD nonformal yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 31 Tahun 2017 tentang Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pamong Belajar diatur bahwa “Pamong belajar adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT)/Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan Satuan PNFI sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil”. Oleh karenanya pendidik di satuan pendidikan nonformal tidak dapat disamakan dengan pendidik di satuan pendidikan formal demikian pula pengaturannya. Bahwa antara profesi guru dan pamong belajar meskipun sebagai pendidik tidak dapat disamakan karena mempunyai ruang lingkup tugas dan fungsi berbeda yang tentu hak- haknya pun tidak sama. Kondisi yang tidak sama tersebut tidak serta merta menjadikan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen diskriminatif. Pandangan ini sesuai dengan pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa: “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Selanjutnya menurut Bagir Manan : Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 2) Bahwa untuk menjadi Guru dan Pamong Belajar terdapat persyaratan dan kualifikasi yang berbeda. Ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Bahwa selanjutnya dalam UU Guru dan Dosen, diatur guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Keprofesionalan guru sebagai pendidik merupakan suatu bidang pekerjaan yang khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas yang diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Dalam UU Guru dan Dosen terdapat pengaturan syarat-syarat untuk menjadi guru yang dalam praktiknya tidak mudah dan membutuhkan proses panjang, sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU Guru dan Dosen yang berketentuan: ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Bahwa kualifikasi akademik menurut ketentuan Pasal 9 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat, kompetensi guru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 meliputi kompetensi pedagogik (kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik), kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar), dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam). 3) Bahwa persyaratan dan kualifikasi untuk menjadi guru sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 UU Guru dan Dosen tentu tidak sama dengan pendidik (pamong belajar) PAUD nonformal. 4) Bahwa Pemohon mendalilkan UU Guru dan Dosen bersifat diskriminatif karena Pendidik PAUD nonformal tidak akan pernah dapat menikmati jaminan hak atas pekerjaan, jaminan kesejahteraan bagi Guru seperti mendapatkan gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan : a) Bahwa ketentuan pasal a quo UU Guru dan Dosen tidak mengatur mengenai jaminan hak dan tunjangan bagi guru, sehingga apa yang didalilkan oleh Pemohon tidak relevan dengan pengujian yang diajukan oleh Pemohon. b) Bahwa UU Guru dan Dosen tidak bersifat diskriminatif sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena UU Guru dan Dosen tidak memenuhi unsur-unsur diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Bahwa pengertian diskriminasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU HAM menyatakan : "setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya” Bahwa batasan diskriminasi yang diatur dalam UU HAM tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dijabarkan dalam Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 5) Bahwa Pemohon dalam permohonannya memohon agar “Menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mencakup pula Pendidik Anak Usia Dini Pada Jalur NonFormal”. Bahwa terhadap petitum Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan materi petitum tersebut memuat rumusan norma baru yang mengubah makna ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Pembentukan rumusan norma baru pada ketentuan pasal a quo UU Guru dan Dosen tersebut merupakan kewenangan pembentuk UU. Bahwa merujuk pada Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan: “Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata- nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. dan pada pendirian Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 yang menyatakan bahwa: “Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata- kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.” Demikian juga mengutip pendapat Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” (Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Bahwa tidak tepat apabila Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan dalam UU Guru dan Dosen sebagaimana dimohonkan dalam petitum Pemohon. 6) Bahwa berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, ketentuan pasal-pasal a quo UU Guru dan Dosen konstitusional karena sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
2/PUU-XVII/2019
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945