Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

4/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional: Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal a quo UU HAP yang pada intinya sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat, dalam hal ini beranggapan bahwa Pihak Penyidik Direskrimum Polda Jatim tidak memperhatikan kedudukan Pemohon sebagai Advokat yang sedang menjalankan profesinya dan tanpa melalui ijin dari Organisasi Advokat Peradi untuk melakukan penyidikan dan juga tidak dilakukan pemeriksaan Etik terlebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Advokat. Penyidik dianggap tidak memperhatikan keberatan proses penyidikan oleh Organisasi Advokat Peradi Cabang Sidoarjo dengan suratnya No. 02/Peradi/DPC- SDA/VI/2015 tertanggal 30 Juni 2015. Pemohon merasa sangat dirugikan oleh karena sebagai Advokat tidak diperlakukan sesuai dengan UU Advokat sebagai payung hukumnya. Bahkan Komnas HAM melalui surat jawaban Nomor 945/K-PMT/VI/2017 tanggal 19 Juni 2017 atas Surat Permohonan Perlindungan Hukum Pemohon tanggal 8 Nopember 2016 yaitu pada intinya Komnas HAM berkirim surat kepada Irwasda Polda Jatim guna mempertanyakan Proses Penyidikan terhadap Advokat yang sedang menjalankan profesi sesuai prosedur; (Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 4, angka 13) 2. Bahwa Pemohon beranggapan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Polda Jatim terhadap Pemohon sangat merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Advokat yang mempunyai hak imunitas di dalam menjalankan profesinya baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan dalam rangka pembelaan terhadap klien. (Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 5, angka 14) Legal Standing: Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: Terhadap pokok permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU HAP, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut: 1) Penahanan sesuai Pasal 1 angka 20 UU HAP yaitu merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, in litis UU HAP. 2) Bahwa berdasarkan Pasal 20 UU HAP, terdapat pejabat yang berwenang melakukan penahanan yaitu: a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, atau penyidik pembantu atas perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan. b. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. c. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. 3) Bahwa Advokat mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Oleh karena nya advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), yaitu: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.” 4) Bahwa mengingat peran dan fungsi advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam penegakan supermasi hukum dan hak asasi manusia maka dalam menjalankan profesinya untuk tegaknya keadilan berdasarkan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan (klien) diberikan jaminan dan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Advokat, yaitu: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar siding pengadilan.” 5) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa: “Pemohon adalah seorang Advokat, seharusnya dalam bekerja melakukan pembelaan terhadap klien Pemohon mempunyai hak imunitas. Baik di dalam persidangan maupun diluar persidangan sebagaimana di tegaskan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013, Mahkamah menyatakan, Pasal 16 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. (Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 4, angka 12)” Terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI memberikan pandangan bahwa dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat dijelaskan bahwa: “yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.” Berdasarkan Penjelasan Pasal 16 UU Advokat tersebut, hak imunitas di dalam Pasal 16 UU Advokat telah jelas memberikan batasan yaitu sepanjang Advokat memiliki “itikad baik” selama menjalankan tugas profesinya. Jika ternyata Pemohon berdasarkan bukti permulaan yang cukup telah diperiksa dan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penegak hukum (berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Gas/2014/XI/2015/Direskrimum, tanggal 30 November 2015 dan Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/02/I/2016/Ditreskrimum, Direskrimum Polda Jatim tanggal 15 Januari 2016) maka terlihat jelas bahwa berdasarkan penilaian penegak hukum, Pemohon dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai Advokat baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan ternyata tidak memiliki itikad baik. 6) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa: “Pihak Penyidik Direskrimum Polda Jatim tidak memperhatikan kedudukan Pemohon sebagai Advokat yang sedang menjalankan profesinya dan tanpa melalui ijin dari Organisasi Advokat Peradi untuk melakukan penyidikan dan juga tidak dilakukan pemeriksaan Etik terlebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Advokat (Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 4, angka 13) Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa dalam ketentuan Pasal 11 Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa: (1) Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu: a. Klien. b. Teman sejawat Advokat. c. Pejabat Pemerintah. d. Anggota Masyarakat. e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota. (2)... (3)Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat. Bahwa Dewan Kehormatan Advokat menindaklanjuti adanya Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat yang mekanismenya harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota, dan pengaduan tersebut hanya mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat. Berdasarkan Pasal 26 ayat (6) UU Advokat menyatakan bahwa: “Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap Kode Etik profesi Advokat mengandung unsur pidana”. Berdasarkan hal tersebut, jika Pemohon menjadi tersangka tindak pidana Pemalsuan dan/atau Fitnah dan/atau Pengaduan Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 317 KUHP tentu telah berdasarkan bukti permulaan yang cukup berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Penegak Hukum. Jika memang seandainya memang ada yang mengadukan Pemohon kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, tentu tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap Kode Etik profesi Advokat mengandung unsur pidana berdasarkan Pasal 26 ayat (6) UU Advokat. 7) Bahwa terhadap dalil Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan: “Penahanan terhadap Pemohon yang dilakukan oleh Penyidik dan JPU, sama saja mereka tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, tidak menggunakan prinsip bahwa sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka tersangka/terdakwa wajib dianggap tidak bersalah.” (Vide, Perbaikan Permohonan Hlm. 16, angka 35) Terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI dalam hal ini terlebih dahulu menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan, penuntutan, dan proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang disertai penahanan dapat diketahui adalah dalam rangka proses peradilan pidana sebagai bagian dari integrated criminal justice system. Bahwa selama proses peradilan sedang berlangsung, maka terhadap setiap orang tetap dianggap tidak bersalah sesuai asas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Asas praduga tidak bersalah tersebut berlaku untuk setiap orang yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana, tidak hanya terhadap Pemohon. Pemohon dalam menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan menjalani penahanan adalah dalam rangka proses pembuktian terjadinya tindak pidana, dan tidak ada kaitan dengan hak konstitusional Pemohon. Berdasarkan pertimbangan tersebut, DPR RI berpendapat bahwa nyata-nyata tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo, karena pada kenyataannya peristiwa hukum yang dialami oleh Pemohon justru dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945, sehingga apa yang di sangkakan oleh Pemohon adalah tidak benar. 8) Bahwa terhadap anggapan Pemohon yang merasa bahwa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata “penahanan”, Pasal 11 sepanjang kata “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU HAP, DPR RI memberikan pandangan bahwa menurut Yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan hlm. 49, tentang adanya prinsip Diferensiasi Fungsional dalam KUHAP sebagai kontrol proses penyidikan yang bertujuan: “untuk melenyapkan tindakan proses penyidikan yang saling tumpang tindih antara kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang proses penyidikan yang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan, untuk menjamin adanya “kepastian hukum” dalam proses penyidikan. Dengan diferensiasi, setiap orang tahu dengan pasti instansi yang berwenang memeriksa pada tingkat penyidikan hanya “kepolisian” sehingga tersangka tahu mempersiapkan diri pada setiap tingkatan pemeriksaan yang dia hadapi juga diferensiasi ditujukan untuk “menyederhanakan” dan “mempercepat” proses penyelesaian perkara. Jadi, mengefektifkan tugas-tugas penegakan hukum ke arah yang lebih menunjang prinsip peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, di samping itu diferensiasi fungsional memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural, karena dengan penjernihan pembagian tugas dan wewenang, monitoring pengawasan dapat ditujukan secara terarah kepada instansi bawahan yang memikul tugas penyidikan. Hal ini sekaligus memudahkan peletakan tanggung jawab yang lebih efektif, karena dengan diferensiasi, aparat penyidik tidak lagi melemparkan tanggung jawab penyidikan kepada instansi lain, bulat dan penuh menjadi tanggung jawabnya. Setiap kekeliruan dan kesalahan yang terjadi menjadi beban yang harus dipikul seorang diri, tidak lagi dicampurbaurkan menjadi beban instansi lain. dengan asas diferensiasi dapat dipastikan tercipta satu hasil berita acara pemeriksaan, yakni hanya berita acara yang dibuat oleh pihak kepolisian, tidak dijumpai lagi dua macam hasil berita acara penyidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain dalam berkas perkara”. 9) Bahwa jika dalam proses penyidikan, penangkapan, dan penahanan tersebut ada diketahui ada proses yang tidak sah menurut UU HAP, maka tersangka dapat melakukan upaya hukum Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU HAP. Bahwa berdasarkan berkas permohonan Pemohon yang disampaikan kepada Mahkamah, bahwa Pemohon telah mengambil upaya hukum Praperadilan terhadap penetapan tersangka dan penahanan terhadap Pemohon, dan Praperadilan mengalahkan Pemohon (vide, Perbaikan Permohonan, hlm. 5 angka 15). Berdasarkan dari Prinsip Diferensiasi Fungsional dan dari putusan Praperadilan tersebut, DPR RI menyatakan bahwa proses penyidikan dan penahanan Pemohon tidak ada yang dilanggar, dan tidak ada hak konstitusional Pemohin yang dirugikan. Oleh karenanya ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata “penahanan”, Pasal 11 sepanjang kata “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU HAP tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. 10) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan bahwa: “kewenangan penahanan adalah mutlak milik Hakim, bukan penyidik ataupun JPU. Sebab menurut Pemohon, hakimlah yang berwenang atas nama keadilan bisa merampas kemerdekaan seorang Tersangka atau Terdakwa.” (vide, Perbaikan Permohonan hlm. 17, angka 39). DPR RI berpandangan bahwa perlu untuk dibedakan antara penahanan dengan pemidanaan. Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 21 UU HAP dijelaskan bahwa: “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Sedangkan pemidanaan adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang sudah dinyatakan bersalah atau terbukti berdasarkan putusan pengadilan oleh hakim. Pada saat proses peradilan tersebut masih dalam tahap penahanan belum tentu seseorang itu bersalah. Sehingga penahanan adalah sebuah instrumen hukum selama seseorang sedang menjalani proses hukum sampai dijatuhkan vonis oleh pengadilan. Bahwa dilakukan penahanan terhadap seseorang bukanlah tanpa alasan dan alasan itu disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan (UU HAP). Alasan atau dasar seorang tersangka/terdakwa untuk dilakukan penahanan, apabila tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa: 1. Akan melarikan diri; 2. Merusak atau menghilangkan barang bukti; 3. Dan atau mengulangi perbuatannya. Kewenangan untuk melakukan penahanan tersebut berdasarkan Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 UU HAP secara atribusi diberikan kepada aparat penegak hukum untuk melaksanakannya. 11) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa: “ pembentuk undang-undang berlaku tidak adil, disatu sisi Penyidik diberikan kewenangan melakukan penyitaan barang dengan mendapat kontrol yaitu harus mendapat persetujuan pengadilan, namun dalam persoalan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan JPU, KUHAP tidak mewajibkan izin ketua pengadilan. (Vide, Perbaikan Permohonan, hlm. 17, angka 38) DPR RI memberikan pandangan bahwa Pemohon harus terlebih dahulu memahami bahwa penyitaan dan penahanan bukanlah sesuatu yang dapat diperbandingkan karena penyitaan berkaitan dengan benda, sedangkan penahanan terkait dengan manusia (tersangka/terdakwa). Untuk mencegah dilakukan tindakan sewenang-wenang, sehingga kepastian hukum bagi seseorang dapat dijamin, maka dalam rangka menghormati kemerdekaan seseorang atas hak untuk menguasai harta benda miliknya, suatu penyitaan barang dari Tersangka ataupun dari pihak lain yang disangka ada hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan harus dilakukan secara pasti baik mengenai alasan- alasannya maupun jenis, jumlah, tempat serta keadaan dari barang yang dimaksud. Dimana benda yang dapat dilakukan penyitaan sesuai dengan Pasal 39 UU HAP adalah: • benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; • benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; • benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan • benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Penahanan tidak memerlukan izin dari Ketua Pengadilan karena merupakan wewenang secara atribusi dari UU HAP kepada Penyidik dan Penuntut Umum untuk melaksanakannya. Selain itu penahanan hanya dapat dilakukan apabila ada cukup petunjuk- petunjuk yang nyata, seperti yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) UU HAP yaitu apabila tersangka tidak dikenakan penahanan sangat dikhawatirkan akan mempersulit jalannya penyidikan misalnya dengan menghilangkan bukti-bukti, atau tersangka akan melarikan diri ataupun akan mengulangi tidak pidana yang bersangkutan. Dengan demikian maka penahanan tidak dapat dilakukan secara semena-mena. 12) Bahwa jika Pemohon mendalilkan bahwa penyitaan yang harus mendapat izin pengadilan dan penahanan yang tidak perlu mendapatkan izin dari ketua pengadilan adalah suatu bentuk ketidakadilan, sebaliknya DPR RI menilai bahwa justru menyamakan pengaturan penyitaan dan penahanan, adalah suatu bentuk ketidakadilan yang sesungguhnya. Pemohon perlu memahami bahwa ruang lingkup ketidakadilan dan persamaan di hadapan hukum sebagai berikut: Equality before the law and the equal protection of the law do not mean identity or abstract symmetry of treatment. Distinctions need to be made for different classes and groups of persons, and a classification based n reasonable and objective criteria is permitted. (The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence: Nihal Jayawickrama: hlm.818-819) Mengutip pernyataan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 13) Bahwa terhadap pernyataan Pemohon yang mendalilkan bahwa: “dalam setiap amar putusan pidana dimana Terdakwanya ditahan, selalu berbunyi menghukum Terdakwa misalnya, dengan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi masa penahanan. Jika terdakwa, sudah menjalani penahanan 8 bulan, maka tinggal 2 bulan lagi jika putusan a quo sudah inkracht. Pemohon mempertanyakan, siapa yang bertanggung jawab jika pada persidangan terhadap Terdakwa yang ditahan ternyata diputus bebas oleh hakim, padahal Terdakwa sudah berbulan-bulan ditahan.” (Vide, Perbaikan Permohonan, hlm. 14, angka 24 dan angka 25.) DPR RI berpandangan bahwa Terdakwa dapat memperoleh rehabilitasi. Adapun pengaturan mengenai mekanisme rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 97 UU HAP, yaitu: (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) ... . 14) Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon secara terang mengungkapkan bahwa permohonan ini diajukan untuk kepentingan Pemohon (Vide, Perbaikan Permohonan hlm. 20, angka 52). Berdasarkan pernyataan Pemohon tersebut semakin jelas bahwa hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang, melainkan masalah terkait dengan penerapan norma undang-undang a quo.

4/PUU-XVI/2018

Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata Penahanan, Pasal 11 sepanjang kalimat kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik, dan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU HAP

Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.