Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

15/PUU-XV/2018

Kerugian Konstitusional: Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 50 ayat (6) UU Jalan yang pada intinya adalah: 1. Bahwa pembayaran jalan tol yang tidak pasti sampai kapan diharuskan terus membayar, membuat Para Pemohon merasa sangat dirugikan. Ketidakpastian hukum terhadap pembayaran jalan tol tersebut membuat Para Pemohon dan masyarakat terbebani terus menerus. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 8-9) 2. Bahwa masa konsesi jalan tol dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada kepastian jangka waktunya dalam suatu undang-undang sangat potensial dan faktual merugikan hak Para Pemohon dan masyarakat pada umumnya dikarenakan negara tidak mampu mendayagunakan prasarana untuk kepentingan umum in casu jalan tol sebagaimana ditegaskan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 9) Legal Standing: Bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut: a. Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menyampaikan bahwa Para Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia dan merupakan pengguna jalan tol aktif. Terhadap hal ini, DPR RI berpandangan bahwa berkenaan dengan permohonan uji materiil Pasal a quo Para Pemohon tidak mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD Tahun 1945, sebab kerugian konstitusional yang oleh Para Pemohon dianggap dirugikan dengan berlakunya pasal a quo sebenarnya tidak ada atau tidak berdasar karena Para Pemohon tidak memiliki keterkaitan dengan pasal a quo. b. Bahwa pasal a quo mengatur mengenai konsesi pengusahaan jalan tol berkenaan dengan pengembalian dana investasi dalam ruang lingkup pengusahaan jalan tol yang dilakukan berdasarkan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) / Public Private Partnership (PPP). Subyek utama yang terkait dengan skema KPBU berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 (Perpres 38 Tahun 2015) tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres KPBU) adalah Pemerintah yang berperan sebagai Penanggung Jawab Kerjasama Proyek (PJPK) dan Badan Usaha yang bergerak di bidang pengusahaan jalan tol sedangkan Para Pemohon tidak termasuk dalam keduanya. c. Bahwa oleh karenanya, Para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, tidak ada kerugian konstitusional yang diderita oleh Para Pemohon, sehingga tidak ada hubungan sebab akibat antara Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo. Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa “tiada kepentingan maka tiada gugatan” yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Putusan MK mengenai pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang- undang. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak, yang salah satunya berupa jalan. Bahwa yang dimaksud dengan jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Adapun jalan dibedakan menjadi jalan umum, yaitu jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum dan jalan khusus, yaitu jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri. Jalan umum sendiri dibedakan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa, 2) Bahwa permohonan Para Pemohon berkenaan dengan jalan tol. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Jalan, yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunaannya diwajibkan membayar tol. Adapun yang dimaksud dengan tol disini adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol (Pasal 1 angka 8 UU Jalan). 3) Bahwa jalan tol diselenggarakan untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang, meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi, meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, dan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan (Pasal 43 ayat (1) UU Jalan). 4) Bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU Jalan, kewenangan penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah. Namun demikian, kewenangan tersebut tidak dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah tetapi juga bersama Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (3) UU Jalan. Adapun tugas BPJT adalah melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol yang meliputi pengaturan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol 5) Bahwa Para Pemohon menyampaikan “dengan dibukanya investasi untuk pembangunan jalan tol sesungguhnya telah mengaburkan bahkan menghilangkan konsep penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi yang terpenting untuk kesejahteraan rakyat. (Vide perbaikan permohonan, hlm. 23, angka III.19) Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan : Bahwa berkenaan dengan tafsir makna “dikuasai oleh negara” pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, telah ada Putusan MK yang membahas mengenai hal ini, yaitu Putusan MK No. 001-021- 022/PUU-I/2003 : Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menafsirkan makna “dikuasai oleh negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyat yang diakui sebagai sumber pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, untuk mengetahui apakah suatu cabang produksi merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga perlu dikuasai oleh negara tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing- masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu : (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan negara juga termasuk di dalamnya persoalan kepemilikan negara. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah. Konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam bandan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat dikotomikan atau dialternatifkan dengan konsep pengaturan oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Meskipun pemilikan negara dalam bentuk saham-saham pada perusahaan yang bergerak pada cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, namun untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak harus 100% dikuasai oleh negara. Hal terpenting dalam penguasaan saham oleh negara adalah memastikan bahwa negara tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan. Dengan pendapat demikian, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945. Mahkamah, berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 juga tidak menolak ide kompetisi diaNtara para pelaku usaha oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. 6) Bahwa terhadap dalil yang disampaikan oleh Para Pemohon, dengan dibukanya investasi untuk pembangunan jalan tol sesungguhnya telah mengaburkan bahkan menghilangkan konsep penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting untuk kesejahteraan rakyat, DPR RI berpandangan bahwa hal itu adalah anggapan yang salah, sebab frasa “dibukanya investasi” bermakna bahwa sesungguhnya pemegang utama kebijakan usaha, dalam hal ini jalan tol, tetap ada pada negara c.q. Pemerintah, hanya saja dalam penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU Jalan yang menentukan : “Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.” Lebih lanjut dalam Pasal 45 ayat (6) UU Jalan ditentukan bahwa Tugas BPJT adalah melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol yang meliputi : a. Pengaturan jalan tol mencakup pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya kepada Menteri, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya; b. Pengusahaan jalan tol mencakup persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi, dan pemberian fasilitas pembebasan tanah; dan c. Pengawasan jalan tol mencakup pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan pengawasan terhadap pelayanan jalan tol. Dengan demikian, sesungguhnya memang dimungkinkan adanya investasi dalam penyelenggaraan jalan tol. 7) Bahwa berkenaan dengan pengambilalihan jalan tol/hak pengusahaan jalan tol pada akhir masa konsesi, menjadi kewenangan dari BPJT sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (6) huruf a UU Jalan. Adapun pengertian konsesi tidak dijelaskan dalam UU Jalan tetapi ada pada peraturan pelaksananya yaitu Penjelasan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 (PP 15 Tahun 2005) tentang Jalan Tol, yang menentukan bahwa konsesi adalah izin pengusaha jalan tol yang diberikan Pemerintah kepada Badan Usaha untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar 8) Bahwa berdasarkan Pasal 50 ayat (6) UU Jalan, “konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol.” Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (1) PP 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol diatur bahwa “Jangka waktu konsesi ditetapkan dalam perjanjian pengusahaan.” Dengan demikian, masa konsesi bukanlah suatu jangka waktu yang tidak jelas sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon, tetapi suatu ketetapan jangka waktu yang pasti sebab dituangkan dalam bentuk perjanjian, dalam hal ini Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (selanjutnya disebut PPJT), dimana perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Artinya, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (selanjutnya disebut PPJT), termasuk ketentuan mengenai jangka waktu konsesi yang diatur dalam PPJT tersebut, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 9) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan : tidak semestinya penguasaan negara atas jalan tol direduksi melalui perjanjian pengusahaan, karena dimungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan akibat adanya ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan merugikan Para Pemohon sebagai warga negara dan masyarakat pada umumnya. (Vide Perbaikan Permohon hlm. 23). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa dalil tersebut tidaklah tepat. Jika dipandang dengan luas pengusahaan jalan tol adalah suatu bentuk kerjasama bisnis antara Pemerintah dengan Badan Usaha, yang mana dalam suatu hubungan kemitraan tentunya tidak terlepas dari adanya kesepakatan-kesepakatan atau tujuan yang hendak dicapai dan dengan disepakatinya suatu perjanjian dapat menjadi sarana agar tujuan dari kesepakatan tersebut dapat tercapai dengan pasti. 10) Bahwa dari sisi Pemerintah tentunya tujuan dari PPJT agar dapat terselenggaranya infrastruktur jalan tol demi terciptanya kesejahteraan rakyat dengan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Jalan tanpa membebankan APBN mengingat nilai dana yang dibutuhkan dalam proyek infrasturktur yang tidaklah kecil. 11) Bahwa dari segi aspek hukum perjanjian, dikenal asas Pacta Sunt Servada yang berarti suatu perjanjian mengikat seperti undang- undang bagi para pihak dalam perjanjian. Maka hal tersebut sesungguhnya menjamin kepastian hukum bahwa badan usaha berkewajiban memenuhi apa yang sudah disepakati dalam perjanjian. 12) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan “bahwa frasa “dalam jangka waktu tertentu” dalam rumusan Pasal 50 ayat (6) merupakan frasa yang memberikan dampak terjadinya kerugian bagi negara dan rakyat Indonesia. Sebab, ketentuan dalam jangka waktu mengakibatkan adanya kesepakatan waktu yang membeda- bedakan antar sesama jalan tol, padahal sesungguhnya hal-hal berkaitan dengan aset negara perlu diperjelas masa waktunya agar rakyat tidak dirugikan.” (Vide perbaikan permohonan, hlm. 24, angka III.20) Terhadap dalil tersebut DPR RI berpendapat bahwa sesungguhnya jangka waktu masa konsesi akan ditentukan dengan pasti dan dituangkan ke dalam PPJT. Sebagaimana diatur dalam Pasal 64 huruf b PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (sebagai peraturan turunan dari UU Jalan) menyatakan bahwa salah satu hal yang wajib termuat dalam PPJT adalah masa konsesi pengusahaan jalan tol, sehingga tidaklah benar jika Para Pemohon menyatakan jangka waktu masa konsesi dalam pengusahaan jalan tol tidak jelas. 13) Bahwa DPR RI berpandangan jangka waktu masa konsesi suatu pengusahaan jalan tol yang berbeda-beda tidak berarti akan menimbulkan kerugian bagi negara dan rakyat Indonesia. Pasal a quo mengamanatkan untuk adanya pengembalian dana investasi dengan keuntungan yang wajar didapatkan selama masa konsesi pengusahaan jalan tol. Oleh karena itu, dalam menentukan jangka waktu masa konsesi harus memperhitungkan waktu yang dibutuhkan untuk menjamin pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi badan usaha. 14) Bahwa pengembalian investasi pengusahaan jalan tol didapatkan melalui pembayaran tol yang dibayarkan oleh pengguna jalan tol sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (3) UU Jalan. Bahwa Pasal 48 ayat (1) UU Jalan jo. Pasal 66 ayat (1) PP 15 Tahun 2005 mengatur dalam penentuan tarif tol harus berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, keuntungan biaya operasi dan kelayakan investasi. Memperhatikan faktor-faktor tersebut, tentunya menyebabkan penentuan tarif awal tol yang tidak dapat disamaratakan untuk setiap jalan tol karena dipengaruhi dengan kemampuan membayar pengguna jalan tol di berbagai daerah yang berbeda pula. Bahwa dengan tidak dapat disamakannya tarif tol yang digunakan sebagai alat pengembalian investasi pengusahaan jalan tol, maka waktu yang dibutuhkan (masa konsesi) untuk pengembalian investasi pada setiap pengusahaan jalan tol pun berbeda. 15) Bahwa Para Pemohon seolah menganalogikan pengaturan jalan tol dengan memanfaatkan hak atas tanah yang berbentuk Hak Guna Usaha (HGU). (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 24-25). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa apa yang didalilkan Para Pemohon tersebut tidaklah benar karena hak yang dimiliki oleh Badan Usaha dalam pengusahaan jalan tol hanyalah hak konsesi, karena salah satu obyek kerjasama dalam PPJT adalah pemanfaatan tanah oleh investor yang tidak menjadi pemegang (pemilik) hak atas tanah. (Dr. Irawan Soerodjo, S.H., M.Si., Hukum Perjanjian dan Pertanahan Perjanjian Build, Operate, and Transfer (BOT) atas Tanah, hlm. 41). 16) Bahwa frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan yang disebut dalam dalil Para Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hlm. 24) mengacu kepada masa konsesi sebagaimana isi dari Pasal 50 ayat (6) UU Jalan yang menetapkan “konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol”, yang dituangkan dalam PPJT, dan bukan mengacu pada jangka waktu hak atas tanah, dalam hal ini yang dimaksud oleh Para Pemohon adalah HGU. 17) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang beranggapan ketentuan Pasal 50 ayat (6) UU Jalan, ketentuan yang memiliki makna absurd dan multitafsir sehingga norma tersebut tidak dijiwai dengan nilai- nilai kepastian hukum yang berkeadilan sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak benar. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa dari ketentuan Pasal a quo justru memberikan kepastian hukum terkait dana investasi, karena di dalam Pasal a quo diatur mengenai pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol. Dari sisi Negara c.q Pemerintah dengan usaha jalan tol tersebut, tercapai penyelenggaran jalan tol tanpa membebankan dana yang besar pada APBN, sebagaimana peruntukan penyelenggaraan jalan tol, yang juga diatur dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c UU Jalan, yaitu meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, sedangkan bagi badan usaha mendapatkan keuntungan yang wajar. 18) Bahwa Para Pemohon yang selalu mendalilkan pasal a quo dapat merugikan Negara. Terhadap dalil tersebut DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon sesungguhnya tidak memberikan penjelasan yang jelas dan tidak menguraikan dengan spesifik kerugian seperti apa yang akan dialami negara. Karena pada dasarnya, melalui skema KPBU negara Indonesia, justru meringankan negara dari segi pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, dimana dana untuk membangun infrastruktur menggunakan dana dari badan usaha sehingga tidak membebankan APBN, tetapi negara tetap bisa menjalankan amanat UUD NRI Tahun 1945 untuk mensejahterakan rakyat melalui pemerataan pembangunan infrastruktur. 19) Bahwa Pasal 44 ayat (1) UU Jalan menyebutkan jalan tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum merupakan lintas alternatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata alternatif mempunyai makna pilihan diantara dua atau beberapa pilihan. Maka apabila Para Pemohon merasa dirugikan jika melintasi jalan tol yang berbayar dan pengusahaannya masih dalam masa konsesi yang dipegang oleh badan usaha, Para Pemohon hanya harus memilih untuk melewati pilihan jalan umum lainnya dan tidak menggunakan jasa jalan tol. Adanya jalan tol diselenggarakan sebagai jalan alternatif yang dapat dijadikan pilihan oleh masyarakat yang sebenarnya keberadaannya telah diakui oleh Para Pemohon mempermudah akses kegiatan masyarakat serta memperlancar sirkulasi perekonomian masyarakat dan negara. 20) Bahwa terhadap petitum Para Pemohon yang meminta untuk mencantumkan di dalam undang-undang ketentuan masa konsesi untuk paling lama hanya selama 20 tahun, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas apa yang membuat Para Pemohon menyimpulkan pengembalian investasi dengan keuntungan yang wajar kepada badan usaha dalam pengusahaan jalan tol dapat dilakukan selama 20 tahun untuk semua proyek jalan tol. 21) Bahwa Para Pemohon memberikan contoh negara-negara yang telah mencantumkan ketentuan lamanya masa konsesi dalam peraturan perundang-undangannya sebagai dasar menentukan bahwa Indonesia harus menentukan masa konsesi 20 tahun dalam pasal a quo. Terhadap dalil tersebut DPR RI berpandangan hal tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar hukum yang kuat karena kondisi perekonomian setiap negara yang pada dasarnya berbeda- beda sehingga tidak dapat disamaratakan.

15/PUU-XV/2018

Pasal 50 ayat (6) UU Jalan

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945