Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

48/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitutional : 1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu khususnya pada frasa “…dan/atau citra diri” merugikan atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar merugikan Pemohon karena ketentuan tersebut cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum, karena bersifat karet yang dapat menimbulkan tindakan tidak adil dan diskriminatif terhadap Pemohon sebagai partai politik bagi masyarakat, yang berbeda atau tidak serta merta dapat disamakan dengan kegiatan kampanye sebagaimana dimaksud UU Pemilu sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 (vide perbaikan permohonan hlm 7 – 8 poin 4). 2. Bahwa karena adanya ketentuan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu, Pemohon telah terbelenggu hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendidikan politiknya, dan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat melalui berbagai medium periklanan, menyampaikan gagasan politik Pemohon, mengenalkan visi misi dan program Pemohon dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang Pemohon di mata rakyat sehingga hal ini dianggap oleh Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), dan Pasal 28 H ayat (2) UUD Tahun 1945 (vide perbaikan permohonan hlm 8). Bahwa pasal-pasal a quo UU Pemilu oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945, yaitu Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: • Pasal 28 UUD Tahun 1945 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang”. • Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya seara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. • Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. • Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 ”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” • Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. • Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. • Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: Dalam Provisi Untuk menjaga kepentingan Pemohon dan proses persiapan dan penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 dan menjaga kepastian hukum sudah selayaknya proses pemeriksaan dan putusan terhadap permohonan ini dipercepat. Dalam Pokok Perkara 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan frasa “dan/atau citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 3. Menyatakan Pasal 275 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Partai Politik Peserta Pemilu diperbolehkan untuk melakukan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan f secara swadaya diluar dari fasilitasi KPU dan pendanaan APBN; 4. Menyatakan Pasal 276 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Partai Politik Peserta Pemilu diperbolehkan untuk melakukan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf f secara swadaya, diluar dari failitas KPU dan pendanaan APBN, sejak tiga hari setelah ditetapkan Daftar Calon Anggota Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya Masa Tenang. 5. Menyatakan Pasal 293 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan ayat tersebut tidak berlaku bagi Partai Politik Peserta Pemilu yang melakukan iklan Kampanye Pemilu secara swadaya, di luar dari fasilitasi KPU dan pendanaan APBN. 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau pabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Legal standing : Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan kerugian yang didalilkan yaitu ketentuan UU a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, karena bersifat karet yang dapat menimbulkan tindakan tidak adil dan diskriminatif terhadap Pemohon sebagai partai politik bagi masyarakat. Bahwa kerugian Pemohon tersebut dalam permohonan a quo tidak menjelaskan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang dirugikan akibat berlakunya ketentuan a quo. Bahwa memahami kerugian yang didalikan Pemohon tersebut bukanlah kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya ketentuan pasal a quo UU Pemilu, melainkan kerugian yang disebabkan karena pada tataran implementasi norma yang ditafsirkan oleh Bawaslu. Dengan demikian hal tersebut bukan persoalan konstitusionalitas norma pasal a quo UU Pemilu. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa oleh karena kerugian Pemohon tidak ada kaitannya dengan pasal a quo UU Pemilu dan kerugian yang didalilkan Pemohon tidak spesifik, konkret dan aktual serta Pemohon sama sekali tidak terhalangi dan terkurangi hak dan/atau kewenangan konstitusionalitasnya dengan berlakunya pasal a quo UU Pemilu maka jelas tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan hak konstitusional yang diatur dalam UUD Tahun 1945. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal a quo maka sudah tidak relevan apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 2. Pengujian Materiil Atas UU Pemilu Terhadap UUD Tahun 1945 a.Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan sebagai berikut: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" Makna dari "kedaulatan berada di tangan rakyat" yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung serta memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. 2) Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22E UUD Tahun 1945, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dan rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945. 3) Bahwa secara prinsipil, undang-undang ini dibentuk dengan dasar menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan Pemilu yang termuat dalam tiga undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjawab dinamika politik terkait pengaturan penyelenggara dan peserta Pemilu, sistem pemilihan, manajemen Pemilu, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang, yaitu undang- undang tentang pemilihan umum. 4) Bahwa dasar dilakukannya pembentukan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (yang kemudian ketika diundangkan menjadi UU Pemilu) yang merupakan juga kodifikasi undang-undang terkait dengan kepemiluan ini didasari atas Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang pada pokoknya telah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU No. 42 Tahun 2008). Dengan dibatalkan sejumlah pasal tersebut maka pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) yang semula terpisah kemudian penyelenggaraannya. Adapun pelaksanaan pemilu dengan metoda yang baru ini pula berlaku mulai sejak tahun 2019 dan seterusnya. 5) Bahwa dengan melihat UU Pemilu yang begitu penting dan menjadi dasar utama dalam melakukan pembenahan arah demokratisasi di Indonesia, maka UU Pemilu harus memenuhi beberapa aspek diantaranya : • Menjawab berbagai aspek kepemiluan • Menggagas Pemilu serentak • Menciptakan Pemilu Efisien dan Efektif • Membangun sistem Pemilu sederhana • Meningkatkan derajat keterwakilan • Membebaskan Pemilu dari money politic • Memperkuat sistem presidensial • Penguatan keterwakilan perempuan • Meningkatkan angka partisipasi • Penyelenggaraan yang profesional dan kredibel (Muhammad Lukman Edy, Konsolidasi Demokrasi Indonesia (Original Intent Undang-Undang Pemilu)) Pokok Perkara : 1) Bahwa pengertian kampanye secara umum adalah sebuah proses komunikasi yang bertujuan mempromosikan, mengenalkan atau mempublikasikan kepada masyarakat. Pesan atau informasi dalam kampanye biasanya menitikberatkan pada keunggulan suatu produk atau jasa yang bersifat persuasif. Seperti halnya politik tanpa adanya proses kampanye maka seorang tokoh politik atau partai politik akan sulit dikenal oleh masyarakat. Seorang ilmuan politik Rogers dan Storey (Venus:Wahid, 2016) menerangkan kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana yang tujuannya menciptakan suatu efek yang dapat memepengaruhi sejumlah besar masyarakat. Prosesnya dilakukan secara bertahap yang memiliki target dalam kurun waktu yang ditentukan. Bahwa Pfau dan Parrot (dalam Yustian, 2008) mendefinisikan kegiatan kampanye dilakukan dengan sadar dan aktif untuk mendukung dan meningkatkan aktifitas pelaksanaan yang direncanakan pada periode tertentu yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi khalayak sasaran tertentu. Tujuan dari kampanye politik yaitu mengadakan serangkaian kegiatan komunikasi yang berjalan terorganisasi dengan maksud menciptakan efek politik tertentu terhadap sebagian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu yang terbatas. 2) Bahwa “Citra” menurut KBBI adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Sedangkan “Citra Diri” cara seseorang memandang dirinya sendiri dan kemampuan atau penampilannya. Dalam konteks pemilu, citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai, begitupun sebaliknya. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk meraup dukungan pemilih semakin besar. Membangun citra positif dalam ranah politik tentunya diperlukan strategi agar tidak keliru dalam proses menginterpretasikan citra diri kepada masyarakat. Adapun politik pencitraan adalah suatu gambaran tentang seseorang yang digunakan dalam kegiatan politik seperti kampanye politik dan iklan politik untuk membentuk konsep diri seseorang supaya berpengaruh secara politis dan media dapat melegitimasi untuk mengkampanyekan visi dan misi masing-masing kandidat (Ansor, 2011:128). 3) Bahwa menurut Hasan (2009:23) ada empat cara pencitraan yang dilakukan oleh politisi selama ini. Pertama, pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, momen hari-hari besar, perayaan Hari Kemerdekaan dan lain-lain. Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event , mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity yakni memanfaatkan extra ordinary news atau kejadian sangat luat biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi didalamnya sangat menguntungkan. Keempat, paid publicity yakni cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain Biasanya bentuk pencitraan politik yang dilakukan terbagi dalam dua strategi, yaitu Incumbent Vs Challenger. Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk diteruskan. Adapun yang kedua menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk digantikan secara konstitusional. 4) Bahwa Kampanye Pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 267 UU Pemilu “merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab”. Oleh karena itu pula, maka perlu ada tanggung jawab dalam berkampanye bagi peserta pemilu dan oleh karenanya diperlukan batasan pengertian yang tepat agar kampanye tersebut dapat berfungsi dengan baik. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah ketentuan yang memberikan definisi atau batasan pengertian secara resmi mengenai apa yang dimaksud dengan “Kampanye Pemilu”. Unsur yang harus dipenuhi adalah : a. kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu b. meyakinkan pemilih c. menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Bahwa kampanye pemilu tersebut dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang (Pasal 276 UU Pemilu). Konsekuensi hukum jika dilanggar berdasarkan Pasal 492 UU Pemilu adalah dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah. 5) Bahwa UU Pemilu telah mengamanatkan secara atribusi kepada Bawaslu untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu (Pasal 93 huruf b angka 1 UU Pemilu). Untuk melaksanakan tugasnya, Bawaslu diberikan wewenang diantaranya untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu termasuk melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 95 UU Pemilu). 6) Bahwa In casu, Bawaslu telah tepat dan sesuai dengan UU Pemilu dan tidak melampaui kewenangan atau melebih kekuasaan yang dimilikinya. Bawaslu telah menggunakan tugas dan wewenangnya yang diberikan secara atribusi berdasarkan uu a quo dalam melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu. Bahwa Bawaslu bertugas dan berwenang dalam menilai Perbuatan hukum Pemohon yang beriklan di media cetak dalam bentuk meminta masukan kepada masyarakat terhadap tokoh potensial calon wakil presiden dan calon menteri kabinet mendatang dengan disertai logo dan nomor urut Partai Solidaritas Indonesia. Jika Bawaslu menilai ada dugaan pelanggaran yang bernuansa “citra diri” di situ, maka juga tugas dan wewenang Bawaslu pula untuk menindaklanjutinya dengan melaporkannya kepada penegak hukum demi menegakkan ketentuan Pasal 492 UU Pemilu. 7) Bahwa rumusan ketentuan umum mengenai Kampanye Pemilu dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu telah diputuskan dalam Rapat Panita Kerja (Panja) RUU tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) pada tanggal 22 Februari 2017 bertempat di Ruang Rapat Panita Khusus (Pansus) RUU Pemilu, Gedung Nusantara II DPR RI. Bahwa selama ini dalam UU Kepemiluan sebelumnya, Kampanye Pemilu berketentuan sebagai berikut: “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu”. (Pasal 1 angka 29 UU No. 8 Tahun 2012, yang kemudian telah dicabut dengan berlakunya UU Pemilu ini). • Rumusan norma dalam Pasal a quo muncul dari kebutuhan tekait penegakan hukum kampanye Pemilu selama ini. Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu beserta jajarannya sesuai tingkatannya, selama ini sulit sekali menindaklanjuti pelanggaran kampanye pemilu ini. Pelanggaran kampanye Pemilu yang merupakan pelanggaran pidana dalam Pemilu ketika dilanjutkan oleh pengawas pemilu kepada pihak kepolisian sesuai tingkatannya, selama ini seringkali terhenti dikarenakan adanya batasan pengertian tersebut. Kata penghubung “dan” dalam frase “visi, misi, dan program” dalam batasan pengertian mengenai kampanye pemilu tersebut ditafsirkan oleh penegak hukum sebagai syarat yang bersifat kumulatif. Hal ini berarti jika peserta pemilu hanya menyampaikan/menyebarkan visi saja, misi saja, ataupun program saja (dalam berbagai bentuk metode kampanye) tidak dapat dijerat. Celah inilah yang seringkali dimanfaatkan secara maksimal oleh peserta Pemilu demi melakukan kampanye yang tidak sesuai dengan waktunya (kampanye diluar jadwal yang telah ditetapkan/mencuri start kampanye). • Oleh karena itu dalam RUU Pemilu, demi mewujudkan Pemilu yang berkualitas, perbaikan pun dilakukan, sehingga kata penghubung “dan” diubah menjadi “dan/atau”, dengan maksud mulia pembentuk undang- undang yakni bilamana ada dugaan pelanggaran kampanye dapat ditindak meski hanya menyampaikan/menyebarkan visi saja, misi saja, ataupun program saja. Adapun munculnya frasa “citra diri” dalam batasan pengertian kampanye Pemilu itu muncul dikarenakan bentuk-bentuk kampanye dari waktu ke waktu semakin bervariasi. Calon tidak hanya menawarkan visi, misi, ataupun program saja, melainkan seringkali pula menampilkan citra dirinya. Apakah citra diri dimaksud? Hal yang dimaksud adalah identitas diri, hal ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti misalnya lambang, gambar, ataupun nomor partai. Bisa pula pencapaian yang telah diraih selama ini yang dapat menjadi nilai jual bagi si partai maupun diri si calon. Dikarenakan hakekatnya semua ini memiliki maksud dalam rangka berkampanye maka hal ini merupakan sesuatu yang perlu diatur, dan oleh karenanya batasan pengertian kampanye Pemilu pun kemudian menjadi sempurna dengan dilekatkan frasa “citra diri”. 8) Bahwa terhadap petitum dalam provisi yang diminta Pemohon (vide perbaikan permohonan hlm. 17), DPR RI berpandangan bahwa tidaklah tepat jika Pemohon meminta putusan provisi dalam permohonan ini. karena tidak ada alasan yang kuat bahwa ada hal yang mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi Para Pemohon a quo. Oleh karena itu, sudah tepat dan berdasar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi Para Pemohon. Bahwa Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah menyatakan pendiriannya terkait permohonan pengujian undang-undang yang berhubungan dengan permintaan agar Mahkamah menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah hanya menjatuhkan putusan demikian dalam hal terdapat ketidakjelasan atau multitafsir, ketidakpastian hukum, dan potensial menimbulkan pertentangan dengan norma lainnya. Bahwa ketentuan a quo sama sekali tidak menimbulkan penafsiran berbeda ketika dilaksanakan. Sebab, maksud norma tersebut jelas dengan memberikan definisi secara resmi tentang apa yang dimaksud dengan “Kampanye Pemilu”. Selain itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, juga tidak berpotensi untuk bertentangan dengan UUD Tahun 1945 maupun norma undang-undang lainnya. Oleh karena itu DPR RI berpandangan bahwa tidak terdapat alasan hukum bagi Mahkamah untuk menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. 9) Bahwa keterbatasan finansial ditandai oleh ketergantungan keuangan partai politik kepada penyumbang sehingga partai politik cenderung mengutamakan kepentingan penyumbang dan melupakan kepentingan masyarakat. Keterbatasan finansial ini juga terkait dengan kepemimpinan oligarkis karena para penyumbang besar menduduki posisi strategis kepengurusan partai politik atau merupakan orang-orang yang berada di balik keputusan-keputusan yang diambil partai politik. Mengingat pembentukan Partai Politik merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, bukan perwujudan kekuatan ekonomi, maka perlu adanya sumber keuangan Partai Politik yang dapat mencegah penyalahgunaan uang demi kepentingan politik. Dalam hal ini, negara harus menjamin bahwa setiap partai politik mempunyai kesempatan yang sama dalam rangka penyelenggaraan demokrasi dan melaksanakan fungsinya. 10) Bahwa pendanaan partai politik dari APBN merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan negara. Dengan fungsinya sebagai sarana komunikasi politik, partai politik akan memberikan pendidikan politik kepada warga negara yang pada akhirnya hal ini merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan politik bukan hanya digunakan untuk memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk membentuk kepribadian dan kepemimpinan warga negara. Selain itu, pendanaan partai politik oleh APBN mencegah dominasi dari partai politik besar. Partai politik yang memiliki sumber daya dan dana yang besar, akan menjadi partai dominan dan yang lain menjadi subordinat. Hal ini bahkan dapat berimplikasi pada terjadinya dominasi satu partai terhadap negara sebagaimana yang pernah terjadi pada masa orde baru. Ketika partai politik memiliki dana yang sama, maka secara otomatis hal ini dapat memberikan persaingan yang sehat antarpartai politik dan tidak akan terjadi dominasi antara satu partai politik dengan partai politik lain. 11) Bahwa pendanaan partai politik oleh APBN merupakan bentuk implementasi dari Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendirian partai politik merupakan salah satu usaha dari warga negara Indonesia untuk memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara mengingat bahwa partai politik bukan hanya ditujukan untuk kepentingan kelompok, tetapi juga masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Partai Politik. Agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal, partai politik membutuhkan dana, dan dana tersebut wajib dipenuhi oleh negara sebagai bentuk pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945. 12) Bahwa terhadap Petitum Pemohon yang pada intinya meminta agar diperbolehkan kampanye secara swadaya di luar fasilitas KPU dan APBN (vide perbaikan permohonan hlm 18), DPR RI berpandangan bahwa pendanaan partai politik oleh APBN akan memberikan manfaat berupa terjaganya kemandirian partai politik. Hal ini dikarenakan kebutuhan dana partai politik telah terpenuhi sehingga mereka tidak perlu lagi untuk berjuang mencari dana dan fokus dengan misi dan fungsinya. Bandingkan dengan ketika pendanaan partai politik dlakukan oleh para penyumbang. Jika kebutuhan dana partai politik lebih banyak dipenuhi para penyumbang, maka partai politik cenderung memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Apabila hal itu terjadi, maka posisi dan fungsi partai politik sebagai wahana memerjuangkan kepentingan anggota atau rakyat, menjadi tidak nyata. Di sinilah nilai strategis bantuan keuangan partai politik dari negara yang mampu menjaga kemandirian partai politik demi memperjuangkan kepentingan anggota dan rakyat. 13) Bahwa selain itu, pendanaan partai politik oleh APBN dapat mengurangi politik transaksional yang selama ini menghantui sejarah perpolitikan Indonesia. Selama ini, partai politik terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat, hal ini bisa terjadi dikarenakan sumber dana dari partai politik tidak mutlak dari pemerintah saja. Misalnya, pendanaan partai politik dari perusahaan swasta. Ketika partai politik didanai oleh perusahaan swasta, secara otomatis perusahaan yang bersangkutan juga meminta imbalan berupa dipenuhi kepentingannya oleh partai politik. Hal ini berimbas pada fokus dari partai politik dalam memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat, bangsa dan negara akan terpecah belah sehingga partai politik tidak menjadi jembatan penghubung atas aspirasi masyarakat kepada pemerintah, tetapi menjadi jembatan penghubung kepentingan penyumbang kepada pemerintah. 14) Bahwa pemberian dana partai politik oleh APBN merupakan upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi itu bukan saja menunjukkan rendahnya standar moral politik politisi, tetapi juga terbentuknya sistem politik yang memaksa mereka mengambil uang yang bukan haknya. Partai politik sebagai organisasi yang dapat mengantarkan para politisi menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif, membutuhkan dana besar untuk memenangkan perebutan kursi jabatan publik dalam pemilu. Kebutuhan partai akan dana besar untuk bisa memenangkan pemilu telah mendorong para politisi berbuat korup. Dengan adanya pendanaan partai politik oleh APBN, sistem politik yang melahirkan koruptor akan hilang, karena kebutuhan terhadap dana telah terakomodir secara sempurna. Oleh karenanya selain dapat mewujudkan tujuan negara dan mencegah adanya dominasi partai besar dalam perpolitikan tanah air, pendanaan partai politik dari APBN merupakan salah satu bentuk implementasi dari Pasal Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945. Pendanaan partai politik dari APBN juga menjaga kemandirian partai politik dan mencegah politik transaksional sehingga pendanaan tersebut bernuansa penyelenggaraan negara anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. 15) Bahwa terkait dengan kampanye pemilu yang dibiayai oleh APBN, hal ini berangkat dari esensi bahwa kampanye pemilu itu sangatlah bernilai tinggi dalam menentukan terpilih atau tidaknya peserta Pemilu didalam suatu pelaksanaan Pemilu. Bagaimana tidak, kampanye pemilu adalah satu satunya metode yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang untuk menarik calon pemilih dalam pemilu. Namun demikian, bagi peserta pemilu yang memiki keuangan yang berlebih akan semakin maksimal pula kampanye yang dilakukannya. Baliho, spanduk, dan berbagai metode kampanye lainnya akan dilakukan secara berlebihan karena semata-mata keuangan berlebih yang dimilikinya. Lalu bagaimana dengan peserta Pemilu yang tidak memiliki keuangan yang cukup? apakah Pemilu ini diwujudkan untuk memilih semata-mata untuk para hartawan bukan negarawan? Berangkat dari keinginan luhur tersebut maka dalam Rapat Panja RUU Pemilu pada tanggal 17 April 2017 di Ruang Rapat Pansus RUU Pemilu, Gedung Nusantara II DPR RI, disetujuilah bahwa perlu kiranya ada kesetaraan bagi yang berdana besar dan yang berdana minim dalam berkampanye pada pelaksanaan Pemilu. Cara yang ditempuh adalah dengan kampanye tersebut difasilitasi oleh Negara, sehingga bagi yang hartawan dan negarawan keduanya bisa berkampanye dengan kekuatan yang sama dan tidak ada yang berlebih-lebihan. 16) Bahwa pengaturan substansi a quo senyatanya bukanlah hal yang baru saja ada di UU Pemilu terbaru ini, karena dalam pelaksanaan Pilkada yakni semenjak keberlakuan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada, hal ini telah diberlakukan. Dalam Pasal 65 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016, berketentuan sebagai berikut: “Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Jadi sejatinya, apa yang ada di UU Pemilu terbaru saat ini adalah mengadopsi pula kebaikan-kebaikan dan langkah progresif yang telah dimulai semenjak keberlakuan UU Pilkada terbaru tersebut. Adapun mengenai kampanye yang difasilitasi oleh Negara ini pula, senyatanya merupakan salah satu kebaikan yang didapatkan dari kunjungan anggota pansus RUU Pemilu ke beberapa Negara waktu pembahasan tersebut yakni ke Jerman dan Meksiko. Di Meksiko kampanye difasilitasi oleh Negara, termasuk pula tidak boleh ada partai yang berkampanye secara sendiri tanpa melalui Negara melalui media elektronik. Oleh karenanya pemilik partai disana tidak diperbolehkan memiliki media televisi, berbeda dengan dengan di Indonesia, dan hal ini jikalau hal ini tidak diatur maka akan sangat berpotensi dimanfaatkan dan disalahgunakan secara maksimal oleh partai yang mempunyai media televisi tersebut. Oleh karenya maka diaturlah kampanye yang difasilitasi oleh Negara demi menjamin kesetaraan bagi sesama peserta Pemilu. 17) Bahwa masa kampanye telah memberikan ruang yang luas bagi partai politik dalam menyampaikan visi misi dan program jika terpilih. Dalam kurun waktu ini usaha-usaha meraih simpati tentunya akan dilakukan partai politik. Dengan beradu strategi memanfaatkan berbagai metode kampanye. Namun demikian metode kampanye yang akan dilakukan bukanlah tiada batas. Pembatasan-pembatasan itu perlu dalam rangka mewujudkan kampanye yang bermartabat, berkeadilan, dan berkualitas. Demokrasi tanpa pembatasan akan menghasilkan demokrasi yang keblablasan, yang menjauhkannya dari esensi yang sebenarnya. 18) Bahwa dalam pelaksanaan teknis dan jadwal kampanye, metode-metode kampanye tersebut diarahkan untuk penataan berdasar prinsip kampanye yaitu jujur, terbuka dan dialogis serta untuk mengembalikan kampanye sesuai esensinya yaitu sebagai wujud pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertangung jawab. Semua ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu mengenai kampanye dimaksudkan agar terwujud keteraturan pelaksanaan kampanye agar tercipta kampanye yang berkeadilan sehingga diharapkan dapat dipahami dan dipatuhi oleh partai politik maupun tim kampanye dari setiap partai politik. Kepatuhan akan membantu akan membantu citra partai politik yang taat hukum di mata rakyat. Sementara ketidakpatuhan akan menghasiilkan citra negatif publik terhadap partai politik dan dapat berakibat pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. 19) Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya menyatakan: …Pemohon telah terbelenggu hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendidikan politiknya, dan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat melalui berbagai medium periklanan, menyampaikan gagasan politik Pemohon, mengenalkan visi, misi, dan program Pemohon dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang Pemohon di mata rakyat…” “…Pemohon sebagai partai politik yang baru dan akan pertama kali mengikuti Pemilu di Tahun 2019 telah dipasung haknya untuk berpolitik secara penuh karena sudah dipaksa untuk tidak beriklan dan hanya beriklan dengan alokasi yang sama dengan berbagai partai yang sudah puluhan tahun ada di Republik Indonesia, itupun hanya dalam masa 21 hari sebelum masa tenang, yang sudah merupakan masa kritis sebelum hari pemilihan. Artinya waktu bagi rakyat untuk terpapar informasi tentang Pemohon sangatlah sempit. Sebagai sebuah patai politik yang masih baru Pemohon tentu tidak punya titik mulai yang sama dengan partai yang sudah berdiri selama puluhan tahun…” (vide perbaikan permohonan hal 8) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa: • Bahwa Pemohon ingin diberikan perbedaan pengaturan dengan partai politik yang sebelumnya sudah ada. Perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan Pemilu adalah perlakuan yang sama atau setara antarpeserta Pemilu. Ketentuan a quo berlaku terhadap seluruh partai politik yang ada tanpa kecuali dan tanpa membedakan anara yang baru dan yang lama. Dikarenakan hukum tidak membedakan, kita seharusnya tidak membedakan/Ubi lex non distinguit, nec nos distinguere debemus. • Bahwa Pemohon sebagai Partai Politik yang telah dinyatakan lolos verifikasi peserta pemilu tahun 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 17 Februari 2018 maka dengan demikian Pemohon terikat oleh norma UU Pemilu; • Bahwa norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu, sebab perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Bahwa sekalipun perlakuan berbeda melalui penerapan norma secara berbeda kepada subjek hukum yang diaturnya bukanlah sesuatu yang tidak selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945, namun pada ranah kepesertaan dalam kontestasi politik seperti Pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal mana, perlakuan berbeda dimaksud tidak sesuai dengan jaminan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk duduk dalam pemerintahan. Dalil Pemohon tersebut telah memperlihatkan belum terbangunnya kedewasaan atau kematangan berdemokrasi Pemohon. 20) Bahwa terkait dengan kampanye pemilu yang dibatasi hanya pada masa kampanye saja dalam hal ini selama 21 hari sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal a quo UU Pemilu, hal ini berangkat dari filosofi bahwa masa kampanye itu haruslah dibatasi. Kegiatan kampanye merupakan kegiatan dalam rangka mempengaruhi calon pemilih untuk memilih peserta Pemilu tertentu. Jikalau tidak dibatasi, karena filosofinya untuk mempengaruhi calon pemilih, maka bisa terjadi ketika di tempat pemilihan suara sekalipun akan ada tindakan yang mengarahkan untuk memilih peserta Pemilu tertentu. Hal ini tentu mengganggu kebebasan bagi calon pemilih untuk memilih calon yang diinginkannya untuk dipilih. Pembatasan masa kampanye yang berarti segala bentuk kampanye dilakukan hanya pada masanya adalah hal yang wajar dalam event pemilihan manapun. Dengan adanya pembatasan ini pula hak masyarakat untuk menikmati ketenangan dalam kehidupan yang normal tanpa terganggu oleh segala bentuk kegiatan kampanye pun menjadi terjadi terjamin. Oleh karena itu pula, tidak diperbolehkan adanya mencuri start kampanye, selain agar ada kesetaraan bagi setiap peserta Pemilu tercapai, hak hidup masyarakat yang tentram tanpa terganggu event Pemilu perlu untuk dilindungi. Adapun masa kampanye 21 hari yang diatur dalam Pasal a quo UU Pemilu sebagai waktu kampanye adalah alokasi waktu wajar yang telah dipertimbangkan sejalan dengan ketentuan UUD Tahun 1945. c.Latar Belakang Pembahasan UU Pemilu Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam UU Pemilu dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari keterangan DPR RI ini. Bahwa berdasarkan pandangan hukum tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima; 3. Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2), Pasal 276 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2), Pasal 276 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

48/PUU-XVI/2018

Pasal 1 angka 35 khususnya pada frasa “dan/atau citra diri”, Pasal 275 ayat (2), Pasal 276 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pemilu.

Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945