Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

17/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional Pemohon: 1. Bahwa menurut Pemohon berlakunya Pasal 73 ayat (3) UU MD3 merupakan tindakan sewenang-wenang yang menimbulkan ketidakpastian hukum dimana DPR RI dengan menggunakan aparat kepolisian, dapat memanggil paksa serta dapat menyandera siapapun dalam kaitannya dengan apapun tanpa alasan yang jelas, termasuk kepada Pemohon dan/atau anggotanya untuk hadir dalam rapat DPR RI dalam hal apapun tanpa dikaitkan dengan pelaksanaan angket DPR RI (Vide Perbaikan Permohonan Pemohon hlm. 9 Poin C.1). 2. Bahwa Pemohon beranggapan berlakunya Pasal 122 huruf l UU MD3 dengan tidak adanya definisi atau batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “merendahkan kehormatan DPR”, berpotensi untuk mengkriminalisasi rakyat menjadi terbuka dan tidak terukur pada saat menyampaikan kritik kepada DPR RI dan anggota DPR RI (Vide Perbaikan Permohonan Pemohon menurut Pemohon, hlm. 10 Poin C.2). 3. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya Pasal 245 ayat (1) MD3 memberikan perlakuan berbeda terhadap anggota DPR RI dan karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum, perlakuan yang sama di hadapan hukum dan prinsip non diskriminasi (Vide Perbaikan Pemohon hlm. 10 Poin C.3) Legal Standing: a. Pemohon 1) Bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang didirikan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interest advocacy), memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide perbaikan permohonan Pemohon hlm. 7 poin 2). 2) Bahwa dalam permohonan Pemohon sebagai partai politik, hanya menjelaskan visi misi dan fungsi-fungsi partai politik, namun sama sekali tidak menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang bersifat spesific dan aktual maupun potensial atas berlakunya pasal a quo. Pemohon juga hanya menyampaikan asumsi berupa ketakutan-ketakutan berlebihan kepada DPR RI. Pemohon tidak mencantumkan satupun contoh kegiatan atau tindakan konkret dari Pemohon sebagai partai politik dalam menyampaikan dan memperjuangkan suara rakyat kepada DPR RI, sehingga tidak terlihat kepentingan hukum Pemohon antara adanya kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya pasal a quo. 3) Bahwa kedudukan, tujuan dan fungsi serta hak-hak Pemohon sebagai partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sama sekali tidak dirugikan dan tidak terganggu dengan berlakunya pasal a quo, sehingga meskipun pasal a quo telah berlaku, Pemohon tetap dapat melaksanakan perannya sebagai partai politik. 4) Bahwa Pemohon sebagai partai politik yang belum memiliki kedudukan dalam kelembagaan DPR RI karena belum terpilih menjadi representatif rakyat melalui pemilihan umum, maka dirasa kuranglah tepat apabila Pemohon menyatakan bahwa Pemohon bertindak untuk mewakili suara rakyat. 5) Bahwa seharusnya Pemohon dapat langsung menyampaikan masukan kepada DPR RI dengan menggunakan komunikasi politik dengan partai politik di DPR RI. b. Batasan Kerugian Konstitusional Pemohon Perkara 17 1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 17 yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bahwa Pemohon dalam dalil permohonannya terhadap pasal-pasal a quo menyatakan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang sekaligus dijadikan batu uji yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1). 2) Adanya hak konstitusional yang dianggap oleh Pemohon Perkara 17 telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon tidak menguraikan secara jelas perihal hak konstitusional yang dirugikan atas berlakunya pasalpasal a quo, karena kerugian yang didalilkan oleh Pemohon bukan merupakan kerugian konstitusional Pemohon dan bukan merupakan kerugian hak Pemohon sebagai suatu partai politik berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Terlebih Pemohon hanya menyampaikan kekhawatirannya yang hanya didasarkan oleh sebuah asumsi Pemohon akan akibat berlakunya pasal-pasal a quo. Pemohon juga hanya menjelaskan mengenai pandangan Pemohon yang merasa berlakunya pasal-pasal a quo memberikan perlakuan khusus kepada DPR RI dan berpandangan bahwa hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip non diskriminasi, padahal pembentukan pasal-pasal a quo sudah berdasarkan teori-teori dari prinsip negara hukum dan ketentuan dalam pasal-pasal a quo sama sekali tidak menimbulkan diskriminasi kepada siapapun, termasuk kepada Pemohon. 3) Adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa berlakunya pasal-pasal a quo tidak akan menyebabkan kerugian hak konstitusional dari Pemohon sebagai partai politik baik yang bersifat spesific dan aktual maupun bersifat potensial bagi siapapun termasuk bagi Pemohon. 4) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa tidak ada kerugian hak konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo sudah merumuskan ketentuan dengan mempertimbangkan adanya kepastian hukum, jaminan perlindungan dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta tidak adanya sikap diskriminatif, hal tersebut terlihat dari rumusan ketentuan pasal-pasal a quo yang menyebutkan unsur “setiap orang” tanpa terkecuali, dan panggilan paksa dilakukan dengan tidak sewenang-wenang, yaitu harus menggunakan prosedur, seperti panggilan paksa baru dapat dilakukan apabila subjek hukum tersebut tidak hadir 3 (tiga) kali tanpa alasan yang patut dan sah, serta harus adanya permintaan tertulis dari DPR RI kepada Kepolisian Republik Indonesia. Jika dirasa bahwa pasal-pasal a quo tidak memberikan jaminan perlindungan, justru dengan adanya ketentuan tersebut maka akan menjaga kehormatan dari DPR RI sebagai lembaga dan kepada anggota DPR RI sebagai satu kesatuan dengan lembaga tersebut yang tidak dapat dipisahkan, terlebih DPR RI berperan selaku wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga secara tidak langsung, tindakan tersebut juga turut memberikan perlindungan bagi rakyat. Bahwa ketentuan dalam pasal-pasal a quo berawal karena adanya tujuan menjaga marwah DPR RI, agar tidak terjadi demokrasi yang diwarnai dengan sikap-sikap yang dilakukan dengan itikad buruk dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti merendahkan pihak lain dengan perilaku fitnah, ujaran kebencian yang mengarah kepada penghinaan terhadap parlemen (contempt of parliament). Ketentuan dalam pasal-pasal a quo juga sama sekali tidak melarang Pemohon dan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Oleh karena itu kerugian yang didalilkan Pemohon sama sekali tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya pasal a quo UU MD3. 5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa pasal-pasal a quo sama sekali tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi Pemohon, dalam arti Pemohon tetap dapat melaksakan fungsi dan tugasnya sebagai partai politik, maka sampai kapanpun Pemohon tidak akan mengalami kerugian konstitusional atas belakunya pasal tersebut selama Pemohon dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai partai politik dengan baik, seperti penyampaian pendapat dengan etika komunikasi yang baik, sehingga tidak akan melanggar ketentuan dalam pasal-pasal a quo. Pandangan Pokok Permohonan: 1 HAK DPR UNTUK MELAKUKAN PANGGILAN PAKSA DAN SANDERA TERHADAP SETIAP ORANG DENGAN MENGGUNAKAN KEPOLISIAN (PASAL 73 AYAT (3), (4), (5) DAN (6) UU MD3) 1) Bahwa sesungguhnya tidak terdapat perbedaan pengaturan yang substansial dalam Pasal a quo dengan rumusan Pasal 73 dalam UU No. 17 Tahun 2014, karena perubahan frasa “setiap orang”, menghilangkan perbedaan perlakuan penggunaan hak panggil paksa DPR RI (objek) dan penambahan tata cara panggil paksa serta amanat peraturan delegasi (Perkapolri) semata-mata ditujukan untuk memberikan penjabaran dan kepastian hukum. Apabila memahami pasal a quo UU MD3 secara sistematis dan gramatikal sebagaimana diuraikan diatas, maka penggunaan hak pemanggilan paksa oleh DPR RI dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan: a. dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR RI; b. terhadap setiap orang yang dipanggil secara resmi/tertulis oleh DPR RI untuk hadir dalam rapat DPR RI; c. apabila setiap orang tidak hadir memenuhi kewajibannya setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturutturut dengan tidak memberikan (tanpa) alasan yang patut dan sah; dan d. dalam hal menjalankan panggilan paksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang selama 30 (tiga puluh) hari. Bahwa dengan demikian panggilan paksa dan sandera oleh DPR RI dilakukan berdasarkan hukum yaitu apabila setiap orang yang dipanggil tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah dapat dipanggil paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahwa DPR RI dalam melaksanakan Pasal 73 UU MD3 sesuai dengan wewenang dan tugas konstitusionalnya dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan guna menyelenggarakan kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa oleh karena itu, Para Pemohon tidak perlu khawatir adanya/pemberlakuan ketentuan pasal a quo akan merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Bahwa dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR RI diberikan hak untuk memanggil setiap orang sebagaimana diatur dalam pasal a quo UU MD3 sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUUI/ 2003 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa: 1. Khusus mengenai pemanggilan oleh DPR RI, …salah satu fungsi yang melekat dalam kelembagaan DPR adalah fungsi pengawasan. Dalam rangka fungsi pengawasan itu, DPR diberikan sejumlah hak. 2. Panggilan paksa maupun penyanderaan oleh DPR RI hanya berlaku/dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya tindakan paksa badan maupun penyanderaan tidaklah dilakukan sendiri oleh DPR RI, melainkan diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law) yang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kepentingan DPR RI hanyalah sebatas mengenai cara agar pihak-pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui penggunaan hak angket dapat benar-benar hadir dalam persidangan. 3) Bahwa ketentuan pasal a quo mengenai hak memanggil paksa oleh DPR RI, merupakan implementasi konsep hak memanggil secara paksa seseorang yang dipandang perlu didengar keterangannya (hak subpoena) yang dapat dianut oleh lembaga legislatif. Bahwa sebagai perbandingan hak subpoena tersebut juga dimiliki oleh lembaga legislatif di beberapa negara lainnya, seperti di Amerika Serikat dan di Selandia Baru. Hak subpoena dirasa penting untuk dimiliki oleh DPR RI sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat untuk melakukan upaya untuk penyelidikan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana penyelidikan tersebut bukan merupakan penyelidikan dalam ranah proses penegakan hukum (pro justicia). 4) Bahwa konsep hak subpoena tersebut telah dikenal sejak lama dan lazim digunakan oleh parlemen atau badanbadan perwakilan di banyak negara. Secara etimologi, terminologi “subpoena” berasal dari Middle English “suppena” dan bahasa Latin “sub poena” yang berarti “under penalty” atau di bawah ancaman pidana. (Webster's New Collegiate Dictionary, (8th ed. 1976), p.1160). Dalam Kamus Merriam-Webster, Subpoena adalah a writ commanding a person designated in it to appear in court under a penalty for failure. (Lihat (online) https://www.merriamwebster.com/dictionary/subpoena). Pada umumnya terdapat dua jenis subpoena, yaitu: 1. Subpoena ad testificandum perintah kepada seseorang untuk bersaksi di depan lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi. 2. Subpoena duces tecum perintah kepada seseorang atau organisasi untuk menyerahkan bukti-bukti fisik (physical evidence) kepada lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi. 5) Bahwa selanjutnya subpoena diartikan sebagai surat panggilan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, terutama pengadilan, untuk memperoleh kesaksian dan bukti-bukti dari saksi dengan upaya paksa dan ancaman pidana apabila saksi tidak memenuhinya. Konsep pemanggilan seseorang dengan upaya paksa untuk hadir dan menyerahkan dokumen pada awalnya memang diperlukan untuk kepentingan pengadilan, namun konsep ini kemudian berkembang dan digunakan untuk lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk badan legislatif. Di US Congress misalnya disebutkan: “Congress has long been held to possess plenary authority to investigate any matter that is or might be the subject of legislation or oversight. And as the Supreme Court observed over 35 years ago, this authority includes the power to use compulsory processes, such as the issuance of subpoenas. See Eastland v. U.S. Serviceman’s Fund, 421 U.S. 491, 504 (1975). (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)” “Kongres telah lama memiliki otoritas paripurna untuk menyelidiki masalah apa pun yang mungkin atau mungkin merupakan subjek dari legislasi atau pengawasan. Dan seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung lebih dari 35 tahun yang lalu, otoritas ini termasuk kekuatan untuk menggunakan proses wajib, seperti penerbitan panggilan dari pengadilan (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)” Dalam US Code TITLE 2 - THE CONGRESS CHAPTER 6 -CONGRESSIONAL AND COMMITTEE PROCEDURE; INVESTIGATIONS § 192. Refusal of witness to testify or produce papers: “Every person who having been summoned as a witness by the authority of either House of Congress to give testimony or to produce papers upon any matter under inquiry before either House, or any joint committee established by a joint or concurrent resolution of the two Houses of Congress, or any committee of either House of Congress, willfully makes default, or who, having appeared, refuses to answer any question pertinent to the question under inquiry, shall be deemed guilty of a misdemeanor, punishable by a fine of not more than $1,000 nor less than $100 and imprisonment in a common jail for not less than one month nor more than twelve months” (https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscode02/li i_usc_TI_02_CH_6_SE_192.pdf) “Setiap orang yang dipanggil sebagai saksi oleh Konggres (Senat dan HoR) untuk memberikan kesaksian dan menyerahkan dokumen mengenai segala sesuatu yang berhubungan sedang diselidiki oleh Konggres (Senat dan HoR) atau Komisi Gabungan yang dibentuk melalui resolusi bersama dua Kamar, atau setiap komisi dari kedua kamar, yang dengan sengaja tidak hadir atau hadir namun menolak untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dalam rangka penyelidikan dapat dipidana karena perbuatan tidak patut (misdemeanour) dengan ancaman pidana denda paling banyak $1.000 dan paling sedikit $100 dan penjara paling sedikit 1 bulan dan paling lama 12 bulan.(https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscode02/lii_usc_TI_02_CH_6_SE_192.pdf) 6) Bahwa Di Indonesia, bukan hanya DPR, Komnas HAM juga memiliki kewenangan ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 95 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk ketentuan pidananya, Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkan “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.” 7) Bahwa penegakan hukum melalui lembaga sandera sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma 1 Tahun 2000). Dalam Perma 1 Tahun 2000 tersebut menyatakan bahwa gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secata psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi hutang pokok. Pasal 6 ayat (1) Perma 1 Tahun 2000 menyatakan “putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama sama dengan putusan pokok perkara”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan, namun sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang. Menurut Pasal 7 Perma 1 Tahun 2000 tersebut, paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri. 8) Bahwa selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal istilah penahanan dan penangkapan yang juga merupakan tindakan pengekangan kebebasan seseorang (Pasal 1 butir 20 dan 21 KUHAP). Kedua tindakan pengekangan ini juga berbeda dengan gijzeling, karena tindakan tersebut dilakukan guna proses penyelidikan lebih lanjut, sedangkan gijzeling hanya dilakukan sementara sampai wajib pajak melunasi utang pajaknya, sehingga konsep pengekangan kebebasan gijzeling dalam hukum pajak berbeda dengan pengekangan kebebasan dalam hukum pidana. Tindakan penyanderaan bukan merupakan pengekangan kebebasan karena dilakukannya perbuatan pidana. Oleh karenanya terhadap tindakan penyanderaan, tidak dapat diberlakukan Praperadilan. 9) Bahwa konsep subpoena, sudah pernah ada dan diatur dalam berbagai undang-undang yaitu : 1) UU No. 22 Tahun 2003 (Pasal 30) dan UU No. 75 tahun 1954 tentang Acara Pidana Khusus untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2) UU No. 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong “Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian dalam Undang-undang ini ialah: a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana; b. meminta keterangan tentang tindak pidana; c. penangkapan; d. penahanan; e. penggeledahan; f. penyitaan.” 10) Bahwa kekhawatiran Para Pemohon untuk dipanggil/diundang oleh DPR RI untuk dimintai keterangan dalam RDP yang berujung pada pemanggilan paksa dan dapat dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI dapat dilakukan simulasi sebagai berikut: a. Apabila Para Pemohon dilakukan pemanggilan pertama oleh DPR RI, namun Pemohon I tidak hadir dengan memberikan alasan yang patut dan sah kepada DPR (itikad baik), maka apabila tetap dipandang perlu maka DPR RI dapat mengagendakan pemanggilan ulang/kedua sesuai alasan Pemohon I dan pasal a quo tidak dapat diterapkan kepada Pemohon I; dan b. Apabila Pemohon I telah dilakukan pemanggilan pertama dan kedua oleh DPR RI, namun Pemohon I tidak hadir tanpa alasan yang patut dan sah kepada DPR RI, maka apabila tetap dipandang perlu maka DPR RI dapat melakukan pemanggilan ketiga kepada Pemohon I. Apabila pada pemanggilan ketiga Pemohon I hadir dan/atau tidak hadir dengan memberikan alasan yang patut dan sah kepada DPR RI, maka pasal a quo tidak dapat diterapkan kepada Pemohon I. Berdasarkan simulasi tersebut, maka pasal a quo tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja kepada Para Pemohon tanpa alasan yang jelas, mengingat rumusan pasal a quo mengandung unsur prosedural yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum administrasi Negara. 11) Bahwa dalil Para Pemohon bukan didasarkan pada kerugian hak konstitusional, melainkan hanya merupakan sebuah asumsi (yang terlalu berlebihan dan sama sekali tidak tepat). Pasal a quo mengenai hak DPR RI merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU a quo. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang khawatir apabila ketidakhadiran atas panggilan DPR RI akan berujung pada panggilan paksa merupakan asumsi yang berlebihan dan keliru serta paradoxal. Para Pemohon sesuai dengan kedudukan dan kapasitasnya masing-masing justru perlu dipertanyakan mengapa tidak bersedia hadir memenuhi panggilan DPR RI. Seharusnya panggilan dari DPR RI kepada Para Pemohon dalam rapat DPR RI dijadikan kesempatan bagi Para Pemohon untuk menyumbangkan pemikiran dan aspirasinya. 12) Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, terkait dengan pengujian Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU MD3, dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 19.30, Ketua Rapat Dr. H. Dossy Iskandar Prasetyo, S.H., M.Hum menyatakan bahwa : “Pasal 73 terkait wewenang DPR RI melakukan pemanggilan paksa Pejabat Negara, Pemerintah meminta menghapuskan frasa pejabat negara dan ditawarkan menjadi setiap orang.” Hal tersebut dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna Laoly, S.H) yang menyatakan bahwa “Jadi supaya tidak ada diskriminasi jadi ini setiap orang Pak Ketua, jadi setiap warga negara dan setiap orang maupun siapa saja. Jadi ini bisa lebih genericnya lebih baik menurut saya.”

17/PUU-XVI/2018

Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3).

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.