Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

16/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional Pemohon: 1. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU MD3 merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berpotensi dialami oleh Pemohon untuk dilakukan pemanggilan paksa. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 13 angka 15). 2. Bahwa Pemohon beranggapan Pasal 122 huruf l UU MD3 berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dst, sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena pasal a quo tidak memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai makna merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI, sehingga membuka celah untuk ditafsirkan berbeda, karena bisa saja kritik/pendapat terhadap institusi DPR RI dan anggota DPR RI dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 14-15 angka 16). 3. Bahwa dalam permohonannya Pemohon mengemukakan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 terhadap kata “dapat” dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari MKD” dalam pasal a quo merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukannya di dalam hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena terdapat kata “tidak” dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi bagian hak imunitas sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR RI. Kemudian frasa “setelah mendapat pertimbangan dari MKD” dapat berpotensi menghambat atau bahkan menghentikan mekanisme persetujuan Presiden terkait pemanggilan dan permintan keterangan kepada anggota DPR RI. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 15-16 angka 17). Legal Standing: a. Para Pemohon: Pemohon I 1) Bahwa Pemohon I adalah Badan Hukum yang merupakan perkumpulan yang diberi nama Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang hanya terdiri dari intelektual muda yang fokus dibidang pengkajian dan pembangunan hukum dan konstitusi dengan upaya yang kosntitusional sesuai dengan mottonya “Pentingnya Berkonstitusi dalam Negara”. 2) Bahwa Pemohon I belum pernah menyampaikan kajian konstitusi sesuai Mottonya tersebut, guna memberikan masukan sebagai bentuk aspirasinya terkait hal yang dipersoalkan Pemohon mengenai pasal-pasal a quo saat pembentukan perubahan UU MD3 kepada DPR RI. 3) Bahwa seharusnya FKHK dalam melaksanakan tujuan yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasarnya melaksanakan seluruh upaya-upaya yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar, bukan hanya menjalankan salah satu upaya yang ada dalam anggaran dasar, dan tidak ada kepentingan hukum langsung Pemohon I dengan pasal-pasal a quo UU MD3. Pemohon II 1) Bahwa Pemohon II adalah seorang yang berprofesi dosen di Universitas Surakarta. Dalam menjalankan aktivitas, Pemohon II concern dalam persoalan hukum pertanahan (agraria), juga aktif dalam menyikapi perkembangan hukum dan politik di media sosial, di universitas dan aktivitas lainnya. 2) Bahwa tidak ada korelasi antara profesi Pemohon II sebagai Dosen Hukum Agraria dengan pasal-pasal a quo UU MD3 yang berada dalam ranah hukum Tata Negara, dan jelas tidak ada relevansinya antara profesi Pemohon II sebagai Dosen Hukum Agraria yang termasuk dalam ruang lingkup hukum keperdataan dengan UU MD3 yang berada dalam ranah hukum Tata Negara, karenanya tidak ada kepentingan hukum Pemohon II terhadap pasal-pasal a quo UU MD3.. Pemohon III 1) Bahwa Pemohon III adalah Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. Bahwa dalam aktivitasnya Pemohon III yang aktif dalam keorganisasian mahasiswa, kegiatan seminar, diskusi/debat, dan demontrasi. 2) Bahwa kedudukan Pemohon III sebagai mahasiswa tersebut sama sekali tidak ada korelasi dan kepentingan hukum antara aktivitas Pemohon III dengan pasal-pasal a quo UU MD3. 3) Bahwa Pemohon III sama sekali tidak terhalangi, tidak dilanggar hak konstitusionalnya untuk melakukan aktifitasnya dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU MD3. Terhadap Kuasa Hukum Pemohon Perkara 16, Dr. Irmanputra Siddin, S.H., M.H., dkk, DPR RI berpandangan : Bahwa terdapat inkonsistensi pandangan hukum yang disampaikan oleh Dr. Irmanputra Siddin, S.H., M.H., sebagai ahli hukum tata negara dalam Rapat Mahkamah Kehormatan Dewan tanggal 17 November 2017 dengan pandangan hukum yang disampaikan selaku kuasa hukum Pemohon dalam Perkara Nomor 16. Bahwa pada saat sebagai ahli HTN dalam Rapat MKD, Dr. Irmanputra Siddin, S.H., M.H., menyatakan bahwa anggota DPR RI tidak dapat dipanggil begitu saja oleh penegak hukum dan tidak perlu izin Presiden, melainkan dengan menguatkan institusi DPR RI dalam menjalankan fungsi daulat rakyat. Hal ini berdasarkan Risalah Rapat MKD pada tanggal 17 November 2017 pukul 13.15 WIB s.d 17.05 WIB sebagai berikut: “Fungsi DPR RI itu saya bilang, kenapa DPR RI itu dikasih hak imunitas? Itu karena dia itu ada puluhan ribu warga Negara umat manusia dibelakangnya yang dia harus suarakan aspirasinya dalam setiap detik, disitu. Jadi supaya tenang dia menyuarakan itu, kata rakyat “sudah tenang saja, kami berikan kekebalan kepada kalian disitu”. Begitu. Yang tadinya kekebalan dalam hal pernyataan ucapannya dalam ruang sidang, kita keluarkan. Diluar juga kita kasih kekebalan, begitu. Ternyata di dalam perjalanannya, diluarpun tidak cukup, karena dia bersikap dalam sidang, dia melakukan kegiatan dalam fungsi-fungsi konstitusionalnya, ternyata masih juga ditangkap, kita kasih juga hak kekebalan disitu. Makanya hak immunitas itu melebar definisinya di dalam Undang-undang MD3 itu kan? Yang tadinya hanya 2 item, itu pernyataan, ucapan, tindakan di dalam dan di luar sidang, berikut dengan sikap, tindakan, kegiatan dan lain sebagainya, kan begitu. Sikap, tindakan, kegiatan itu hak imunitas disitu. “Karena institusi DPR RI ini adalah institusi utama lalu perdebatan berikutnya adalah kemudian, bagaimana ini kekebalan ini, seenaknya saja institusi, penyelidikan, mau memanggil orang, panggil semau-maunya saja disitu. Padahal ketika dipanggil, itu penyidiknya sudah datang orang menunggu 4 jam, penyidiknya bilang, “pulang saja pak, karena saya masih ada penyidikan lain disitu”. Saya baca kasusnya Ketua MPR RI yang dipanggil kemarin itu. Padahal anggota DPR RI ini, 24 jam tidak henti tugasnya, disitu. Tugas Negara. Kan itu. “Dengan logika ini, tidak boleh sembarangan dia dipanggil disitu. Harus jelas argumentasinya apa disitu, kenapa dia dipanggil, kenapa apa. Anggota DPR RI ketika itu berdebat, “hidupkan lagi saja ijin Presiden”, saya bilang tidak usah ijin Presiden kita hidupkan, kita hidupkan institusi DPR RI itu sendiri”. Nah tadinya bukan MKD Pak. Tadinya saya pikir ini harus Pimpinan Dewan ini yang tanda tangan ijin ini, begitu. Tapi akhirnya lama kelamaan, lama kelamaan saya ubah, utak-atik, kita berdayakan institusi Mahkamah Kehormatan, Badan Kehormatan Dewan ini, begitu. Jadi kehormatan dewan itu ada 2 unsur, pada individu anggota DPR RI sebagai sikap prilakunya, dan individu anggota DPR RI sebagai prananta lembaga, disitu. Dia punya hak individual DPR RI sebagai pranata lembaga sendiri dan individual kelembagaan sebagai 550 anggota DPR RI disitu. Inilah kehormatan anggota DPR, yang harus dikawal oleh DPR RI itu sendiri. Kalau dia tidak mampu mengawal kehormatannya sendiri, bagaimana dia bisa menjalankan fungsi daulat rakyat itu? Filosofinya begitu pak.” (Bukti P…Risalah Rapat MKD), b. Batasan Kerugian Konstitusional Pemohon Perkara 16 1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 16 yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bahwa Pemohon dalam dalil permohonannya terhadap pasal-pasal a quo menyatakan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sekaligus dijadikan batu uji yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1) dan (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Kemudian Pemohon Perkara 16 juga menyatakan memiliki hak konstitusonal dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi hak konstitusional dalam pasal-pasal tersebut tersebut tidak dijadikan batu uji oleh Pemohon. 2) Adanya hak konstitusional yang dianggap oleh Pemohon Perkara 16 telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon yang terdiri dari badan hukum, dosen yang concern dalam persoalan hukum pertanahan (agraria) dan Mahasiswa seharusnya mendukung DPR RI dalam melaksanakan tugas konstitusional sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional apapun dari keberlakuan pasal-pasal a quo karena uraian hak konstitusional yang dianggap telah dirugikan tersebut hanya mengenai masalah yang berkaitan dengan adanya potensi/kekhawatiran, bukan masalah yang telah dan/atau akan terjadi terhadap Pemohon. Artinya, kekhawatiran Pemohon untuk dipanggil/diundang oleh DPR RI untuk dimintai keterangan dalam RDP yang berujung pada pemanggilan paksa dan dapat dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja kepada Pemohon tanpa alasan yang jelas, mengingat rumusan pasal a quo mengandung unsur prosedural yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum administrasi Negara. 3) Adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa oleh karena Pemohon sama sekali tidak terdapat kerugian hak konstitusional yang bersifat spesific dan actual sebagaimana diuraikan diatas, maka Pemohon jelas tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Dengan demikian, dalil-dalil permohonan menjadi tidak jelas dan tidak fokus (obscuur libels). 4) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa Pemohon hanya menjelaskan kekhawatiran akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo, namun tidak menjelaskan secara spesifik mengenai hubungan sebab akibat dan keterkaitan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan batu uji. Akibat atau peristiwa hukum yang berpotensi akan dialami Pemohon sesungguhnya bukanlah akibat langsung dari berlakunya pasal-pasal a quo, namun berupa kekhawatiran dan asumsi-asumsi yang tidak beralasan hukum. Oleh karena itu tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo. 5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai badan hukum, dosen yang concern dalam persoalan hukum pertanahan (agraria) dan Mahasiswa dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga apabila pasal-pasal a quo diputuskan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Pemohon Perkara 16. Bahwa kerugian yang didalikan oleh Pemohon hanya merupakan salah satu unsur kekhawatiran atas pelaksanaan suatu undang-undang. Dengan demikian kerugian yang dikemukakan Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas rumusan pasal-pasal a quo. Pandangan Pokok Permohonan: a. PANDANGAN DPR ATAS DALIL PEMOHON PERKARA 16 1) Pengujian Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU MD3 Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) merugikan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berpotensi dialami oleh Para Pemohon untuk dilakukan pemanggilan paksa, padahal pemanggilan paksa merupakan instrumen DPR RI untuk mengontrol kekuasaan.” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 13 angka 15) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa konsep kedaulatan rakyat dikenal dan dituangkan dalam konstitusi Indonesia. Pasal 1 ayat (2) Hasil Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konsep kedaulatan rakyat tersebut tidak dapat dilepaskan dengan konsep Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, daulat/mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk DPR RI sebagai salah satu lembaga legislatif. b) Bahwa DPR RI sebagai lembaga penyelenggara kedaulatan rakyat (daulat rakyat) memiliki fungsi yang sangat penting dan besar berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Secara formal konstitusional, posisi DPR RI dalam fungsi pengawasan diletakan sebagai fungsi pendukung sekaligus satu kesatuan dengan pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI sebagai alat kelengkapan negara yang melaksanakan fungsi pengawasan dalam kaitannya dengan penguatan kewenangan DPR RI adalah mempunyai kesempatan yang terbuka untuk berinteraksi dengan rakyat. c) Bahwa fungsi tersebut menunjukan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI lebih besar dibandingkan dengan kewenangan lembaga negara lainnya yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya kewenangan POLRI, Kejaksaaan dan KPK sebagai aparat penegak hukum yang juga memiliki fungsi pemanggilan paksa. Pemanggilan paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum hanya dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana, tetapi pemanggilan paksa oleh DPR RI dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi konstitusional DPR RI sebagai wakil rakyat yaitu terhadap seluruh aktivitas berbangsa dan bernegara terkait dengan melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan serta fungsi representasi rakyat dalam rangka menjalankan kedaulatan rakyat. d) Bahwa DPR RI sesungguhnya telah melaksanakan fungsi pengawasan dan pengawalan terhadap beberapa kasus yang dihadapi oleh rakyat dan lembaga Negara, seperti misalnya kasus First Travel, DPR RI melalui Komisi III dan Komisi VIII telah melakukan pemanggilan terhadap pihak terkait dalam rapat di DPR RI untuk didengar keterangannya serta sebagai upaya untuk mencari solusi bersama. Kemudian dalam kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, DPR RI melalui Pimpinan DPR RI dan Komisi III dalam Rapat dengan Kepolisian dan dalam rapat dengar pendapat dengan KPK telah memberikan perhatian khusus. Oleh karena itu menjadi penting penguatan fungsi pengawasan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam menyelenggarakan kedaulatan rakyat. e) Bahwa Pasal a quo diperlukan oleh DPR RI sebagai penyeimbang untuk melawan absolutisme kekuasaan (eksekutif) yang digunakan DPR RI untuk melakukan pengawasan kepada Pemerintah. Dominasi kekuasaan yang saat ini masih berada pada ranah eksekutif, semakin menegaskan perlunya upaya pemanggilan DPR RI terhadap setiap orang dalam rapat DPR RI. Persoalan ketatanegaraan dan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks tentunya harus diketahui oleh DPR RI melalui forum yang konstitusional di DPR RI. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk respon DPR RI terhadap permasalahan yang sedang terjadi atau adanya penyimpangan yang dilakukan oleh setiap orang dalam upaya memberikan alternatif penyelesaian masalah. f) Bahwa Pasal a quo diperlukan dalam rangka penguatan parlemen ditengah penguatan sistem presidensial serta untuk menjawab pengalaman DPR RI terhadap banyaknya ketidakhadiran orang/lembaga yang dipanggil oleh DPR RI dalam rapat DPR RI, bahkan lembaga negara yang merupakan Mitra Kerja DPR pun beberapa kali dipanggil oleh DPR RI namun tidak hadir. Kemudian tidak semua rekomendasi DPR RI dalam rapat juga ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Padahal pemanggilan oleh DPR RI butuh penanganan cepat untuk kepentingan rakyat yang diperlukan dalam rangka penyelesaian suatu permasalahan negara dan/atau pengambilan kebijakan/keputusan-keputusan negara yang menyangkut kepentingan negara. g) Bahwa Pemohon dalam permohonannya telah menguraikan secara panjang lebar tentang pergeseran dan perkembangan konsep kedaulatan, mulai dari kedaulatan Tuhan; kedaulatan raja; kedaulatan negara: kedaulatan rakyat; dan kedaulatan hukum. Pemohon juga menyadari bahwa kedaulatan rakyat tersebut dijalankan oleh wakil-wakil rakyat (representative system). Konsep demokrasi perwakilan ini kemudian melahirkan lembaga perwakilan yang di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bernama DPR RI. Namun kemudian Pemohon menyambung dengan relasi rakyat dengan DPR RI seharusnya bukan relasi kekuasaan yang bersifat vertikal (melalui instrumen paksa dan sandera) melainkan relasi horizontal berupa komunikasi dan aspirasi, sehingga menjadi salah konteks. Rumusan pemanggilan paksa dan sandera ditujukan kepada pihak-pihak yang beritikad tidak baik, yaitu yang menghambat DPR RI melaksanakan tugas konstitusionalnya sebagai lembaga daulat rakyat. Penguatan terhadap lembaga perwakilan memiliki esensi penguatan terhadap kedaulatan rakyat sekaligus penghormatan terhadap lembaga daulat rakyat. Sebaliknya, pelemahan terhadap lembaga perwakilan rakyat akan merugikan rakyat sendiri karena pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah sehingga memungkinkan lahirnya rezim otoriter. Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa saat ini instrumen pemanggilan paksa dan sandera (Pasal 204 UU MD3) adalah instrumen untuk menunjang hak angket agar fungsi pengawasan terhadap perilaku dan kebijakan kekuasaan sesuai dengan konstitusi. Bahwa pemanggilan paksa dan sandera yang dilakukan diluar konteks pelaksanaan hak angket merupakan bentuk upaya menghadap-hadapkan institusi DPR RI dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Hal ini bertentangan dengan desain konstitusional DPR RI sebagai instrument pengawasan perilaku kekuasaan, bukan rakyat. Bahwa karena Pasal 73 ayat (3) telah mengatur pemanggilan paksa dan sandera yang tidak jelas parameternya dalam konteks fungsi DPR yang mana yang dijalankan, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pemanggilan paksa dan sandera dapat dilakukan dalam fungsi legislasi bahkan fungsi anggaran.” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 24-25 angka 3-6) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo adalah bagian dari Bab III tentang DPR RI pada Bagian Ketiga mengenai Wewenang dan Tugas DPR. Bahwa wewenang dan tugas DPR RI pada pokoknya ialah menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Bahwa atas dasar itu ketentuan hak DPR RI untuk memanggil setiap orang dalam rapat DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (1) UU a quo adalah dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusional DPR RI khususnya fungsi pengawasan. b) Bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR RI diberikan hak salah satunya adalah hak angket. Benar dalam Pasal 204, DPR RI dalam melaksanakan tugasnya dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan. Bahwa selain fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 204 dalam konteks pelaksanaan hak angket, sesuai dengan Pasal 20A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR juga melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf d, Pasal 73, Pasal 98 ayat (3) dan Pasal 227 UU MD3. Artinya terkait dengan ketentuan Pasal 73, DPR RI dalam melaksanakan wewenang dan tugas berkaitan dengan fungsi pengawasan tersebut berhak memanggil setiap orang untuk hadir dalam rapat DPR RI. Apabila instrumen pemanggilan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI hanya dibatasi dalam konteks pelaksanaan hak angket yaitu dengan membentuk Panitia Khusus, maka berdasarkan UU MD3 dan Tatib DPR RI pengusulan hak angket dibatasi oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR RI dan lebih dari 1 (satu) fraksi serta dibatasi jangka waktu yang singkat yaitu harus melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR RI paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket. Sedangkan fungsi pengawasan diluar pelaksanaan hak angket dapat dilakukan oleh seluruh Alat Kelengkapan Dewan dan anggota DPR RI secara perorangan serta dilakukan dalam setiap masa sidang DPR RI dan masa reses oleh anggota DPR RI. Oleh karena itu sangat sulit memisahkan antara 3 (tiga) fungsi yang dimiliki oleh DPR RI untuk dilakukan pengawasan dalam rapat DPR RI, karena dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dapat dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, APBN dan kebijakan Pemerintah. c) Bahwa pemanggilan oleh DPR RI dalam pelaksanaan fungsi pengawasan harus dimaknai sebagai bagian dari komunikasi untuk menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat. Maka wajar apabila setiap orang harus berhadap-hadapan dengan wakil rakyat, karena checks and balances tidak hanya diperlukan dalam relasi antara DPR RI dan Pemerintah, tetapi relasi institusional antara DPR RI dengan perorangan termasuk Pemohon sebagai warga Negara yang memiliki hak pilih dalam Pemilu menjadi penting untuk dilakukan. Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa ketidakpastian hukum dari konstruksi Pasal 73 semakin sempurna ketika ditemukan pada ayat (6) ketika seolah melemparkan beban kepada pihak kepolisian (Peraturan Kapolri) untuk mengatur parameter dan kapan berlakunya pemanggilan paksa/sandera itu dapat dilakukan.” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 25-26 angka 7-8) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa institusi DPR RI telah melaksanakan proses dan mekanisme pemanggilan paksa dan sandera yang sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku, dimana domain/kewenangan penegakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang dalam hal ini adalah Kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 014/PUU-I/2003 yang menyatakan “Sebaliknya, Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) UU Susduk dengan jelas menyatakan bahwa panggilan paksa maupun penyanderaan itu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, tindakan paksa badan maupun penyanderaan itu tidaklah dilakukan sendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law). Kepentingan Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah sebatas mengenai cara agarpihak pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penggunaan hak angket dapatbenar benar hadir dalam persidangan; Bahwa oleh karena itu dalil Pemohon yang menyatakan bahwa konstruksi Pasal 73 ayat (6) melemparkan beban kepada pihak kepolisian untuk mengatur parameter dan kapan berlakunya pemanggilan paksa/sandera adalah tidak beralasan menurut hukum. Artinya DPR RI tidak mengeluarkan panggilan paksa, tidak melakukan penangkapan, tidak mengadili, tidak menjatuhi hukuman, dan tidak melakukan eksekusi, sehingga jelas DPR RI tidak melampaui kewenangannya dan mencampuri kewenangan lembaga lain. b) Bahwa sesungguhnya bisa saja DPR RI melakukan proses pemanggilan paksa dan sandera sendiri dengan membuat polisi parlemen yang dilekatkan kewenangan penegakan hukum didalamnya, tetapi DPR tidak ingin bersikap arogan namun tetap dengan proses dan mekanisme yang beradab dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2) Pengujian Pasal 122 huruf l UU MD3 Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa pasal a quo berpotensi merugikan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dst, sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena pasal a quo tidak memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai makna merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI, sehingga membuka celah untuk ditafsirkan berbeda, karena bisa saja kritik/pendapat terhadap insitusi DPR RI dan anggota DPR RI dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI.” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 14-15 angka 16) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa pengaturan contempt of parliament memang belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam UU MD3. Namun DPR RI memandang perlu untuk menjaga harkat dan martabat serta kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam Pasal 122 huruf l UU MD3. Hal tersebut secara historis dilatarbelakangi oleh konsep demokrasi dalam kerangka kedaulatan rakyat yang mencakup prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dan bersama rakyat yang memandang kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.) Salah satu perwujudan konsep demokrasi tersebut dilakukan dengan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang merupakan cerminan dari kedaulatan seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Bahwa salah satu peran DPR RI dalam sistem pemerintahan modern adalah tetap mengawasi dan menjaga harkat dan martabat DPR RI, karena harkat dan martabat DPR RI sesungguhnya tergantung pada tingkah laku anggota DPR RI tersebut. Oleh karena itu pembentukan MKD yang independen dan professional dibutuhkan guna menjaga wibawa DPR RI yang ditunjukkan oleh anggota DPR RI, terutama dalam kondisi kekuasaan parlemen modern yang begitu luas tentunya semakin besar peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). (Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 221). c) Bahwa MKD sebagai lembaga penegakan etik dalam lembaga perwakilan rakyat sangat penting kedudukannya dalam rangka menjaga marwah dan martabat dari DPR RI dan anggota DPR RI. Salah satu implikasi yang sangat besar dari penguatan MKD adalah dilengkapi dengan berbagai macam tugas, fungsi dan wewenang untuk dijalankan secara tepat, efisien, akuntebel, dan fair dalam rangka menjaga harkat dan martabat DPR RI baik secara kelembagaan maupun secara individual keanggotaan DPR RI. Hal tersebut diatur dalam Pasal 121A, Pasal 122 dan Pasal 122A serta Pasal 122B UU MD3. d) Bahwa penegakan etik di DPR RI menjadi penting disamping penegakan hukum karena seringkali penegakan hukum mengabaikan aspek etika dan moralitas. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa “Banyak contoh kasus penegakan hukum yang mengesampingkan aspek etika dan moralitas, membuat penegakan hukum kering dari rasa keadilan di masyarakat. Banyak kasus lain yang secara etika dan moralitas harusnya bisa menjadi pertimbangan, namun dikesampingkan atas alasan penegakkan hukum. Ini yang terjadi sekarang. Padahal, hukum itu mengambang di lautan etika. Karena itu bangun etik dulu sebelum penegakkan hukum, ini perlu kita lakukan untuk mendukung sistem hukum kita. Karena selama ini masalah etika hanya dianggap urusan privat. Selama moralitas dan sistem etika itu tidak berfungsi, maka tidak akan ada keadilan hukum di bangsa ini. (Disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dalam acara Konferensi Etik Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (5/4) dalam https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17 /04/05/onxe9x361-jimly-assiddiqie-hukum-tanpa-etikamelahirkan-ketidakadilan diakses pada 9 April 2018) e) Bahwa DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan mengenai hak angket KPK disalahartikan sebagai upaya pelemahan, padahal sesungguhnya pembentukan Pansus Hak Angket KPK digunakan DPR RI untuk memperkuat lembaga KPK. Berdasarkan hal tersebut, agar tidak adanya opini terhadap pelemahan terhadap fungsi pengawasan DPR RI, maka dipandang perlu bagi DPR RI untuk meneguhkan kehormatan DPR RI melalui cara-cara yang konstitusional. f) Bahwa kemudian dalam berbagai undang-undang, DPR RI telah membuat pengaturan mengenai contempt of court dan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang wajar apabila DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat penyelenggara kedaulatan rakyat yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang memiliki pengaturan mengenai contempt of parliament dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa apabila ditinjau dari desain konstitusional DPR RI, menjadi bertentangan oleh karena langkah hukum atau upaya lainnya yg dilakukan DPR seharusnya ditujukan kepada pelaku kekuasaan, bukan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum. Upaya hukum yg dilakukan oleh DPR RI melalui MKD justru akan merendahkan marwah dan kedudukan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat”. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 26 angka 2-3) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa langkah hukum dan/atau langkah lainnya yg dilakukan MKD dilakukan untuk penguatan DPR RI dalam rangka menjaga marwah dan martabat dari DPR RI dan anggota DPR RI sebagai bentuk penguatan terhadap kedaulatan rakyat sekaligus penghormatan terhadap lembaga daulat rakyat. Bahwa karena kepentingan menjaga kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI bukan ditujukan untuk melindungi kepentingan DPR RI dan anggota DPR RI semata, tetapi untuk rakyat secara umum karena apabila lembaga penyelenggara kedaulatan rakyat yaitu DPR RI lemah, maka berpotensi melahirkan dominasi kekuasaan eksekutif yang berimplikasi pada fungsi pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah sehingga memungkinkan lahirnya rezim otoriter. 3) Pengujian Pasal 245 ayat (1) UU MD3 Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Oleh karena terdapat kata “tidak” dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi bagian hak imunitas sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR RI. Kemudian frasa “setelah mendapat pertimbangan dari MKD” dapat berpotensi menghambat atau bahkan menghentikan mekanisme persetujuan Presiden terkait pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR RI sehubungan Presiden tidak dapat keluar apabila belum mendapatkan pertimbangan MKD” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 15-16 angka 17) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa fungsi parlemen atau lembaga perwakilan rakyat sejatinya adalah untuk menerima dan menyampaikan aspirasi masyarakat atau rakyat yang diwakilinya. Parlemen yang berasal dari kata ‘Parler’ (Bahasa 38 Prancis) yang artinya adalah ‘berbicara’. Lalu apa yang dibicarakan? yaitu Parlemen menyuarakan kebenaran dalam rangka mewakili rakyat, maka Hak Imunitas adalah penting dimiliki oleh anggota DPR RI. Bahwa betapa mengerikannya bila parlemen tidak dilengkapi dengan hak imunitas. Betapa kekuasaan Raja atau Kepala Negara akan memiliki potensi untuk disalahgunakan demi menutupi kebenaran dan demi kelanggengan kekuasaan belaka. b) Bahwa hak imunitas parlemen yang lebih konkrit wujudnya berasal dari persidangan di parlemen Inggris tahun 1397, yang ketika itu House of Commons meloloskan rancangan undang-undang yang mengecam skandal keuangan Raja Richard II dari Inggris. Thomas Haxey, anggota House of Commons yang berada dibalik tindakan perlawan terhadap Raja Richard II itu kemudian diadili dan dihukum mati atas dasar tuduhan penghianatan. Setelah mendapatkan tekanan dari House of Commons, hukuman terhadap Haxey tidak jadi dilaksanakan dan Haxey mendapatkan pengampunan dari Raja. Peristiwa Haxey telah mendorong House of Commons untuk meninjau hak anggota parlemen untuk membahas dan memperdebatkan kebebasan dan kemandirian yang utuh tanpa campur tangan Raja. Kebebasan berbicara diperkenalkan ke House of Commons pada awal abad ke-16 dan kemudian ditetapkan dalam Bill of Rights tahun 1689, yang menegaskan perlindungan terhadap pembicaraan dan tindakan anggota parlemen dari segala bentuk campur tangan atau keberatan dari luar parlemen. The 1689 Bill of Rights menjamin penuh kebebasan berbicara dalam parlemen dan mencegah pengadilan untuk mempersoalkan cara kerja parlemen melalui pengujian yudisial. Peristiwa Haxey adalah bukti nyata yang memberikan kesadaran penuh bagi kita bahwa Anggota Parlemen harus memiliki “taring” dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Salah satu “taring” itu adalah Hak Imunitas. c) Bahwa anggota DPR RI diberikan sejumlah hak salah satunya ialah hak imunitas berdasarkan Pasal 20A ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain, Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”. Artinya hak imunitas yang diatur tersebut tidak dibatasi. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional Anggota DPR RI harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR RI tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang konstitusionalnya. Keberadaan hak imunitas ini akan menjadikan anggota DPR RI dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif untuk menyuarakan kepentingan bangsa dan negara. Sudah jelas, pelaksanaannya harus tetap dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of power. Hak imunitas anggota DPR RI adalah untuk melindungi dan mendukung kelancaran tugas-tugas anggota DPR RI sebagai wakil rakyat dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI. d) Bahwa perlu dipahami bahwa tujuan pokok hak imunitas parlemen adalah melindungi anggota parlemen dari tekanan yang tidak semestinya yang tujuannya mencegah mereka untuk memenuhi fungsinya dengan baik. Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan pembalasan atas dasar motif politik pula. e) Bahwa menurut Dr. Ni’Matul Huda, S.H., M. Hum (2016) dalam bukunya “Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi”, halaman 105-115 berpandangan bahwa sistem perimbangan kekuasaan (checks and balances) cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dimaksudkan ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembagalembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperbaiki kelemahan yang dikandung oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip checks and balances yang memadai. f) Bahwa dengan kekuasaan Presiden yang begitu luas dalam sistem pemerintahan presidential yang membuat peran Presiden lebih menonjol dibandingkan dengan peran lembaga legislatif, maka fungsi check and balances menjadi sangat penting agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan. Oleh karena itu, untuk melindungi anggota DPR RI dalam melakukan check and balances agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan, maka diperlukan adanya Hak Imunitas dalam menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya. g) Bahwa praktik penerapan azas checks and balances dalam penindakan secara hukum kepada anggota parlemen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dapat dijumpai di parlemen negara laian seperti Korea Selatan. Dalam hal ini, perlakuan terhadap anggota Parlemen Korea Selatan yang termaktub dalam National Assemby Act, seorang hakim dari pengadilan yang berkompeten ingin mendapat persetujuan dari Majelis Nasional untuk menangkap atau menahan anggota Majelis Nasional maka harus menyampaikan kepada Pemerintah permohonan persetujuan untuk penahanan sebelum mengeluarkan surat perintah, dan Pemerintah wajib, setelah menerima, untuk membuat permohonan persetujuan penangkapan kepada Majelis Nasional tanpa penundaan {Pasal 26 ayat (1)}. Setelah menerima permohonan persetujuan untuk penangkapan, Ketua Majelis Nasional/Speaker wajib melaporkan kepada plenary session (sidang paripurna) pertama, dan harus diputuskan dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam setelahnya dan dalam waktu 72 (tujuh puluh dua) jam sejak dilaporkan di sidang paripurna. Mengenai pemberitahuan perihal penangkapan Anggota Majelis Nasional, bahwa ketika terdapat anggota Majelis Nasional yang ditangkap atau ditahan, Pemerintah dengan segera memberitahukan kepada Ketua Majelis Nasional mengenai penangkapan atau penahanan dengan surat perintahnya. Adapun hal yang sama berlaku dalam kasus perpanjangan masa tahanan. (Pasal 27). Di dalam Pasal 28 dinyatakan, apabila anggota Majelis Nasional mengusulkan pelepasan anggota Majelis Nasional yang ditangkap atau ditahan, permintaan tesebut untuk diterbitkan dengan ditandatangani bersama oleh sekurangkurangnya 1/4 anggota Majelis Nasional dan disampaikan kepada Ketua Majelis Nasional/Speaker untuk diterbitkan. Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa terhadap munculnya kata “tidak” secara a contario menimbulkan tafsir persetujuan tertulis Presiden hanya berlaku jikalau terjadi tindak pidana yg “tidak” berhubungan dengan tugas dari anggota DPR, sedangkan jika berhubungan dengan tugas dari anggota DPR maka tidak membutuhkan persetujuan tertulis Presiden. Padahal seharusnya itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR RI. Bahwa kata “tidak” juga dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi bagian hak imunitas yg diatur dalam Pasal 224. Hak imunitas menjadi diperluas tanpa batas (absolut) sehingga seluruh tindak pidana sulit menjangkau anggota DPR RI” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 28-29 angka 3-4) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota DPR RI perlu dibekali suatu instrumen atau perangkat imunitas yang menjamin pelaksanaan tugas dan kewenangannya dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara yang menjamin anggota DPR RI untuk bebas berbicara dan berpendapat dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya pelaksanaan hak imunitas yang berbentuk hak kebebasan berbicara (Freedom of Speech), pada prinsipnya tidak dibatasi, sepanjang dilakukan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai anggota DPR RI. Perlu masyarakat ketahui bahwa kerja DPR RI adalah 24 jam, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun. Sangat sulit untuk membedakan mana ketika anggota DPR RI tidak dalam posisi bertugas sebagai Anggota Dewan dan mana ketika bertugas sebagai Anggota Dewan. Status keanggotaan anggota DPR RI sudah menjadi satu identitas yang melekat pada diri setiap anggota DPR RI selama 24 jam, dimanapun dia berada. Oleh sebab itu, hak imunitas senantiasa melekat pada diri setiap anggota DPR RI. Dengan kata lain, pendapat bahwa hak imunitas dapat menjadi tidak berlaku pada saat anggota DPR RI melakukan kebebasan berbicaranya itu di luar tugas dan kewenangannya, adalah suatu hal yang dapat dikatakan mustahil dilakukan. sangat sulit memisahkan kegiatan/aktivitas anggota DPR RI dalam pelaksanaan tugas atau tidak, karena anggota DPR RI melaksanakan tugas penuh waktu, bahkan pada masa reses pun anggota DPR tetap melaksanakan tugas di daerah pemilihan masing-masing, karena seluruh aktivitas anggota DPR RI selalu memiliki keterkaitan dengan tugas konstitusional DPR RI. Oleh karena itu tugas MKD adalah untuk melakukan penyaringan (filter) dan/atau penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh anggota DPR RI. Pemohon Perkara 16 mendalilkan “Bahwa kata “setelah” dalam pasal ini membuat ketentuan norma pada frasa “persetujuan tertulis Presiden” tersebut tidak bisa dikeluarkan jikalau tidak mendapat pertimbangan dari MKD. Hal ini tentunya akan menghambat penungkapan fakta apapun peristiwa pidana yg ditangani oleh penegak hukum” (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 29 angka 5) a) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa perlu melihat perbandingan dengan sesama lembaga negara, misalnya Presiden. Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dalam konteks ini, ada hukum acara khusus bagi Presiden apabila melakukan pelanggaran hukum yang pembuktiannya tidak dilakukan melalui proses penegakan hukum melalui hukum acara yang biasa. Sehingga proses penegakan hukum terhadap Presiden dan anggota DPR RI yang samasama dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum dapat diberlakukan sama. b) Bahwa adanya ketentuan Pasal 245 ayat (2) UU MD3 yang memberikan pengecualian berlakunya Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menegaskan bahwa hak imunitas anggota DPR RI tidak berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu sehingga tidak diperlukan persetujuan Presiden (tidak absolut). Artinya ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tidak bertentangan dengan UUD Neagara Republik Indonesia Tahun 1945. c) Bahwa ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 justru merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah dan persamaan kedudukan hukum, mengingat bahwa citra DPR RI sebagai sebuah lembaga sangat bergantung pada citra anggota DPR RI sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga DPR RI. Bahwa pengaturan norma tersebut tidak dimaksudkan untuk menghalangi proses penegakan hukum, namun lebih kepada sebuah kepastian bahwa panggilan terhadap anggota DPR RI memiliki bukti ataupun basis yuridis yang kuat.

16/PUU-XVI/2018

Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3).

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945