Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

47/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitutional : 1) Bahwa dengan berlakunya UU Sisdiknas yang mengatur tentang pendidikan profesi sebagai bagian dari jenis pendidikan maka merugikan hak konstitusional Pemohon terkait dengan kewenangan penyelenggaraan program pendidikan profesi yang seharusnya menjadi kewenangan mutlak dari asosiasi profesi sesuai dengan standar kurikulum yang telah diakui secara internasional tetapi dengan adanya rumusan pasal a quo UU Sisdiknas menyebabkan adanya campur tangan perguruan tinggi dalam menyusun standar, tata cara, prosedur dan mekanisme mengenai pendidikan profesi yang menyebabkan kewenangan dan independensi asosiasi profesi menjadi dikurangi. Bahwa demikian juga rumusan Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas sangat merugikan kepentingan konstitusional Pemohon yang pada saat ini sedang menyelenggarakan program Pendidikan Khusus Pengacara Pengadaan (PKPP) dan Pendidikan Ahli Hukum Kontrak Pengadaan (PAHKP) karena terjadi campur aduk hak dan kewenangan antara perguruan tinggi dan asosiasi profesi dalam penyelenggaraan pendidikan profesi (vide perbaikan permohonan hlm. 5). 2) Bahwa menurut Pemohon UU Sisdiknas telah membatasi dan merampas hak konstitusional Pemohon dalam memberikan gelar profesi. Menurut Pemohon, hak dan kewenangan pemberian gelar profesi ada ditangan asosiasi profesi di bidang pendidikan profesi yaitu Pendidikan Khusus Pengacara Pengadaan (PKPP) dan Pendidikan Ahli Hukum Kontrak Pengadaan (PAHKP) sehingga saat ini telah menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi Asosiasi Profesi (vide perbaikan permohonan hlm. 6, 7, dan 8). 2. DALAM PERKARA NOMOR 47/PUU-XVI/2018 Bahwa menurut Pemohon penyelenggaraan pendidikan profesi sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan asosiasi dan bukan menjadi tanggung jawab dan kewenangan perguruan tinggi sebagaimana yang termaktub dalam pasal-pasal a quo UU Pendidikan Tinggi. Penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi secara tegas menyebutkan bahwa “Program profesi merupakan tanggung jawab dan kewenangan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi hanya dapat menyelenggarakannya bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi.” Namun fakta di lapangan terjadi sebaliknya bahwa perguruan tinggi yang justru seolah-olah berwenang menjalankan pendidikan profesi. Hal ini menurut pemohon telah membatasi ruang gerak APPI dan merampas hak konsitusional APPI sebagai badan hukum perkumpulan/asosiasi profesi yang sah dan memiliki legalitas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengembangkan diri melalui program pendidikan dan pelatihan di bidang hukum pengadaan publik dalam rangka meningkatkan kualitas para advokat/pengacara umum ataupun pengacara pengadaan agar memiliki kompetensi sesuai standar internasional. Bahwa pasal-pasal a quo UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan batu uji yang sama, yaitu Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: 1. Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 2. Pasal 28A UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” 3. Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” 4. Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: 1. DALAM PERKARA NOMOR 45/PUU-XVI/2018 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang mengatur tentang Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi Profesi bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sendirinya harus dibatalkan dan/atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. atau : Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) 2. DALAM PERKARA NOMOR 47/PUU-XVI/2018 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (5), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sepanjang mengatur tentang Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi Profesi bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sendirinya harus dibatalkan dan atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat; Legal Standing : Bahwa kedudukan hukum (legal standing) antara Pemohon dalam Perkara Nomor 45/PUU-XVI/2018 dan Perkara Nomor 47/PUU-XVI/2018 memiliki kesamaan baik Pemohon yang sama maupun hak konstitusional yang didalilkan Pemohon juga terdapat kesamaan. Bahwa oleh karena itu terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon a quo sebagai berikut : a) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Bahwa dalam Perbaikan Permohonannya, Pemohon sebagai perorangan WNI berkedudukan selaku Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI). Bahwa Pemohon sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) menyatakan memiliki hak konstitusional yang diatur dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa hak konstitusional yang didalilkan Pemohon sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) tersebut sama sekali tidak terdapat pertautan dengan ketentuan Pasal-Pasal a quo UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. b) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa Pemohon mendalilkan pasal-pasal a quo UU Sisdiknas UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang pada saat ini sedang menyelenggarakan program Pendidikan Khusus Pengacara Pengadaan (PKPP) dan Pendidikan Ahli Hukum Kontrak Pengadaan (PAHKP) dalam memberikan gelar profesi dan berpotensi mengkriminalisasi/mempidanakan Pemohon apabila dikemudian hari Pemohon akan memberikan sertifikat/gelar profesi kepada anggota APPI. Bahwa kerugian Pemohon yang berkedudukan sebagai Ketua Umum APPI dan sebagai Advokat yang didalilkan tersebut, sesungguhnya tidak ada keterkaitannya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Sisdiknas, karenanya kerugian Pemohon tersebut, bukan diakibatkan oleh berlakunya ketentuan Pasal a quo UU Sisdiknas UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. Bahwa Pemohon tetap dapat menjalankan aktifitasnya sebagai Ketua Umum APPI dan advokat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa Pemohon sama sekali tidak terhalangi ataupun terkurangi hak- hak konstitusionalnya sebagai Ketua Umum APPI dan advokat dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Sisdiknas UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. Bahwa seyogyanya Pemohon selaku Ketua Umum APPI dan advokat dalam menyelenggarakan pendidikan profesi mematuhi ketentuan UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. c) Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak- tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemohon dalam permohonannya mengemukakan pasal-pasal a quo UU Sisdiknas UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Ketua Umum APPI dan advokat. Namun Pemohon dalam permohonannya tidak menjelaksan kerugian-kerugian yang bersifat spesifik dan aktual, atau tidak potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa oleh karena kerugian Pemohon sebagai Ketua Umum APPI dan advokat tidak ada keterkaitannya dengan ketentuan pasal a quo UU Sisdiknas UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi, dan kerugian-kerugian yang didalilkan Pemohon tidak spesifik, konkrit dan aktual, serta Pemohon sama sekali tidak terhalangi dan terkurangi hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU a quo, maka jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan hak konstitusional yang diatur dalam UUD Tahun 1945. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dari uraian diatas jelas Pemohon sama sekali tidak terhalangi dan terkurangi hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU a quo, maka jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan hak konstitusional yang diatur dalam UUD Tahun 1945 karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband). Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi tidak akan ada dampak apapun pada diri Pemohon. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: "...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 2. PENGUJIAN PASAL-PASAL A QUO UU SISDIKNAS DAN UU PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UUD TAHUN 1945 a. PANDANGAN UMUM 1) Bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. UUD Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. 2) Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. 3) Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-III/2005 yang diputus pada Rabu, 19 Oktober 2005, Mahkamah menyatakan bahwa "Kewajiban negara terhadap warga negara dalam bidang pendidikan mempunyai dasar yang lebih fundamental, sebab salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat yang berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …“ Dengan demikian, salah satu kewajiban tersebut melekat pada eksistensi negara dalam arti bahwa justru untuk mencerdaskan kehidupan bangsalah maka negara Indonesia dibentuk. Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Karena demikian pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, menyebabkan pendidikan tidak hanya semata-mata ditetapkan sebagai hak warga negara saja, bahkan UUD 1945 memandang perlu untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban warga negara. Agar kewajiban warga negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945, Pasal 31 ayat (2), mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya" (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-III/2005 hlm 57-58). 4) Bahwa Pasal 1 angka 1 UU Sisdiknas memberikan penjabaran bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara", yang dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Sisdiknas yang menjabarkan "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman" dan sistem pendidikan nasional menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas adalah "keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional." 5) Bahwa penyelenggara pendidikan dapat dikualifikasikan pemerintah sendiri dan masyarakat dengan terlebih dulu mendapatkan ijin dari pemerintah dalam hal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk jenjang pendidikan taman kanak-kanak, pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta kejuruan, dan Kementerian Ristekdikti untuk pendidikan tinggi, atau Kementerian Agama untuk pendidikan keagamaan. Dengan demikian, dalam lingkungan pendidikan tinggi dalam kualifikasi apapun, termasuk pendidikan profesi, harus diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi yang telah mendapat ijin penyelenggaraannya dari pemerintah. 6) Bahwa keberadaan perguruan tinggi khususnya bidang ilmu hukum sebagai centre of execellence untuk mencetak sumber daya manusia yang handal yang memiliki kualifikasi sebagai human resource university, dan sekaligus sebagai research university menjadi urgen, dan strategis. Oleh karena itu, sebagai arena akademik untuk mendidik dan meningkatkan kapasitas intelektual (intellectual capacity) akademisi dan praktisi di bidang hukum, tidak saja yang berkeahlian dan professional dalam mengkaji dan menemukan solusi masalah-masalah hukum dan pembangunan, tetapi juga responsive terhadap perkembangan ilmu hukum, atau berketrampilan di bidang penelitian dan pengembangan ilmu hukum, tetapi juga memiliki karakter akademik yang dilandasi etika dan moral yang baik. Pokok Perkara : 1) Bahwa di dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Sisdiknas menegaskan bahwa: “Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.” Pada ketentuan norma tersebut sangat jelas bahwa perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta dituntut sebagai lembaga/institusi yang difungsikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan dan sifatnya adalah wajib. Oleh karena itu, segala bentuk kegiatan pendidikan seharusnya bertumpu pada perguruan tinggi, dan tidak pada institusi diluar perguruan tinggi. 2) Bahwa Pemohon mendalilkan: “…kewenangan penyelenggaraan program pendidikan profesi yang seharusnya menjadi kewenangan mutlak dari Asosiasi Profesi sesuai dengan standar kurikulum yang telah diakui secara internasional tetapi ketentuan Pasal 15 dan Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas menyebabkan kewenangan dan independensi asosiasi profesi menjadi dikurangi (vide perbaikan hlm 5-6, poin 1-2)”. a) Bahwa terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon keliru dalam memahami Pasal 15 dan Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas, yang masing- masing menyatakan “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan Khusus (Pasal 15 UU Sisdiknas) dan Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi (Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas). Bahwa Pasal 15 UU Sisdiknas jelas mengatur jenis pendidikan salah satunya mencakup pendidikan profesi, dan Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas mengatur mengenai program pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, yaitu pendidikan akademik, pendidikan profesi dan/atau pendidikan vokasi, oleh karena hal tersebut termasuk ruang lingkup pendidikan tinggi. Dengan demikian, tidak ada hak Pemohon sebagai Ketua Umum APPI dalam menyelenggarakan program pendidikan profesi dilanggar hak konstitusionalnya. Karena Pemohon tetap dapat menyelenggarakan program pendidikan profesi yang sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku, seperti PERADI yang dapat menyelenggarakan pendidikan profesi advokat (PKPA) dengan bekerja sama dengan satuan pendidikan tinggi. Bahwa pendidikan profesi termasuk lingkup pendidikan tinggi diatur pula dalam UU Pendidikan Tinggi Pasal 1 angka 2, bahwa Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Bahwa dengan demikian ketentuan pasal 15 dan pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan UUD Tahun 1945. Bahwa apabila asosiasi profesi yang menyelenggarakan pendidikan profesi sebagaimana yang diinginkan oleh Pemohon, justru hal ini akan menimbulkan permasalahan terkait dengan kualitas dan kredibilitas setiap organisasi profesi yang juga hendak melakukan pendidikan profesi dan memberikan gelar profesi. Terkait dengan adanya gelar-gelar profesi internasional yang dimaksud oleh Pemohon, suatu asosiasi profesi dalam bekerjasama dengan asosiasi internasional dalam rangka pengembangan kompetensi profesi dan jaringan kerja. Namun pelaksanaan pendidikan yang merupakan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 tetap tunduk pada hukum nasional yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Standar yang diberlakukan dapat berupa standar nasional maupun standar internasional, namun terlebih dahulu standar tersebut harus diuji dan diakui oleh lembaga yang berwenang seperti BNSP dan ditetapkan sebagai SKKNI. b) Bahwa selain itu, dalam kaitannya dengan upaya pengembangan kompetensi yang dilakukan oleh organisasi profesi, berdasarkan Pertimbangan Hukum MK dalam Putusan Perkara Nomor 95/PUU-XIV/2016 yang menguji konstitusionalitas Pasal dalam UU Advokat yang substansi atau materi muatannya terkait dengan ketentuan pasal-pasal a quo, MK menyampaikan : "[3.12] ….Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon advokat melalui organisasi advokat untuk melaksanakan pendidikan dan ujian serta pengangkatan dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke depan para Advokat dapat membangun keadilan di tengah- tengah masyarakat dalam peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia; (vide Putusan MK Nomor 95/PUU-XIV/2016, hlm 39) Oleh karena itu, dalam pelaksanaan PKPA dimaksud harus terdapat standar mutu dan target capaian tingkat keahlian/keterampilan tertentu dalam kurikulum PKPA. Dalam kaitan inilah kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum atau sekolah tinggi hukummenjadi penting. Sebab berbicara pendidikan, terminologi yang melekat dalam istilah PKPA tersebut, secara implisit mengisyaratkan bahwa PKPA harus memenuhi kualifikasi pedagogi yang lazimnya sebagaimana dituangkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, organisasi advokat dalam menyelenggarakan PKPA harus bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum atau sekolah tinggi hukum dengan kurikulum yang menekankan pada kualifikasi aspek keahlian atau keprofesian. Keharusan tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa standardisasi pendidikan termasuk pendidikan profesi akan terjaga kualitasnya sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] dan sejalan dengan semangat Pasal 31 UUD 1945. Untuk mencapai tujuan dimaksud diperlukan standar yang lazim digunakan dalam pendidikan keprofesian. Oleh karena itu, organisasi advokat tetap sebagai penyelenggara PKPA dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B. (vide Putusan MK Nomor 95/PUU- XIV/2016, hlm 40-41) Bahwa sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR RI berpandangan dalam rangka menjaga kualitas dan kompetensi suatu profesi yang berdasarkan permohonan Pemohon a quo adalah Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI), maka APPI harus bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum atau sekolah tinggi hukum dengan kurikulum yang menekankan pada kualifikasi aspek keahlian atau keprofesian. Keharusan tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa standardisasi pendidikan termasuk pendidikan profesi di Perguruan Tinggi akan terjaga kualitasnya. 3) Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) dan Pasal 25 ayat (1) UU Sisdiknas,telah mengurangi hak dan kewenangan konstitusional Pemohon sebagai Ketua APPI dalam memberikan gelar profesi (vide perbaikan hlm 6 poin 3). Menurut Pemohon ketentuan pasal tersebut dianggap menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi Pemohon (vide perbaikan hlm 7 poin 6), padahal APPI telah diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan dalil Pemohon tersebut tidak tepat. Bahwa Pemohon perlu memahami Pasal 21 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa Perseorangan dilarang memberikan gelar akademik, gelar profesi maupun gelar vokasi. Hal ini ditujukan agar pemberian gelar profesi diberikan oleh lembaga yang memiliki kredibel dan akuntabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa pemberian gelar profesi oleh lembaga yang berkompeten sesuai dengan UU a quo yang melarang perseorangan untuk memberikan gelar profesi tidak berarti ketentuan pasal a quo UU Sisdiknas inkonstitusional. 4) Bahwa merujuk Pertimbangan Hukum dalam Putusan Perkara No. 012/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: “mengingat pendidikan merupakan tanggung jawab negara, karena dari sudut pandang hak asasi manusia, hak untuk mendapatkan pendidikan termasuk dalam hak asasi di luar hak sipil dan politik, dan termasuk dalam hak sosial, ekonomi, dan budaya. Kewajiban negara untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak sosial, ekonomi, politik merupakan kewajiban atas hasil (obligation to result) dan bukan merupakan kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) sebagaimana pada hak sipil dan politik. Kewajiban negara dalam arti “obligation to result” telah dipenuhi apabila negara dengan itikad baik telah memanfaatkan sumber daya maksimal yang tersedia (maximum available resources) dan telah melakukan realisasi progresif (progressive realization). Maka dengan berorientasi pada kualitas kompetensi yang dihasilkan dari pelaksanaan pendidikan, maka Satuan Pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas, khususnya Perguruan Tinggi dalam kaitannya dengan pendidikan profesi, merupakan lembaga pendidikan yang dalam pendiriannya telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh ijin pendirian dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diatur dalam pasal- pasal a quo dan UU Pendidikan Tinggi. Selain itu, adanya akreditasi satuan pendidikan tinggi ditujukan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas satuan pendidikan tinggi dalam mengelola satuan pendidikan, melaksanakan kegiatan pendidikan dan menjaga kualitas alumni-alumninya.” 5) Bahwa terhadap Pemohon yang beranggapan bahwa Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi dan Penjelasannya merupakan bukti bahwa organisasi profesilah yang memiliki kewenangan dalam menjalankan pendidikan profesi adalah tidak tepat. Bahwa mencermati Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi perlu mengkaitkan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) UU Pendidikan Tinggi. Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi menyatakan program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Artinya dalam pengembangan profesi yang professional maka perguruan tinggi bekerjasama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang telah memiliki praktisi atau ahli dalam profesi tertentu yang telah berpengalaman dan kompeten di bidangnya untuk menjaga kualitas dan kredibilitas penyelenggaraan pendidikan dan hasil-hasil pendidikan. 6) Bahwa terhadap ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas yang dianggap Pemohon merugikan hak Pemohon adalah tidak berdasar. Bahwa bunyi Pasal 67 ayat (1) mengatur ketentuan pidana dalam memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak, dan Pasal 68 ayat (1) menyatakan Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana. Bahwa pengaturan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas adalah untuk melindungi hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat (1). Selain itu juga merupakan hak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10), serta berkewajiban untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat (1)). 7) Bahwa dengan demikian ketentuan pasal a quo UU Sisdiknas tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945. II. Dalam Perkara Nomor 47/PUU-XVI/2018 1) Bahwa Pemohon mendalilkan APPI berhak untuk mengembangkan diri melalui program-program Pendidikan dan Pelatihan di bidang Hukum Pengadaan Publik dalam rangka meningkatkan kualitas para advokat/pengacara umum agar memiliki kompetensi sebagai pengacara pengadaan sesuai dengan standar internasional IFPSM. Oleh karena itu aturan mengenai pendidikan profesi sebagaimana diatur di dalam UU Pendidikan Tinggi telah membatasi ruang gerak APPI sehingga hal itu sangat bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945 (vide perbaikan permohonan hlm. 11 poin 11). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan terkait dengan pendidikan tinggi masih berada dalam kerangka penyelenggaraan sistem pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang- undang.” Pemerintahlah yang diamanati oleh UUD Tahun 1945 untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Dalam standardisasi pendidikan telah ditetapkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 menegaskan bahwa “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor”. Dari hal tersebut telah jelas bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan harus memiliki KKNI dan untuk menyamakan penerapan proses pembelajaran berbasis KKNI maka haruslah dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang telah terakreditasi minimal B oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi agar kualitas dari lulusan program profesi tersebut memenuhi standar KKNI, namun untuk pembelajaran yang sifatnya praktisi, lembaga perguruan tinggi tersebut bekerja sama dengan organisasi profesi. Kolaborasi antara Perguruan Tinggi dan Organisasi Profesi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk menciptakan lulusan program profesi yang memiliki memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai untuk mengemban suatu profesi. 2) Bahwa Pemohon mendalilkan APPI berhak untuk memajukan dan mengembangkan profesi pengacara pengadaan di Indonesia melalui program-program pendidikan dan pelatihan pengacara pengadaan. Oleh karena itu aturan mengenai pendidikan profesi sebagaimana diatur di dalam UU Sisdiknas telah membatasi ruang gerak APPI sehingga hal itu sangat bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 (vide perbaikan permohonan hlm. 12 poin 12). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa pokok perkara yang dimohonkan oleh Pemohon kabur (obscuur) karena di dalam permohonannya Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (5), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6) , Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (4) UU Pendidikan Tinggi, bukan mengujikan UU Sisdiknas. Selain hal tersebut terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa UU Sisdiknas telah membatasi ruang gerak APPI itu hanyalah kesalahan dari pemahaman Pemohon. Sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa Pemerintahlah yang menyelenggarakan pendidikan nasional. Dalam penyelenggaraan tersebut Pemerintah menggunakan KKNI sebagai standar pendidikan nasional. Di dalam UU Pendidikan Tinggi sendiri sudah mengatur bahwa ada peran organisasi profesi dalam penyelenggaraan program profesi, sehingga hal tersebut tidak dapat diartikan membatasi, namun untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas program profesi dibutuhkan kerjasama Pemerintah dengan organisasi profesi. 3) Bahwa jika didalami kembali pasal a quo sudah sangat jelas dalam pengaturannya dengan adanya amanat dari UUD Tahun 1945 dan didukung oleh undang-undang lainnya seperti UU Sisdiknas yaitu dalam Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yang berketentuan: “(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya. (2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.” Dari Pasal tersebut diatas sudah sangat jelas bahwa selain perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan dilarang menyelenggarakan program profesi, kemudian diatur kembali dalam Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi bahwa perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program profesi bekerjasama dengan kementerian, kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi. Pengaturan tersebut untuk memberi ruang terhadap organisasi profesi turut andil dalam memajukan sumber daya manusia para pemegang profesi tersebut. Sesungguhnya Pemerintah menyerahkan kewenangan tersebut kepada perguruan tinggi untuk penyelenggaraan program profesi sebagai fungsi kontrol agar kurikulum yang berikan sesuai dengan KKNI. 4) Bahwa Pemohon mendalilkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi maka sudah sangat jelas bahwa BNSP adalah satu- satunya lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dan bukan dilakukan dan/atau sertifikat kompetensi diterbitkan oleh perguruan tinggi (vide perbaikan pemohonan hlm. 16 poin 24). Bahwa terhadap dalil tesebut DPR RI berpandangan Pemohon telah salah kaprah dalam mengartikan sertifikasi kompetensi kerja dengan pendidikan profesi yang jelas-jelas hal tersebut adalah 2 (dua) hal yang berbeda dimana sertifikasi kompetensi kerja merupakan suatu penilaian terhadap suatu profesi, sedangkan untuk pendidikan profesi merupakan suatu jenjang pendidikan untuk mendapatkan ilmu guna menjalankan suatu profesi nantinya. Setelah mendapatkan ilmu dari pendidikan profesi tersebut maka ilmu tersebut diuji. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (PP 10 Tahun 2018) yang berketentuan: “Untuk melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BNSP menyelenggarakan fungsi: a. Pelaksanaan dan pengembangan sistem sertifikasi kompetensi kerja b. Pelaksanaan dan pengembangan sistem sertifikasi pendidikan dan pelatihan vokasi; c. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi kompetensi kerja nasional; d. Pengembangan pengakuan sertifikasi kompetensi kerja nasional dan internasional; e. Pelaksanaan dan pengembangan kerja sama antar lembaga, baik nasional dan internasional di bidang sertifikasi profesi; dan f. Pelaksanaan dan pengembangan sistem data dan informasi sertifikasi kompetensi kerja terintegrasi.” Kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP 10 Tahun 2018 yang menyatakan sebagai berikut: “BNSP memberikan lisensi kepada LSP yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.” Dari ketentuan pasal-pasal tersebut diatas sudah sangat jelas bahwa Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) tidak memberikan hak kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk menyelenggarakan program pendidikan profesi namun sebagai pelaksana sertifikasi kompetensi kerja yang memberikan penilaian dan bimbingan terhadap lulusan dari pendidikan profesi, sehingga tidak dapat disamakan antara pelaksana sertifikasi kompetensi kerja dengan penyelenggara pendidikan profesi. Kemudian di dalam Pasal 61 ayat (3) UU Sisdiknas juga sudah sangat jelas mengatur bahwa Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Lembaga Sertifikasi Profesi bukan untuk menerbitkan sertifikasi kompetensi profesi namun melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. 5) Bahwa Pemohon mendalilkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 PP 10 Tahun 2018 tersebut maka sudah sangat jelas bahwa kompetensi seorang pekerja atau keahlian seorang pekerja yang bersifat praktis di dunia profesionalnya masing-masing diakui oleh masyarakat profesionalnya masing-masing dan bukan diakui oleh perguruan tinggi (vide perbaikan permohonan hlm. 16 poin 25). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan untuk mendapatkan suatu kompetensi yang diakui oleh masyarakat, seseorang harus melalui proses pembelajaran yang panjang. Proses pembelajaran tersebut tidak langsung dimiliki begitu saja. Penjelasan Pasal 15 UU Sisdiknas menyatakan bahwa: “Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.” Kemudian dalam Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan bahwa: “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.” Dalam hal ini perguruan tinggi bukan mengakui namun memberikan program pendidikan untuk terciptanya kompetensi dari suatu profesi yang sesuai dengan KKNI. Untuk menciptakan suatu kompetensi tersebut lembaga perguruan tinggi tersebut bekerja sama dengan organisasi profesi. Hal tersebut bertujuan agar nantinya lulusan dari pendidikan profesi tersebut dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat karena kompetensi yang dimiliki. 6) Bahwa Pemohon mendalilkan dengan bermunculannya asosiasi profesi di bidang hukum yang menyelenggarakan program sertifikasi profesi dalam rangka meningkatkan kompetensi anggotanya masing-masing maka hal ini merupakan sinyal positif bagi peningkatan kualitas advokat/pengacara indonesia. Kemajuan ini perlu di dukung bersama dan tanggung jawab terhadap mutu layanan profesi merupakan tanggung jawab dari masing-masing asosiasi profesi tersebut bukan berada pada tanggung jawab perguruan tinggi karena tanggung jawab mutu layanan profesi berada pada asosiasi profesi maka asosiasi adalah organisasi yang paling berhak dan berwenang dalam menerbitkan gelar profesi (vide perbaikan permohonan hlm. 16 poin 53). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) UU Sisdiknas yang berketentuan: “(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.” Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa perguruan tinggilah yang berhak menerbitkan gelar profesi. Sertifikasi profesi diberikan ketika seseorang telah menyelesaikan program profesi dan akan menjalankan suatu profesi tersebut, sedangkan yang ada dalam pembahasan UU a quo merupakan penyelenggaraan program profesinya agar lulusan dari program profesi tersebut memenuhi kualifikasi dalam menjalankan profesinya. 7) Bahwa terhadap dalil Pemohon dalam permohonannya pada poin 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) yang membandingkan pasal-pasal a quo dengan PP 10 Tahun 2018, DPR RI berpandangan hal tersebut sangatlah tidak sesuai karena UU Pendidikan Tinggi merupakan suatu undang-undang yang mengatur mengenai pendidikan tinggi secara keseluruhan sedangkan PP 10 Tahun 2018 hanya mengatur mengenai sertifikasi profesi bukan pendidikan profesi. Sehingga sudah selayaknya PP 10 Tahun 2018 tidak bisa digunakan sebagai acuan Pemohon dalam penyelenggaraan pendidikan profesi. c. Latar Belakang Pembahasan UU Pendidikan Tinggi Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam UU Pendidikan Tinggi dalam lampiran yang tidak terpisah dari keterangan DPR ini. Bahwa berdasarkan pandangan hukum tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima; 3. Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (5), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (5), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

47/PUU-XVI/2018

Pasal 15; Pasal 20 ayat (3); Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 25 ayat (1); Pasal 67 ayat (1); dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945