Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

23/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional Pemohon: Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya sebagai berikut: 1. Bahwa adanya ketentuan norma Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ terhadap frasa “menggunakan telepon” dalam prakteknya diperluas termasuk menggunakan GPS. Akibatnya para pengguna GPS yang terdapat dalam smartphone menjadi terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 283 UU LLAJ. (Vide perbaikan permohonan hlm. 9 point 11) 2. Bahwa ketentuan dalam norma a quo dapat ditafsirkan sesuai kehendak penegak hukum sehingga menimbulan ketidakpastian hukum dalam implementasi suatu norma yang akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Para pemohon meminta agar ketentuan dalam norma a quo dikecualikan untuk penggunaan GPS yang terdapat dalam smartphone. (Vide perbaikan permohonan hlm 10-11 point 14) Adapun Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan pasal a a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut: - Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum” - Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Bahwa berdasarkan sejumlah alasan tersebut, Para Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa "menggunakan telepon" bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut dengan Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (smartphone); 3. Menyatakan Pasal 283 terdapat frasa "melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (smartphone); 4. Memerintahan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk dimuat dalam berita negara; Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Legal Standing: Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), yang menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon a quo, DPR RI memberikan penjelasan berdasarkan batasan kerugian konstitusional sebagai berikut: 1) Terhadap Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon I: Bahwa Pemohon I mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon I tidak secara spesifik menjelaskan adanya pertentangan atau pertautan antara norma pasal yang dimohonkan pengujian dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Tetapi Pemohon I hanya takut akan ditilang ketika akan melakukan aktivitas touring melintasi antar kota antar provinsi dengan menggunakan GPS pada smartphone. Bahwa Pemohon I sebagaimana dalam Permohonannya mendalilkan bahwa Pemohon I merupakan perkumpulan yang hanya didasarkan pada Akta Pendirian Nomor 01 yang dibuat dihadapan Notaris tertanggal 17 November 2015 sebagai Perkumpulan Toyota Soluna Community (TSC) tanpa adanya pengesahan selaku badan hukum, sehingga kedudukan hukum atau legal standing Pemohon I tidak memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 6 ayat (3) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Bahwa Pemohon I yang tidak jelas kedudukan hukum tersebut, dalam permohonannya hanya menjelaskan, dalam melakukan aktivitas touring, jika menggunakan GPS khawatir terancam pidana oleh berlakunya pasal a quo dalam menjalankan kendaraannya. Bahwa sebagaimana telah di kemukakan di atas, tidak ada relevansinya atau tidak adanya pertautan antara Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan norma pasal a quo UU LLAJ, maka sudah jelas dan terbukti tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UU LLAJ. Bahwa karena terbukti tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UU LLAJ, maka sudah jelas pula tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dikemukakan Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo UU LLAJ. Bahwa oleh karena berlakunya pasal-pasal a quo UU LLAJ sama sekali tidak mengakibatkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon, maka sudah dapat dipastikan tidak akan terjadi adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan berpengaruh apapun kepada Pemohon. 2) Terhadap Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon II: Bahwa Pemohon II yang berkedudukan sebagai perseorangan yaitu Mahasiswa/Driver Transportasi Online, mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Bahwa Pemohon II sebagaimana sama dengan Pemohon I, tidak secara spesifik menjelaskan adanya pertentangan atau pertautan antara norma pasal yang dimohonkan pengujian dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon II yang berkedudukan perseorangan tersebut, dalam permohonannya tidak menjelaskan secara detail konkrit adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan. Namun Pemohon hanya menjelaskan, yang mengkaitkan dan mengutip berita-berita dari media dengan tautan https://news.detik.com/1/berita/d-3898409/pakaigps- sambil-nyetir-ditilang-driver-online-jangan-hanya-kami mengenai penyataan Dirlantas yang menyatakan “akan menilang pengemudi ojek online yang membuka GPS ataupun hp saat berkendara” dengan tautan https://oto.detik.com/berita/3899147/gunakan-gps-di-jalan-boleh-asal mengenai pernyataan Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang menyatakan “bahwa melakukan kegiatan saat berkendara memang dibatasi, hal tersebut disebutkan dalam undang-undang Pasal 106 seperti menonton tv, video, bermain hp, lelah, mengantuk, sampai mabuk”, yang dihubungkan dengan kekhawatiran Pemohon II terancam pidana (Vide Perbaikan permohonan halaman 9 dan 10 nomor 12 dan 13). Bahwa hal tersebut bukanlah menjadi sebuah fakta hukum sehingga tidak ada pertautan antara pasal a quo yang dimohonkan pengujian dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu sampai saat ini belum ada peraturan Polri yang mengatur mengenai pelaksanaan pasal tersebut. Bahwa sebagaimana telah di kemukakan di atas, tidak ada relevansinya atau tidak adanya pertautan antara Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan norma pasal a quo UU LLAJ, maka sudah jelas dan terbukti tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UU LLAJ. Bahwa DPR RI tidak melihat adanya kerugian hak dan/atau kewenangan yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi bagi Pemohon, karena kerugian yang akan dialami oleh Pemohon belum tentu terjadi dikarenakan pernyataan yang dikeluarkan oleh penegak hukum hanya pada media masa, bukan merujuk pada peraturan POLRI. Penggunaan GPS yang dikatakan menunjang aktifitas Pemohon II tetap dapat digunakan tentunya dengan penggunaan yang bijak untuk keamanan Pemohon II selama berkendara dan bagi para pengguna jalan lainnya. Bahwa fungsi GPS adalah sebagai pengganti peta dan kompas sebagai alat bantu navigasi maka penggunaannya dapat dilakukan dengan menepi terlebih dahulu dan tidak dalam kondisi sedang berkendara di jalan. Oleh karena itu, kerugian yang didalilkan Pemohon II tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa DPR RI tidak melihat adanya hubungan sebab akibat antara kerugian yang disampaikan oleh Pemohon dengan pengaturan dalam pasal a quo. Perbedaan penafsiran ketentuan tersebut sebagaimana yang disampaikan Pemohon dengan mengutip keterangan yang disampaikan oleh pihak kepolisian di media massa merupakan suatu pemahaman yang berbeda mengenai penggunaan GPS selama berkendara dengan pertimbangan personal dan bukan pertimbangan menyeluruh atas keselamatan para pengguna jalan sebagimana pertimbangan pembentuk Undang-Undang. Bahwa oleh karena berlakunya pasal-pasal a quo UU LLAJ sama sekali tidak mengakibatkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon, maka sudah dapat dipastikan tidak akan terjadi adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan berpengaruh apapun kepada Pemohon. Bahwa ketentuan dalam Pasal a quo telah memberi kepastian hukum, jika Pemohon meminta untuk menafsirkan frasa “menggunakan telepon” dikecualikan untuk penggunaan aplikasi GPS yang terdapat dalam smartphone justru akan menghalangi perkembangan teknologi yang terus berkembang dan dinamis. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Perkara 23/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan di atas, tidak memiliki hubungan hukum dan kepentingan dengan pasal-pasal a quo UU LLAJ yang dimohonkan pengujian dan tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: “Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Demikian juga pertimbangan hukum oleh MK terhadap legal standing Pemohon dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.” Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Putusan MK mengenai pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pandangan Pokok Permohonan: 1) Bahwa UU LLAJ harus dibaca, dicermati dan difahami secara komprehensif tidak parsial sehingga dapat memberikan tafsir yang berdasar atas norma-norma dalam UU LLAJ. Bahwa perlu kita fahami bersama, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat (vide: Pasal 3 UU LLAJ). Dengan tujuan tersebut, UU LLAJ ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar untuk kepentingan semua pihak termasuk masyarakat dan Pemohon. 2) Bahwa pengaturan keamanan lalu lintas dan angkutan jalan dalam UU LLAJ adalah untuk menjamin suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang dan/atau kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas. Begitu pula pengaturan keselamatan lalu lintas untuk memberikan jaminan terhadap suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan/atau lingkungan (vide : Pasal 1 angka 30 dan angka 31 UU LLAJ). Bahwa atas dasar pengaturan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa unsur keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas menjadi titik tumpu yang ingin dicapai dalam undang-undang a quo. Sehingga hal tersebut menunjukkan segala ketentuan yang ada dalam undang-undang a quo pada pokoknya akan bermuara bagaimana terselenggaranya keamanan, ketertiban, keselamatan, dan kelancaran dalam berlalu lintas itu sendiri. 3) Bahwa pembentukan UU LLAJ ini, ruang lingkup berlakunya dibatasi untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan; b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 4) Bahwa atas dasar itu, ketertiban dan keselamatan berlalu lintas menjadi penting diatur dalam UU LLAJ agar setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi (vide : Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ). Bahwa yang dimaksud penuh konsentrasi dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alcohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan. 5) Bahwa dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, tentunya juga menjadi pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dalam membentuk peraturan perundang-undangan mengingat bahwa perkembangan teknologi terkait perkembangan smart phone dan GPS yang dapat membantu pengemudi untuk menemukan alamat secara cepat dan akurat, dalam penggunaannya juga harus bijak dengan memperhatikan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas guna menghindari kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan korban kecelakaan baik terhadap orang lain maupun Pemohon sendiri. 6) Bahwa pengaturan larangan penggunaan telepon ketika berkendara dengan alasan mengganggu konsentrasi pengendara kendaraan bermotor ditujukan untuk memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan berlalu lintas kepada setiap orang termasuk Pemohon. Bahwa dalam hal menggunakan telpon yang dapat mengalihkan fokus pengendara kendaraan bermotor sehingga mengganggu konsentrasi telah banyak menimbulkan kecelakaan yang membahayakan keselamatan pengguna kendaraan bermotor yang tengah berkendara dan para pengguna jalan lainnya. 7) Bahwa perkembangan tekhnologi yang menciptakan perangkat tambahan, seperti GPS (Global Positioning System) yang menunjukkan arah, Bluetooth yang menyambungkan handphone dan mini display yang membuat penumpang bisa menonton tayangan maupun film, merupakan bagian yang umum ditambahkan pada sebuah kendaraan, meskipun sistem keamanan juga tetap ditambahkan untuk meningkatkan keselamatan ketika mengemudi (Bishop, 2005). Gejala ini jika dilihat tidak semakin menurun, malah semakin meningkat. Tidak hanya perusahaan manufaktur, yang sengaja menambahkan untuk memberi nilai lebih dalam penjualan kendaraannya, pemilik kendaraan sendiri bahkan menambahkan perangkat tambahan yang dibutuhkannya ketika mengemudi, seperti perangkat navigasi, handphone, dan perangkat musik. Kebiasaan ini menjadikan kendaraan mobil sebagai alat transportasi yang canggih dengan berbagai perangkat tambahannya (Laurier, 2004). 8) Bahwa DPR RI berpandangan ketentuan a quo dibuat tidak hanya menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan untuk satu pihak saja dan satu kepentingan pribadi orang saja. Melainkan undang-undang a quo dibuat demi menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan untuk semua orang (masyarakat sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). Bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan a quo tidak menjamin kepastian hukum untuk kepentingan Para Pemohon adalah tidak beralasan hukum. Bahwa apabila permohonan Para Pemohon dikabulkan, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakmanfaatan, dan ketidakadilan bagi diri dan kepentingan orang lain yang menginginkan terlaksananya keamanan, keselamatan, dan kelancaran dalam berlalu lintas. Ketentuan a quo UU LLAJ dibuat justru untuk meminimalisir (mencegah) dari kemungkinan-kemungkinan kerugian yang jauh lebih besar yang akan ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas yang disebabkan kelalaian karena menggunakan telpon yang dapat mengganggu konsentrasi dalam berkendara di jalan raya. 9) Bahwa menurut Para Pemohon frasa “menggunakan telepon” sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas, sehingga tidak menjadi multi tafsir dalam pemberlakuannya. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa frasa “menggunakan telepon” ketika sedang mengemudikan kendaraan bermotor dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ merupakan salah satu bagian penjelasan dari “mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi” dan bagian dari tertib berkendara dan menjaga keselamatan saat berkendara. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata “menggunakan” diartikan “memakai (alat, perkakas); mengambil manfaatnya; melakukan sesuatu dengan: tidak boleh ~ kekerasan”, sedangkan kata “telepon” merupakan “percakapan yang disampaikan dengan pesawat telepon; pesawat telepon”. Jika mencermati kata “menggunakan” artinya bersifat aktif. Lebih lanjut, norma a quo tergolong kalimat aktif, artinya melakukan kegiatan memanfaatkan telepon (memanfaatkan fitur-fitur) ketika berkendara adalah aktif melakukan sesuatu, artinya disini pengendara tidak sedang “menggunakan telepon”. Oleh karena itu Penjelasan Pasal a quo sudah jelas dan tidak multi tafsir. 10) Bahwa Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ merupakan norma kewajiban yang harus ditaati, sedangkan norma Pasal 283 UU LLAJ merupakan norma sanksi yang diberikan apabila tidak ditaatinya norma Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. Lebih lanjut, pencantuman sanksi pada Pasal a quo sudah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12 tahun 2011). Ketentuan tersebut tercantum dalam lampiran II Nomor 268. “Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi”. 11) Bahwa kedua norma tersebut beserta penjelasannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Jika Para Pemohon beralasan bahwa Pasal 283 UU LLAJ tidak jelas dan pada penjelasannya dinyatakan cukup jelas, sehingga frasa “menggunakan telepon” tidak mendapatkan penjelasan yang cukup. Menurut DPR RI, Para Pemohon kurang memahami logika dalam membaca peraturan perundang-undangan. Frasa “menggunakan telepon” merupakan penjelasan salah satu hal yang dapat menyebabkan gangguan konsentrasi dalam berkendara, sehingga tidak perlu dijelaskan lagi pada Pasal 283 UU LLAJ karena norma acuannya sudah ada pada Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. Frasa “menggunakan telepon” merupakan penjelasan bukan norma undang-undang, namun penjelasan tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari norma undangundangnya. Dengan demikian penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ sudah jelas tidak multi tafsir yang tidak dapat ditafsirkan lain yang justru dapat bertentangan dengan norma undang-undangnya yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Karena pemaknaan lain terhadap penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ yang dikehendaki Para Pemohon adalah merupakan norma baru yang menjadi kewenangan Pembentuk Undang-Undang sehingga menjadi keliru jika ditambahkan dalam penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. 12) Bahwa terhadap frasa “menggunakan telepon” dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ telah memberikan batasan/tanda mengenai apa yang dimaksud dengan penuh konsentrasi yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. Sehingga dalam batasan-batasan ketentuan tersebut dianggap dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengemudikan kendaraan. Dalam mengemudi kendaraan bermotor, pengemudi tak hanya dituntut tanggung jawab, tapi wajib juga berkonsentrasi. Dengan konsentrasi, ia bisa menjaga diri agar tidak terjadi kecelakaan dan juga bisa memperhatikan jalanan yang dilaluinya. Dengan konsentrasi, ia dengan mudah mengontrol kondisi kendaraannya saat di jalan raya. Konsentrasi adalah atensi atau perhatian; ia adalah suatu proses keterjagaan mental dan proses pengendalian substansi mind (alam pikiran). Berkonsentrasi berarti memfokuskan kesadaran pada satu subjek atau objek tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian kesuatu yang lain. 13) Bahwa yang dimaksud dengan frasa “menggunakan telepon” dalam penjelasan pasal 106 ayat (1) UU LLAJ dan frasa “melakukan kegiatan lain” atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konstrasi dalam ketentuan pasal 283 UU LLAJ adalah ketika pengguna secara aktif menggunakan teleponnya ketika sedang aktif mengendarai kendaraan seperti menelpon, sms, chatting. Karena aktifitas tersebut adalah aktifitas komunikasi dua arah yang tentunya dapat dikategorikan sebagai suatu kegiatan yang dapat menyebabkan terganggunya perhatian pengendara bermotor sehingga menjadi tidak konsentrasi. Namun apabila pengendara kendaraan bermotor menggunakan telepon hanya untuk mengaktifkan aplikasi GPS untuk memandu jalan menuju lokasi yang telah ditentukan dan sepanjang tidak menganggu konsentrasi dalam berkendara di jalan raya. Artinya tidak ada interaksi/komunikasi dua arah melalui telepon yang dapat mempengaruhi konsentrasi pengemudi kendaraan. 14) Bahwa perlu untuk menjadi perhatian bagi Para Pemohon, dalam sebuah pemberitaan di media dinyatakan sekitar 23.780 pengemudi diperkirakan tewas dalam kurun 2007 hingga 2013 karena berbicara dan mengirim SMS dengan ponsel sembari mengemudi. WHO telah membuktikan berbicara di smartphone dapat mengalihkan perhatian pengemudi, meskipun sudah menggunakan hands-free. Untuk setiap sejuta pengguna smartphone baru, diperkirakan kenaikan angka kematian sebesar 19 persen lantaran gangguan pengemudi. Pada 2013, sebanyak 7.890 orang meninggal dalam kecelakaan akibat gangguan dalam mengemudi. Dalam sebuah riset lain milik National Safety Council, terungkap bahwa sebanyak 1,4 juta kecelakaan terjadi ketika pengemudi berbincang lewat ponselnya. Sementara ribuan lainnya akibat pengemudi tengah asyik browsing saat berkendara Sumber:(http://www.plazainformasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=co m_content&view=article&id=3266:smartphone-lagi-penyebab-kecelakaantertinggi-di-jalan&catid=34:berita-baru&Itemid=53). 15) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sangatlah tidak tepat dan tidak berdasar. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf c UU LLAJ pengaturan dalam Pasal a quo dalam undang-undang a quo secara tegas justru memberikan jaminan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena undang-undang a quo bertujuan untu terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. 16) Bahwa sesuai ketentuan Pasal 28J UUD NRI 1945, DPR RI berpandangan bahwa meskipun Para Pemohon di dalam UUD NRI 1945 dijamin oleh konstitusi mengenai hak/dan kewenangan konstitusional nya, tetap saja hak tersebut juga dibatasi oleh hak asasi orang lain dimana UUD NRI 1945 juga menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain tersebut. Atas dasar Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, Para Pemohon yang beranggapan bahwa ketentuan a quo telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan Para Pemohon tidak berdasar. Bahwa justru ketentuan a quo UU LLAJ dibuat untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas keamanan dan keselamatan berlalu lintas tidak hanya bagi diri Para Pemohon yang bersangkutan tetapi juga bagi orang lain yang juga dijamin perlindungan, keamanan, dan keselamatannya. 17) Bahwa menurut Para Pemohon norma a quo ketika dibentuk belum terpikirkan oleh pembentuk undang-undang bahwa GPS akan terintegasi dengan smartphone seperti saat ini, sehingga norma a quo menjadi inskonstitusional. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon perlu untuk memahami ketika terjadi kekosongan hukum dimana perkembangan teknologi tersebut belum diatur dalam undang-undang, bukan berarti norma a quo inkonstitusional. Apabila perkembangan teknologi tersebut dipandang perlu diatur, maka seharusnya Para Pemohon mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Bahwa belum adanya pengaturan mengenai perkembangan teknologi yang terintegrasi dengan smartphone dalam UU LLAJ, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang a quo. Dengan kata lain apabila perlunya adanya pengaturan perkembangan teknologi khususnya integrasi GPS pada smartphone bagi pengguna dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari Ius Constituendum untuk masa yang akan datang, karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan undangundang a quo.

23/PUU-XVI/2018

Penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945