Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

35/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitutional : Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya sebagai berikut: Bahwa klaim sepihak dari Organisasi Advokat seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), Kongres Advokat Indonesia (KAI), dll quodnon; yang mengaku dirinya berwenang melaksanakan wewenang yang diatur Undang- Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, quodnon, secara konstitusional tidak benar serta tidak mendasar, sebab telah merugikan hak konstitusional Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, yaitu: • Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, tidak mendapat kepastian hukum akan Organisasi Advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 • De jure, Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V telah menjadi objek pembinaan oleh Kongres Advokat Indonesia (K.A.I), oleh karena atau berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia (K.A.I) No. 08 yang dibuat Notaris Rini Syahdiana Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, pada 28 Oktober 2008 Sedangkan bagi Pemohon VI, Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum akan Organisasi Advokat yang sah dan berwenang untuk: • Mengangkat Pemohon VI sebagai Advokat • Mengusulkan Pemohon VI mengikuti sumpah di Pengadilan Tinggi • Menerima Pemohon VI sebagai anggota Organisasi Advokat (vide perbaikan permohonan hlm. 15, angka 8) Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut: Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28J ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: A. Putusan Sela 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Putusan Sela Pemohon. Memerintahkan semua Organisasi Advokat, selain PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI), selama uji materi terhadap frase “Organisasi Advokat” dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),(2),(4),(5),(6) dan (7), Pasal 27 ayat (1),(3) dan (5), Pasal 28 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 29 ayat (1),(2),(4) dan (5), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan (4),Pasal 33, dalam penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat berlangsung, berhenti: • Menyelengarakan pendidikan terhadap calon Advokat; • Melakukan pengangkatan terhadap Advokat; • Mengajukan permohonan pengambilan sumpah Advokat kepada Pengadilan Tinggi; dan B. Pokok Permohonan 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon; 2. Menyatakan frase “Organisasi Advokat” yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),(2),(4),(5),(6) dan (7), Pasal 27 ayat (1),(3) dan (5), Pasal 28 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 29 ayat (1),(2),(4) dan (5), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan (4),Pasal 33, dalam penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2)Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) merupakan satu-satunya Organisasi Profesi Advokat yang berwenang melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat 3. Memerintah pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Atau bilamana Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Legal Standing : Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu: a. Perorangan warga Negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga Negara. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari Para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: 1) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Pemohon I s/d V : Bahwa Para Pemohon dalam dalil perbaikan permohonannya menyatakan memiliki hak konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang pada pokoknya mengamanatkan hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Bahwa hak konstitusional Para Pemohon tersebut sama sekali tidak terhalangi dan tidak dikurangi dengan berlakunya ketentuan a quo UU Advokat, karena pasal-pasal a quo UU Advokat yang dimohonkan pengujian tidak ada satu pasalpun yang melarang untuk berserikat, berkumpul maupun berorganisasi. Pemohon VI: Pemohon VI sebagai wiraswasta dan belum berprofesi sebagai advokat tidak memiliki kepentingan hokum dengan ketentuan pasal a quo UU advokat. Bahwa UU Advokat sebagaimana yang Pasal-Pasalnya dimohonkan pengujian pada pokoknya mengatur tentang Advokat dan Organisasi Advokat. Atas dasar ketentuan UU Advokat tersebut, Pemohon VI tidak memiliki hak konstitusional dalam pengujian UU a quo, karena hak konstitusional yang di dalilkan oleh Pemohon VI sama sekali tidak terkait dengan ketentuan Pasal a quo UU Advokat. 2) Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Pemohon I s/d V: Bahwa Para Pemohon selaku Advokat dan Konsultan Hukum hanya mengemukakan klaim sepihak dari Organisasi Advokat seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), Kongres Advokat Indonesia (KAI), dll quodnon; yang mengaku dirinya berwenang melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat, quodnon, secara konstitusional tidak benar serta tidak mendasar, sebab telah merugikan hak konstitusional Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V atas kepastian hukum. Bahwa dalil Para Pemohon tersebut bukan kerugian yang konkret tetapi hanya berupa asumsi karena Para Pemohon belum dapat membuktikan kerugian konstitusionalnya. Dengan demikian tidak ada hak konstitusional Para Pemohon yang dirugikan. Pemohon VI: Bahwa begitupun halnya dengan Pemohon VI yang berprofesi wiraswasta, hanya mengemukakan tidak mendapatkan kepastian hukum akan Organisasi Advokat yang sah dan berwenang untuk: • Mengangkat Pemohon VI sebagai Advokat • Mengusulkan Pemohon VI mengikuti sumpah di Pengadilan Tinggi • Menerima Pemohon VI sebagai anggota Organisasi Advokat Bahwa dalil tersebut hanya kekhawatiran dan asumsi dari Pemohon VI sendiri, karenanya tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon VI. Bahwa anggapan Pemohon VI merasa dirugikan karena belum diangkat dan diusulkan sebagai Advokat adalah tafsir Pemohon VI sendiri. Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon VI tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma pasal a quo. Karenanya Pemohon VI tidak mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU Advokat. 3) Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya berupa anggapan tidak mendapat kepastian hukum akan Organisasi Advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003. Bahwa atas dalil tersebut, Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Artinya Pemohon I sampai dengan Pemohon V tetap dapat menjalankan profesinya sebagai Advokat dan Konsultan Hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Dan Pemohon VI sebagai calon Advokat tetap dapat menjalankan proses pengangkatan dan sumpah sebagai Advokat kapanpun pada Organisasi Advokat yang ada. 4) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa oleh karena tidak adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau potensial akan terjadi sebagaimana telah dikemukakan diatas, sebab Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian maka sudah jelas bahwa tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 5) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan dengan berlakunya pasal a quo UU Advokat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Para Pemohon sebagai Advokat dan Konsultan Hukum bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma UU Advokat. Selain itu, dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon tidak ada kaitan antara hak konstitusional Para Pemohon tersebut dengan berlakunya Pasal a quo UU Advokat dan juga tidak ada kerugian hak konstitusional Para Pemohon, baik secara aktual maupun potensial, serta seandainya pun permohonan dikabulkan tidak akan berpengaruh apa pun kepada Para Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Putusan MK mengenai pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang- undang. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Bahwa DPR-RI berpandangan bahwa pandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection)”. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI juga menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara : 1) Bahwa Para Pemohon mendalilkan: “Bahwa, hak konstitusional Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V a quo tidak mendapat jaminan kepastian hukum, dan tidak mendapat jaminan dan perlindungan hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28J ayat (2) UUD RI 1945, oleh karena berlakunya frase “Organisasi Advokat” yang diatur dalam Pasal a quo UU Advokat (vide perbaikan permohonan, hlm. 18, angka 5) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI memberikan pandangan tidak ada hak konstitusional Para Pemohon yang dirugikan oleh Pasal-Pasal a quo UU Advokat, karena Para Pemohon sampai saat ini masih berprofesi sebagai Advokat tidak terhalangi dan terkurangi dalam melakukan aktifitasnya sebagai Advokat, maka tidak ada hak-hak konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal a quo UU Advokat. 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan: Masalah inkonstitusionalitas frase “Organisasi Advokat” dalam ketentuan Pasal a quo UU Advokat adalah tidak lengkap (complete), serta tidak memenuhi doktrin kepastian hukum dan bersifat multitafsir. (vide perbaikan permohonan hlm. 24. Angka 14 dan hlm.27, angka 18) Bahwa Para Pemohon keliru dalam memaknai frasa “Organisasi Advokat” yang ada di dalam UU Advokat. Frasa “Organisasi Advokat” diatur di beberapa pasal dalam UU Advokat, maka Para Pemohon seyogyanya perlu memahami UU Advokat tidak secara parsial tetapi secara komprehensif karena terdapat keterkaitan anatara pasal-pasal dalam UU Advokat sehingga Para Pemohon dapat memahami makna yang terkandung dalam UU Advokat agar tidak menimbulkan multitafsir. 3) Bahwa adapun terhadap anggapan Pemohon atas pengujian hak Advokat untuk membentuk Organisasi Advokat berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang pada pokoknya mengatur kewajiban setiap orang untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, maka perlu diperhatikan, bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 menekankan adanya pembatasan yang "ditetapkan dengan undang-undang". Adanya ketentuan pembatasan hak konstitusi yang ditetapkan dalam UU Advokat untuk menjalankan ketentuan Pasal 28 UUD Tahun 1945 justru akan membuat UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945. 4) Bahwa berkaitan dengan anggapan Para Pemohon mengenai keberadaan Organisasi Advokat perlu dibatasi berdasakan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 adalah tidak berdasar. Mengingat kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh ketentuan Pasal 28 UUD Tahun 1945. Hal tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 14/PUU-I/2006 dalam pengujian UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, yang dalam pertimbangan hukumnya sebagai berikut : bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang arahnya menuju “single bar organization”, tetapi dari fakta persidangan menurut keterangan PERADI dan delapan organisasi yang mengemban tugas sementara Organisasi Advokat sebelum organisasi dimaksud terbentuk [vide Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat], yakni Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI, AKHI, HKHPM, dan APSI, kedelapan organisasi pendiri PERADI tersebut tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi Advokat, yaitu dalamhal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat [vide Pasal 26 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1) huruf f, Pasal 2 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), dan Pasal 9 Ayat (1) UU Advokat], secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI yang telah terbentuk. Adapun kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Nomor 019/PUU-I/2003) 5) Bahwa Para Pemohon dalam Petitum Permohonannya mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk “Menyatakan frase “Organisasi Advokat” yang diatur dalam Pasal-Pasal a quo UU Advokat bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) merupakan satu-satunya Organisasi Profesi Advokat yang berwenang melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat” Bahwa Petitum Para Pemohon tersebut yang meminta kepada mahkamah konstitusi merupakan perumusan norma baru yang menjadi kewenangan Pembentuk Undang-Undang. Merujuk pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 85/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada Senin, 7 Desember 2015, Mahkamah menyatakan : "[3.16] ..., Mahkamah berpendapat bahwa dalam perkara pengujian Undang-Undang, Mahkamah tidak boleh bertindak sebagai pembentuk Undang-Undang yang merumuskan suatu ketentuan atau norma hukum dari sebelumnya tidak ada menjadi ada (positive legislator). Fungsi Mahkamah sebagai penjaga UUD 1945 adalah untuk memastikan bahwa Undang- Undang yang disusun oleh pembentuk Undang-Undang tidak melanggar UUD 1945, .... Mahkamah tidak berwenang untuk mengambil alih tugas pembentuk Undang-Undang dalam hal merancang Undang- Undang meskipun menurut Mahkamah, terdapat hal tertentu yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang namun tidak diatur oleh pembentuk Undang-Undang. " 6) Bahwa pengujian terhadap UU Advokat telah beberapa kali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, yang beberapa diantaranya menyatakan menolak permohonan Pemohon. Bahwa beberapa ketentuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon telah diputus dalam Putusan Nomor 019/PUU-I/2003, 014/PUU-IV/2006, 103/PUU- XI/2013 dan 32/PUU-XIII/2015 yang menyatakan menolak Permohonan dengan batu uji ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. 7) Bahwa mengenai pengujian Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 32 ayat (3)UU Advokat, telah diujikan dalam Perkara Nomor 019/PUU- I/2003, 014/PUU-IV/2006, 112/PUU-XII/2014, 36/PUU- XIII/2015 dan 32/PUU-XIII/2015 dengan batu uji adalah ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan menolak. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK seharusnya pengujian ketentuan a quo UU Advokat tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama telah melanggar asas ne bis in idem. c. Latar Belakang Pembahasan UU Advokat Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang-undang a quo sebagai berikut: PANJA RUU ADVOKAT (SENIN, 13 FEBRUARI 2003) Pemerintah: Jadi memang ini proses dan waktu yang begitu banyak faktanya memang terdapat 7 organisasi sekarang dan itu yang saya coba supaya bersatu dan mulai berhasil dengan ujian Advokat kemarin dengan membuat kode etik saya harapkan bisa berkembang itu, bah ada persamaan itu bahwa mereka semuanya sarjana hukum dan yang membedakan hanya bidangnya saja, tetapi dilihat secara faktanya ada yang dilihat lebih khusus lagi sekarang yaitu dalam bursa efek inim nah itu persoalannya Pimpinan Rapat: Tadi apa yang disampaikan oleh Pak Logan, perlu memang ada penegasan dalam UU ini yang pertama tadi penjelasan Pemerintah bahwa UU ini mengatur tentang Advokat jadi itu intinya organisasi adalah bagian dari UU ini tentunya, oleh karena itu saya langsung masuk pada usul rumusan saja biar tegas ayat (1) Advokat, kita mulai saja dari Advokat, karena UU yang mengatur Advokat membentuk satu Organisasi Advokat. lanjutnya... jadi dia tidak ni seperti didefinisi juga ni ayat Pak Advokat membentuk satu Organisasi Advokat yang bebas mandiri sesuai ketentuan UU dengan Maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat. Bahwa berdasarkan pandangan hukum tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima; 3. Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan; 4. Menyatakan frase “Organisasi Advokat” yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),(2),(4),(5),(6) dan (7), Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5), Pasal 28 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 29 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 30 ayat (1), Pasal 32 ayat (3) dan (4), Pasal 33, Penjelasan Pasal 3 huruf f, dan Penjelasan Pasal 5 ayat (2)UU Advokat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan frase “Organisasi Advokat” yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),(2),(4),(5),(6) dan (7), Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5), Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 29 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 30 ayat (1), Pasal 32 ayat (3) dan (4), Pasal 33, Penjelasan Pasal 3 huruf f, dan Penjelasan Pasal 5 ayat (2)UU Advokat tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

35/PUU-XVI/2018

Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1),(2),(4),(5),(6) dan (7), Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5), Pasal 28 ayat (1),(2) dan (3), Pasal 29 ayat (1), (2), (4) dan (5), Pasal 30 ayat (1), Pasal 32 ayat (3) dan (4), Pasal 33, Penjelasan Pasal 3 huruf f, dan Penjelasan Pasal 5 ayat (2)UU Advokat

Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945