Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

24/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional Pemohon: Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya UU a quo yang pada intinya sebagai berikut: 1. Bahwa berlakunya Lampiran UU Pembentukan Kab Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara, berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menggambarkan Pulau Kakabia dengan sebutan Pulau Kawi-Kawia sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Buton Selatan adalah bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan (selanjutnya disebut dengan Permendagri Pulau Kakabia). (Vide Perbaikan Permohonan hlm 6) 2. Bahwa Lampiran UU Pembentukan Kab Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara yang bertentangan dengan Permendagri No. 45/2011 oleh karenanya bertentangan pula dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi (selanjutnya disebut UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi) sebagai Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Selayar. (Vide Perbaikan Permohonan hlm 6 Poin 12) 3. Bahwa pertentangan antara ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum, yang merugikan hak konstitusional pemerintahan daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, yang dengan seketika kehilangan hak-haknya dalam menjalankan pemerintahan di Pulau Kakabia Kabupaten Kepulauan Selayar. (Vide Perbaikan Permohonan hlm 6 Poin 12) Bahwa Lampiran UU Pembentukan Kab Buton Selatan dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi Kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Pasal 28D ayat (1) (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bahwa Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa Peta Wilayah Kabupaten Buton Selatan, sepanjang yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis mempertimbangkan berbeda, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Legal Standing: Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan warga Negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga Negara. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Bahwa terhadap legal standing Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya hanya mendalilkan ketentuan Lamp UU Pembentukan Kab Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tanpa menguraikan secara jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon seperti apa yang terlanggar, karena Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 adalah mengatur mengenai pembagian daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta asas otonomi dan tugas pembantuan yang dimiliki oleh Pemerintah daerah. Begitupun halnya dengan Pasal 22A UUD NRI tahun 1945 adalah pengaturan mengenai tata cara pembentukan undangundang dengan undang-undang. In casu batu uji Pasal 18 dan 22A UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur hak/dan atau kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak ada relevansinya. b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa dalam perbaikan permohonannya, Para Pemohon menyebutkan adanya hak konstitusional Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar hilang dalam menjalankan pemerintahan di Pulau Kakabia Kabupaten Kepulauan Selayar. Dalam hal ini DPR RI berpendapat bahwa Para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian hak konstitusionalnya dengan jelas dan terang terhadap persoalan norma yang diuji. c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa dalam perbaikan permohonannya Para Pemohon menjelaskan legal standing nya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai Bupati Kabupaten Selayar dan Kepala DPRD Kabupaten Selayar yang merasa wilayah administrasinya di Pulau Kakabia hilang, karena Pulau Kakabia masuk dalam wilayah Kabupaten Buton Selatan berdasarkan lampiran undang-undang a quo. Dasar Para Pemohon menganggap Pulau Kakabia masuk dalam wilayah Kabupaten Selayar adalah berdasarkan UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi dan Permendagri Pulau Kakabia. DPR RI dalam hal ini memandang penjelasan Para Pemohon adalah keliru sehingga tidak akan menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial dapat terjadi. Bahwa penjelasan eksplisit mengenai Pulau Kakabia masuk wilayah Kabupaten Selayar ada pada Pasal 3 Permendagri Pulau Kakabia, dan bukan pada UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi yang hanya mengatur secara pokok pembagian wilayah tanpa menyebut Pulau Kakabia sama sekali. d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa DPR RI berpendapat jelas dengan tidak adanya hak konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi maka juga tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang diuji karena dasar hukum yang menjadi dalil Para Pemohon sudah tidak lagi berdasar. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa dengan itu DPR RI memandang lampiran undang-undang a quo telah disesuaikan dengan pergantian undang-undang pemerintahan daerah dan amandemen UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, karena lampiran undang-undang a quo telah mengikuti hukum positif di Indonesia dan tidak akan membawa kerugian bagi Para Pemohon. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan: 1) Bahwa pokok persoalan dalam perkara ini adalah keberadaan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia pada Peta Wilayah dalam Lampiran UU Pembentukan Kab Buton Selatan yang menurut Para Pemohon terdapat pertentangan antara ketentuan peraturan perundangundangan yaitu antara UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Permendagri No. 45 Tahun 2011 tentang Wilayah Admnistrasi Pulau Kakabia sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. 2) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang mengujikan pasal a quo terhadap Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengenai pemerintahan daerah di Indonesia yang dibagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Para Pemohon menyatakan bahwa lampiran undang-undang a quo yang berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, oleh karena Pulau Kakabia adalah wilayah Kabupaten Selayar, berdasarkan UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi, dan dipertegas dengan Permendagri Pulau Kakabia (Vide Perbaikan Permohonan, halaman 16, nomor 13 angka 1). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa pada dasarnya tidak ada satupun pasal dalam UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi yang menyatakan Pulau Kakabia merupakan bagian dari Kabupaten Selayar maupun Kabupaten Buton Selatan, karena hanya mengatur secara pokok pembentukan daerah tingkat II saja. Selain itu, UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi yang menjadi dasar Para Pemohon dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (vide Ketentuan Menimbang) yang sudah berkali-kali diganti, yang saat ini menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah memang struktur pemerintahan daerah masih dibagi dalam tingkat-tingkat, namun pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah struktur pemerintahan daerah hanya dibagi menjadi provinsi dimana provinsi dibagi lagi menjadi kabupaten dan kota, serta beberapa daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan oleh undang-undang. Struktur pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sesuai dengan amandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18 ayat (1). 3) Bahwa menjadi tidak berdasar jika Para Pemohon masih menggunakan dasar hukum UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang telah diganti tersebut dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diamandemen. Apalagi dalam hukum dikenal asas lex posterior derogat legi priori, yang artinya peraturan yang baru dapat mengesampingkan peraturan yang lama. Oleh karena itu, dasar Para Pemohon yang menggunakan turunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang telah diganti tersebut dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diamandemen, harus dikesampingkan sejak adanya undang-undang pemerintahan daerah yang baru dan amandemen terhadap Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Secara tidak langsung, penentuan Pulau Kakabia yang didasarkan Para Pemohon pada UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi untuk sudah tidak relevan lagi. Justru lampiran undang-undang a quo yang mengikuti stuktur perubahan pemerintahan daerah telah sejalan dengan amanat konstitusi dan undang-undang pemerintahan daerah yang terus berganti. 4) Bahwa dalam perbaikan permohonannya, Para Pemohon mendalilkan ; - Dengan adanya lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan adalah mengganggu otonomi daerah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Selayar, dimana kebijakan-kebijakan yang seharusnya dapat diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar berkaitan dengan program peningkatan mutu pariwisata laut, akan tidak berjalan maksimal pelaksanaannya jika Pulau Kakabia sebagai salah satu icon pariwisata, tidak lagi masuk dalam wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar dan ini dapat berdampak besar kepada program-program kesejahteraan masyarakat yang berhubungan dengan pariwisata. (Vide, Perbaikan Permohonan, Hlm. 16 Poin 2) - Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan juga telah diberlakukan dengan mengabaikan perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dimana Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai Pemerintah Daerah yang dikurangi wilayahnya dalam lampiran peta wilayah tersebut, tidak ditempuh prosedur sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku, sebagaimana perlakuan terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang dikurangi wilayahnya untuk dijadikan wiayah Kabupaten Buton Selatan. (Vide, Perbaikan Permohonan, Hlm. 19 Poin 4) Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa otonomi daerah dan tugas pembantuan harus yang diamanatkan oleh amandemen Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus selaras dengan struktur pemerintahan daerah yang diamanatkan oleh undang-undang pemerintahan daerah saat ini dan amandemen Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, bukan didasarkan pada undang pemerintahan daerah masa lampau (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah) yang telah diganti berkali-kali dengan dasar Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diamandemen, sebagaimana didalikan Para Pemohon berdasarkan UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi. Selain itu, lampiran undang-undang a quo telah mendapatkan persetujuan berupa tandatangan dari pihak-pihak terkait yaitu Bupati Buton, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Buton, Walikota Bau Bau, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bau-Bau, dan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara yang wilayah cakupannya berbatasan dengan daerah otonom baru pada peta yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (vide Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 16 Tahun 2014). Dengan demikian, permasalahan ini bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan suatu sengketa perbatasan yang seharusnya dapat diselesaikan nantinya dengan suatu penetapan Menteri Dalam Negeri, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (3) UU 16 Tahun 2014 bahwa, “Penetapan batas wilayah Kabupaten Buton Selatan secara pasti di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri paling lambat 5 (lima) tahun sejak peresmian Kabupaten Buton Selatan.” Dengan demikian masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah di lapangan sampai tahun 2019, dengan cukup melalui penetapan Menteri Dalam Negeri. 5) Bahwa terhadap hal tersebut sebelumnya juga telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 016/PUU-III/2005 bertanggal 19 Oktober 2005 yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari adanya pemekaran wilayah sehingga apa yang didalilkan oleh Para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum, yang dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut: “Sekalipun secara faktual memang terjadi, tetapi hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya pemekaran wilayah. Konsekuensi demikian di samping bukan merupakan kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK juga bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menyebabkan Pemohon kehilangan kedudukan dan haknya untuk diperlukan sama dalam bidang hukum dan pemerintahan, atau hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai keadilan, maupun hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan hak untuk mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif” 6) Terhadap dalil Para Pemohon sebagaimana berikut: Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Permendagri No. 45/2011. (vide, Perbaikan Permohonan Hlm. 8 Poin 8) Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa perlu dipahami, pembentukan peraturan perundangundangan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12 Tahun 2011) yang didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai negara hukum harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan system hukum nasional. Ruang lingkup materi muatan dari UU 12 Tahun 2011 tidak saja undang-undang tetapi mencakup pula peraturan perundang-undangan lainnya selain UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR. Secara umum UU 12 Tahun 2011 memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis antara lain: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang- undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya. 7) Bahwa sesuai Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 terdapat jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, peraturan menteri merupakan jenis peraturan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Sebagaimana Para Pemohon menjelaskan bahwa Permendagri Pulau Kakabia merupakan amanat dari UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi. Sebelumnya DPR RI telah menjelaskan bahwa pembentukan daerah di Indonesia sudah tidak lagi dibagi tingkat-tingkat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 20111 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, tidak relevan jika Para Pemohon mendasarkan pada Permendagri Pulau Kakabia, yang merupakan amanat dari UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sulawesi. Apalagi menganggap lampiran undang-undang a quo yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang, namun dipertentangkan dengan suatu permendagri. Padahal dalam hukum dikenal asas lex superior derogat legi inferiori, yang artinya peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan di bawahnya. Intinya tidak sebanding atau tidak apple to apple menyatakan lampiran UU 16 Tahun 2014 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang a quo bertentangan dengan Permendagri Pulau Kakabia, padahal permendagri jelas tingkatnya di bawah undang-undang. 8) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan: Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan adalah merupakan penjelasan yang telah memperluas norma dan/atau memuat norma baru yang bertentangan dengan pengertian norma yang ada dalam batang tubuh UU. (vide, Perbaikan Permohonan Hlm. 18 Poin 3) Dalam hal ini DPR RI berpandangan bahwa penjelasan undang-undang dengan lampiran adalah hal yang berbeda. Bahwa berdasarkan UU 12 Tahun 2011, lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang memuat antara lain uraian, daftar, table, gambar, peta dan sketsa. Oleh karena itu suatu peraturan perundang-undangan yang memerlukan suatu lampiran dapat memuat lampiran sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri sehingga lampiran harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal dalam batang tubuh peraturan perundangundangan, dan memiliki kekuatan mengikat layaknya peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian lampiran suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan sehingga sebuah lampiran yang dapat memuat uraian lebih lanjut dari uraian atau norma yang sudah ada di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. 9) Bahwa pada Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan adalah sesuai dengan asas kejelasan rumusan dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang mana lampiran tersebut menjadi bagian dari UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah yang mencakup Pulau Kakabia/Kawi-Kawia didalamnya, sehingga tidak benar apabila lampiran ini memperluas norma dan/atau memuat norma baru yang bertentangan dengan UU a quo. 10) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan: Lampiran UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara berupa peta wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 karena Pulau Kakabia adalah wilayah yang telah dibagikan kepada wilayah administrasi pemerintahan daerah kabupaten kepulauan selayar, berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi yang menjadi UU Pembentukan Kabupaten Selayar. Terhadap dalil Para Pemohon tersebutm DPR RI berpandangan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.32/PUU-X/2012 sebelumnya telah menyatakan hal yang sama terkait bahwa pembentukan daerah baru dengan adanya pemekaran daerah yang merupakan pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya, sebagai berikut: “Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang’. Adapun maksud kata ‘dibagi’ dalam Pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata ’dibagi’ karena untuk menghindari kata ’terdiri dari’ atau ’terdiri atas’. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal; Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. Wilayah provinsi/kabupaten/kota bersifat relatif. Artinya tidak menjadi wilayah yang mutlak dari sebuah provinsi/kabupaten/kota yang tidak dapat diubah-ubah batas-batasnya. Hal demikian tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844, selanjutnya disebut UU Pemda) bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan alasan tertentu bisa berubah dengan adanya penggabungan atau pemekaran sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pemda yang menyatakan, ‘Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih’ ”. Oleh karena itu berdasarkan uraian tersebut diatas, DPR RI berpendapat bahwa penetapan wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian wilayah Kabupaten Buton Selatan adalah tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, karena hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan bukan merupakan kewenangan Mahkamah karena berkaitan dengan persoalan penerapan atau pelaksanaan undang-undang.

24/PUU-XVI/2018

Lampiran Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945