Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

26/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional Pemohon: 1. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2018, konsekuensi dalam pasal tersebut adalah bahwa DPR RI mempunyai kewenangan untuk memanggil paksa setiap orang termasuk Pemohon untuk hadir dalam rapat DPR RI dalam hal apapun tanpa dikaitkan dengan pelaksanaan hak angket DPR RI. Tindakan mana berpotensi akan merugikan hak konstitusional bekenaan dengan hak, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 10 angka 1 huruf a). 2. Bahwa Pemohon beranggapan Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 memiliki konsekuensi bahwa DPR RI melalui MKD dapat memproses secara pidana terhadap siapapun orang yang dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI. Pasal ini dianggap potensial bagi DPR RI untuk mengkriminalisasi siapapun juga, termasuk Para Pemohon yang akan menyampaikan aspirasi atau kritikan kepada DPR RI. Potensi kerugian hak konstitusional Para Pemohon berkenaan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta kebebasan mengeluarkan pikirandan pendapat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 10 dan 11 angka 1 huruf b). 3. Bahwa dalam permohonannya Pemohon mengemukakan Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 dalam frasa “setelah mendapat pertimbangan dari MKD” dapat berpotensi menghambat atau bahkan menghentikan mekanisme persetujuan presiden terkait pemanggilan atau permintaan keterangan kepada anggota DPR RI sehubungan dengan terjadinya tindak pidana. Padahal prinsip negara hukum yaitu, equality before the law adalah setiap warga negara berkedudukan sama, setara dan sederajat di depan hukum. Hal ini mengakibatkan potensi kerugian hak konstitusional para pemohon, terkait dengan hak konstitusional para pemohon atas persamaan kedudukan di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Vide Permohonan hlm. 11 angka 1 huruf C). Legal Standing: a. Pemohon :  Pemohon I, II, III, dan IV 1) Bahwa Pemohon I, II, III, dan IV berkedudukan sebagai badan hukum privat berupa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang dalam hal ini merupakan Organisasi Kemasyarakatan. Merujuk pada ketentuan AD/ART PMKRI Pasal 5 dan 6 yang memuat tentang visi misi dan tujuan PMKRI yang antara lain, mewujudkan keadilan sosial, kemanusiaan, perdamaian, serta memperjuangkan kepentingan bangsa dan Negara dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3) Bahwa Pemohon I, II, III, dan IV berkedudukan sebagai badan hukum privat dalam menjalankan visi misi dn tujuan PMKRI sama sekali tidak ada memiliki hubungan hokum dan kepentigan serta tidak adanya pertautan dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, karena Pemohon I, II, III, dan IV tetap dapat menjalankan aktifitasnya mewujudkan visi misi dan tujuan PMKRI tidak terhalangi, tidak terkurangi dan tidak terlanggar dengan berlakunya norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 yang mengatur tata cara pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI. Bahwa kepentingan Pemohon I, II, III, dan IV tetap dijamin dan dilindungi oleh Pasal 27, 28, 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2018, Pemohon tidak mengalami kerugian sebagaimana yang telah di jabarkan Pemohon a quo di dalam kedudukan hukum (legal standing) di permohonannya. Pemohon V, VI, VII, VIII, dan IX 1) Bahwa Pemohon V, VI, VII, VIII, dan IX adalah perorangan WNI yang berprofesi sebagai Swasta, sebagaimana Pemohon I, II, III, dan IV, bahwa Pemohon V, VI, VII, VIII, dan IX sama sekali tidak memiliki hubungan hukum dan kepentingan serta tidak adanya pertautan dengan pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. Oleh karena pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 mengatur mekanisme pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI. Dengan demikian DPR RI tidak serta merta memanggil secara paksa kepada Pemohon V, VI, VII, VIII, dan IX sebagai Swasta karena tidak ada kepentingannya dengan pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. 2) Bahwa Pemohon V, VI, VII, VIII, dan IX sebagai perorangan WNI yang berkedudukan sebagai Swasta tetap dijamin hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya, serta melakukan kegiatannya dan sama sekali tidak terhalangi, tidak dilanggar hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk melakukan aktifitasnya dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018.Dengan demikian Pemohon a quo tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional. b. Batasan Kerugian Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Pemohon Perkara 26/PUU-XVI/2018 1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), dan 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), dan 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut yang memberikan jaminan perlindungan kemerdekaan berserikat berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, jaminan perlindungan kepastian hukum, dan perlindungan dari ancaman rasa ketakutan kepada Pemohon, tidak ada relevansinya dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. 2) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa Pemohon yang berkedudukan sebagai badan hukum privat, dan perorangan WNI selaku swasta dalam permohonan a quo, hanya menjelaskan mengenai masalah yang berkaitan dengan adanya potensi/kekhawatiran untuk dimintai keterangan dengan cara pemanggilan paksa, dan kekhawatiran dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI apabila pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 diberlakukan. Bahwa sebagaimana telah di kemukakan di atas, tidak ada relevansinya atau tidak adanya pertautan antara Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), dan 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, maka sudah jelas dan terbukti tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan. 3) Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa sebagaimana telah diuraikan diatas Pemohon hanya menjelaskan mengenai masalah yang berkaitan dengan adanya potensi/kekhawatiran untuk dimintai keterangan dengan cara pemanggilan paksa, dan kekhawatiran dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI apabila pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 diberlakukan. Dan juga telah dikemukakan di atas bahwa sudah jelas dan terbukti tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan karena tidak ada relevansinya atau tidak adanya pertautan antara Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), dan 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dalil oleh Pemohon dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. Dengan demikian terbukti tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2018. 4) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa karena terbukti tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2018, maka sudah jelas pula tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dikemukakan Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. Bahwa syarat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan undang-undang a quo harus terdapat adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan. In casu dalam permohonan a quo Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan berlakunya undang-undang a quo, karena tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan. 5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa oleh karena berlakunya pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 sama sekali tidak mengakibatkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi Pemohon, maka sudah dapat dipastikan tidak akan terjadi adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan berpengaruh apapun kepada Pemohon. Oleh karena itu, masalah ini bukan dikarenakan konstitusionalitas rumusan pasal-pasal a quo. Pokok Perkara: 1. PANDANGAN UMUM a) Bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, penyelenggaraan kedaulatan rakyat menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah oleh DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang terdiri dari anggota DPR RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia. DPR RI sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat tentu dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya harus sejalan menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar itu DPR RI dalam membentuk undang-undang berdasarkan pada amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjamin dan melindungi hak asasi seperti: hak kesamaan kedudukan dalam hukum; hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif; ha katas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Artinya lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus berdasarkan hukum yang dibatasi oleh undang-undang. Begitu pula segala warga negara wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi (Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur- Unsurnya:Azhari:hlm.30). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Teori Perundang-Undangan Indonesia: A. Hammid S.Attamimi: hlm.8). Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah (Administrative Law: H.W.R.Wade: hlm.6). c) Bahwa NKRI ditegakkan sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengandung makna bahwa Konstitusi meletakan undang-undang merupakan hukum yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan diindahkan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna menjamin dan melindungi serta memberi kepastian hukum yang adil atas hak asasi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI. Gagasan negara hukum yang dianut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini menegaskan adanya pengakuan akan prinsip supremasi hukum (Supremacy of Law) dan asas legalitas (Due Process of Law). Atas dasar itu, setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus didasarkan pada aturan atau “rules and procedures” (regels). Oleh karena itu berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut asas supremasi hukum (Supremacy of Law) dan asas legalitas (Due Process of Law) sebagai negara hukum, maka UU No. 2 Tahun 2018 merupakan peraturan pelaksanaan dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karenanya pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 merupakan ketentuan yang konstitusional. d) Bahwa bukti undang-undang a quo adalah peraturan pelaksanaan dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dilihat dalam Pasal 20A yang mengatur fungsi dan hak konstitusional DPR RI khususnya dalam Pasal 20A ayat (4) yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.” Bahwa DPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPR RI untuk membentuk undang-undang, dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR RI dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. e) Bahwa pembentukan undang-undang a quo sudah sejalan dengan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa visi, misi, dan tujuan dibentuknya UU No. 2 Tahun 2018 sebagai Perubahan Kedua dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No. 17 Tahun 2014) adalah untuk menciptakan penguatan lembaga perwakilan rakyat yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi Pancasila serta menyerap dan menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah dalam rangka menjamin dan melindungi hak asasi warga negara untuk menyampaikan pikiran baik lisan maupun tertulis berupa kritik dan pendapatnya kepada DPR RI sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dalam kerangka NKRI. f) Bahwa Pasal 20A ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang melandasi dibentuknya UU No. 2 Tahun 2018, adalah merupakan open legal policy pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada angka [3.17] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.” Pandangan hukum yang demikian juga sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan: “Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. Bahwa oleh karena itu, pasal-pasal a quo selain merupakan norma yang berlaku umum, juga merupakan norma sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). UU No. 2 Tahun 2018 juga merupakan delegasi kewenangan langsung dari Pasal 20 dan Pasal 20A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, perlu kiranya Para Pemohon memahami bahwa terkait hal yang dipersoalkan oleh Para Pemohon bukan merupakan objectum litis bagi pengujian undang-undang, namun merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). Pokok Perkara: - Pengujian Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan huruf c, dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2018 1) Bahwa untuk memahami rumusan ketentuan Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan huruf c, dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2018 dipandang perlu untuk menjelaskan konsep kedaulatan rakyat yang dianut dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konsep kedaulatan rakyat tersebut tidak dapat dilepaskan dengan konsep NKRI sebagai negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, daulat/mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk DPR RI sebagai salah satu lembaga legislatif. 2) Bahwa DPR RI sebagai lembaga penyelenggara kedaulatan rakyat (daulat rakyat) memiliki fungsi yang sangat penting dan besar berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Bahwa menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedudukan DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan diletakan sebagai fungsi pendukung sekaligus satu kesatuan dengan pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI sebagai alat kelengkapan negara yang melaksanakan fungsi pengawasan dalam kaitannya dengan penguatan kewenangan DPR RI adalah memberikan ruang dan waktu yang terbuka untuk berinteraksi dengan rakyat dalam menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dalam kerangka DPR RI sebagai representasi rakyat. 3) Bahwa fungsi pengawasan tersebut menunjukan bahwa kewenangan DPR RI yang diberikan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dengan ketentuan pemanggilan paksa merupakan ketentuan yang lebih luas dibandingkan dengan kewenangan kewenangan POLRI, Kejaksaaan dan KPK sebagai aparat penegak hukum yang juga memiliki fungsi pemanggilan paksa. Pemanggilan paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum hanya dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana, tetapi pemanggilan paksa oleh DPR RI dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi konstitusional DPR RI sebagai wakil rakyat yaitu terhadap seluruh kegiatan penyelenggaraan negara dan pemerintahan terkait dengan melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan serta fungsi representasi rakyat dalam rangka menjalankan kedaulatan rakyat. 4) Bahwa Pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 diperlukan sebagai penyeimbang untuk mengontrol absolutisme kekuasaan (eksekutif) sebagai landasan yuridis DPR RI untuk melakukan pengawasan kepada Pemerintah. Dominasi kekuasaan yang saat ini masih berada pada ranah eksekutif, semakin menegaskan perlunya upaya pemanggilan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR RI terhadap setiap orang dalam rapat DPR RI. Persoalan ketatanegaraan dan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks tentunya harus diketahui oleh DPR RI melalui forum yang konstitusional di DPR RI. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk respon DPR RI terhadap permasalahan bangsa dan negara yang sedang terjadi atau adanya penyimpangan yang dilakukan oleh setiap orang dalam upaya memberikan alternatif penyelesaian berbagai permasalahan bangsa dan negara. 5) Bahwa Pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 diperlukan dalam rangka penguatan parlemen ditengah penguatan sistem presidensial serta untuk menjawab pengalaman DPR RI terhadap banyaknya ketidakhadiran orang/lembaga yang dipanggil oleh DPR RI dalam rapat DPR RI, bahkan lembaga negara yang merupakan Mitra Kerja DPR RI pun beberapa kali dipanggil oleh DPR RI namun tidak hadir. Kemudian tidak semua rekomendasi DPR RI dalam rapat juga ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Padahal pemanggilan oleh DPR RI butuh penanganan cepat untuk kepentingan rakyat yang diperlukan dalam rangka penyelesaian suatu permasalahan negara dan/atau pengambilan kebijakan/keputusan-keputusan negara yang menyangkut kepentingan negara. 6) Bahwa Pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 adalah bagian dari Bab III tentang DPR RI pada Bagian Ketiga mengenai Wewenang dan Tugas DPR. Bahwa wewenang dan tugas DPR RI pada pokoknya ialah menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Bahwa atas dasar itu ketentuan hak DPR RI untuk memanggil setiap orang dalam rapat DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (1) UU a quo adalah dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusional DPR RI khususnya fungsi pengawasan. 7) Bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR RI diberikan hak salah satunya adalah hak angket. Benar dalam Pasal 204, DPR RI dalam melaksanakan tugasnya dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan. Bahwa selain fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 204 dalam konteks pelaksanaan hak angket, sesuai dengan Pasal 20A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR RI juga melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf d, Pasal 73, Pasal 98 ayat (3) dan Pasal 227 UU No. 17 Tahun 2014 jo UU No. 2 Tahun 2018. Artinya terkait dengan ketentuan Pasal 73 UU No.2 Tahun 2018 DPR RI dalam melaksanakan wewenang dan tugas berkaitan dengan fungsi pengawasan tersebut berhak memanggil setiap orang untuk hadir dalam rapat DPR RI. Apabila instrumen pemanggilan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI hanya dibatasi dalam konteks pelaksanaan hak angket yaitu dengan membentuk Panitia Khusus, maka berdasarkan UU No. 2 Tahun 2018 dan Tatib DPR RI pengusulan hak angket dibatasi oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR RI dan lebih dari 1 (satu) fraksi serta dibatasi jangka waktu yang singkat yaitu harus melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR RI paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Sedangkan fungsi pengawasan diluar pelaksanaan hak angket dapat dilakukan oleh seluruh Alat Kelengkapan Dewan dan anggota DPR RI secara perorangan serta dilakukan dalam setiap masa sidang DPR RI dan masa reses oleh anggota DPR RI. Oleh karena itu sangat sulit memisahkan antara 3 (tiga) fungsi yang dimiliki oleh DPR RI untuk dilakukan pengawasan dalam rapat DPR RI, karena dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dapat dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undangundang, APBN dan kebijakan Pemerintah. 8) Bahwa pemanggilan oleh DPR RI dalam pelaksanaan fungsi pengawasan harus dimaknai sebagai bagian dari komunikasi untuk menyerap dan menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat. Bahwa wajar apabila setiap orang harus berhadap-hadapan dengan wakil rakyat, karena checks and balances tidak hanya diperlukan dalam relasi antara DPR RI dan Pemerintah, tetapi relasi institusional antara DPR RI dengan setiap orang termasuk Para Pemohon sebagai WNI yang harus menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. 9) Bahwa apabila Pemohon memahami pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 secara sistematis dan gramatikal sebagaimana diuraikan diatas, maka penggunaan hak pemanggilan paksa oleh DPR RI dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a) dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR RI; b) terhadap setiap orang yang dipanggil secara resmi/tertulis oleh DPR RI untuk hadir dalam rapat DPR RI; c) apabila setiap orang tidak hadir memenuhi kewajibannya setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tidak memberikan (tanpa) alasan yang patut dan sah; dan d) dalam hal menjalankan panggilan paksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang selama 30 (tiga puluh) hari. 10) Bahwa dengan demikian upaya panggilan paksa dan sandera oleh DPR RI dilakukan berdasarkan hukum yaitu apabila setiap orang yang dipanggil tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah dapat dipanggil paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahwa DPR RI dalam melaksanakan Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018 sesuai dengan wewenang dan tugas konstitusionalnya dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan guna menyelenggarakan kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa oleh karena itu, Para Pemohon tidak perlu khawatir adanya/pemberlakuan ketentuan pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 akan merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11) Bahwa dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR RI diberikan hak untuk memanggil setiap orang sebagaimana diatur dalam pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-I/2003 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa: a) Khusus mengenai pemanggilan oleh DPR RI, …salah satu fungsi yang melekat dalam kelembagaan DPR adalah fungsi pengawasan. Dalam rangka fungsi pengawasan itu, DPR diberikan sejumlah hak. b) Panggilan paksa maupun penyanderaan oleh DPR RI hanya berlaku/dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya tindakan paksa badan maupun penyanderaan tidaklah dilakukan sendiri oleh DPR RI, melainkan diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law) yang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kepentingan DPR RI hanyalah sebatas mengenai cara agar pihak-pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui penggunaan hak angket dapat benarbenar hadir dalam persidangan. 12) Bahwa ketentuan pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 mengenai hak memanggil paksa oleh DPR RI, merupakan implementasi konsep hak memanggil secara paksa seseorang yang dipandang perlu didengar keterangannya (hak subpoena) yang dapat dianut oleh lembaga legislatif. Bahwa sebagai perbandingan hak subpoena tersebut juga dimiliki oleh lembaga legislatif di beberapa negara lainnya, seperti di Amerika Serikat dan di Selandia Baru. Hak subpoena dirasa penting untuk dimiliki oleh DPR RI sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat untuk melakukan upaya untuk penyelidikan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana penyelidikan tersebut bukan merupakan penyelidikan dalam ranah proses penegakan hukum (pro justicia). 13) Bahwa konsep hak subpoena tersebut telah dikenal sejak lama dan lazim digunakan oleh parlemen atau badan-badan perwakilan di banyak negara. Secara etimologi, terminologi “subpoena” berasal dari Middle English “suppena” dan bahasa Latin “sub poena” yang berarti “under penalty” atau di bawah ancaman pidana. (Webster's New Collegiate Dictionary, (8th ed. 1976), p. 1160). Dalam Kamus Merriam-Webster, Subpoena adalah a writ commanding a person designated in it to appear in court under a penalty for failure. (Lihat (online) https://www.merriamwebster.com/dictionary/subpoena). Pada umumnya terdapat dua jenis subpoena, yaitu: - Subpoena ad testificandum perintah kepada seseorang untuk bersaksi di depan lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi. - Subpoena duces tecum perintah kepada seseorang atau organisasi untuk menyerahkan bukti-bukti fisik (physical evidence) kepada lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi. 14) Bahwa selanjutnya subpoena diartikan sebagai surat panggilan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, terutama pengadilan, untuk memperoleh kesaksian dan bukti-bukti dari saksi dengan upaya paksa dan ancaman pidana apabila saksi tidak memenuhinya. Konsep pemanggilan seseorang dengan upaya paksa untuk hadir dan menyerahkan dokumen pada awalnya memang diperlukan untuk kepentingan pengadilan, namun konsep ini kemudian berkembang dan digunakan untuk lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk badan legislatif. Di US Congress misalnya disebutkan: “Congress has long been held to possess plenary authority to investigate any matter that is or might be the subject of legislation or oversight. And as the Supreme Court observed over 35 years ago, this authority includes the power to use compulsory processes, such as the issuance of subpoenas. See Eastland v. U.S. Serviceman’s Fund, 421 U.S. 491, 504 (1975). (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)” “Kongres telah lama memiliki otoritas paripurna untuk menyelidiki masalah apa pun yang mungkin atau mungkin merupakan subjek dari legislasi atau pengawasan. Dan seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung lebih dari 35 tahun yang lalu, otoritas ini termasuk kekuatan untuk menggunakan proses wajib, seperti penerbitan panggilan dari pengadilan (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)” Dalam US Code TITLE 2 - THE CONGRESS CHAPTER 6 - CONGRESSIONAL AND COMMITTEE PROCEDURE; INVESTIGATIONS § 192. Refusal of witness to testify or produce papers: “Every person who having been summoned as a witness by the authority of either House of Congress to give testimony or to produce papers upon any matter under inquiry before either House, or any joint committee established by a joint or concurrent resolution of the two Houses of Congress, or any committee of either House of Congress, willfully makes default, or who, having appeared, refuses to answer any question pertinent to the question under inquiry, shall be deemed guilty of a misdemeanor, punishable by a fine of not more than $1,000 nor less than $100 and imprisonment in a common jail for not less than one month nor more than twelve months” (https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscode02/lii_usc_TI _02_CH_6_SE_192.pdf) “Setiap orang yang dipanggil sebagai saksi oleh Konggres (Senat dan HoR) untuk memberikan kesaksian dan menyerahkan dokumen mengenai segala sesuatu yang berhubungan sedang diselidiki oleh Konggres (Senat dan HoR) atau Komisi Gabungan yang dibentuk melalui resolusi bersama dua Kamar, atau setiap komisi dari kedua kamar, yang dengan sengaja tidak hadir atau hadir namun menolak untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dalam rangka penyelidikan dapat dipidana karena perbuatan tidak patut (misdemeanour) dengan ancaman pidana denda paling banyak $1.000 dan paling sedikit $100 dan penjara paling sedikit 1 bulan dan paling lama 12 bulan.(https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscode02/lii_ usc_TI_02_CH_6_SE_192.pdf) 15) Bahwa penegakan hukum melalui lembaga sandera sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma 1 Tahun 2000). Dalam Perma 1 Tahun 2000 tersebut menyatakan bahwa gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secata psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi hutang pokok. Pasal 6 ayat (1) Perma 1 Tahun 2000 menyatakan “putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama sama dengan putusan pokok perkara”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan, namun sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang. Menurut Pasal 7 Perma 1 Tahun 2000 tersebut, paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri. 16) Bahwa selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal istilah penahanan dan penangkapan yang juga merupakan tindakan pengekangan kebebasan seseorang (Pasal 1 butir 20 dan 21 KUHAP). Kedua tindakan pengekangan ini juga berbeda dengan gijzeling, karena tindakan tersebut dilakukan guna proses penyelidikan lebih lanjut, sedangkan gijzeling hanya dilakukan sementara sampai wajib pajak melunasi utang pajaknya, sehingga konsep pengekangan kebebasan gijzeling dalam hukum pajak berbeda dengan pengekangan kebebasan dalam hukum pidana. Tindakan penyanderaan bukan merupakan pengekangan kebebasan karena dilakukannya perbuatan pidana. Oleh karenanya terhadap tindakan penyanderaan, tidak dapat diberlakukan Praperadilan. 17) Bahwa selanjutnya, konteks upaya paksa selain terdapat pada pelaksanaan hak angket sebagai pelaksanaan dari fungsi pengawasan pada Pasal 204 UU No. 2 Tahun 2018, juga dirumuskan dalam Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018 karena upaya paksa juga diperlukan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan melalui mekanisme yang lain. Fungsi pengawasan tidak hanya dilakukan dengan pembentukan Panitia Angket, namun dapat dilakukan pula oleh Komisi dalam bentuk Panitia Kerja (Panja) pengawasan dan Tim yang dibentuk oleh Pimpinan DPR. Bahwa tidak menutup kemungkinan pula, dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI juga memerlukan keterangan yang valid dan data yang akurat agar tidak terjadi kesalahan atau misleading dalam arah pembentukan undangundang dikarenakan data dan keterangan yang tidak valid. Demikian pula pada pelaksanaan fungsi anggaran. Bagaimana pelaksanaan anggaran dalam prakteknya di lapangan merupakan data dan keterangan yang dibutuhkan untuk membahas anggaran negara. Bahwa upaya pemanggilan paksa baru dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur ketentuan Pasal 73 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2018 yaitu pemanggilan paksa dilakukan apabila setiap orang tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah. Dengan demikian, apabila Para Pemohon beritikad baik untuk menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya tentu Para Pemohon seyogyanya mendukung pelaksanaan fungsi konstitusional DPR RI secara optimal, karenanya Para Pemohon tidak perlu khawatir dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. 18) Bahwa potensi kerugian terhadap Pemohon I s.d. IX dalam Perkara 26 atas berlakunya Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2018 yang intinya adalah terkait pemanggilan paksa, sesungguhnya tidak akan terjadi. Hal ini dikarenakan DPR RI menerapkan Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018 tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional, Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018 juga tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena tidak ada ketentuan yang menyebutkan larangan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kepada Para Pemohon, baik yang berkedudukan sebagai badan hukum maupun sebagai perorangan. Ketentuan tersebut juga tidak melanggar HAM. Bahwa pemanggilan yang diatur dalam pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 justru sebagai landasan bagi pihak yang dipanggil untuk memberikan keterangan secara langsung, terbuka, dan transparan yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Jadi, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, karena prinsip keterbukaan informasi publik dijunjung tinggi oleh DPR RI, sehingga tidak melanggar prinsip keterbukaan informasi publik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahwa setiap orang termasuk Para Pemohon sebagai pengguna informasi wajib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 5 ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Publik). 19) Bahwa anggapan Para Pemohon yang menyatakan pemanggilan paksa hanya dapat dilakukan berdasarkan Laporan Polisi, sebagaimana tercantum dalam KUHAP, ialah tidak dapat dijadikan landasan untuk meniadakan ketentuan pemanggilan paksa yang dilakukan DPR RI berdasarkan Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018, oleh karena DPR RI melakukan pemanggilan paksa adalah dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya, khususnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan. 20) Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, terkait dengan pengujian Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan huruf c, dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2018, dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 19.30, Ketua Rapat Dr. H. Dossy Iskandar Prasetyo, S.H., M.Hum menyatakan bahwa “Pasal 73 terkait wewenang DPR RI melakukan pemanggilan paksa Pejabat Negara, Pemerintah meminta menghapuskan frasa pejabat negara dan ditawarkan menjadi setiap orang.” Hal tersebut dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna Laoly, S.H) yang menyatakan bahwa “Jadi supaya tidak ada diskriminasi jadi ini setiap orang Pak Ketua, jadi setiap warga negara dan setiap orang maupun siapa saja. Jadi ini bisa lebih genericnya lebih baik menurut saya.” - Pengujian Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 1) Bahwa MKD yang merupakan alat kelengkapan DPR RI yang bersifat tetap. Memiliki tujuan untuk menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat. Bahwa untuk memahami secara utuh konteks materi muatan Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 maka harus melihat keseluruhan materi muatan yang mengatur tentang MKD, yang diawali dari Pasal 119 UU No. 17 Tahun 2014. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018 yang berbunyi “Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat”. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab yang di amanatkan oleh undang-undang kepada MKD untuk menjalankan fungsinya tersebut agar kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat tetap terjaga. 2) Bahwa MKD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 121A UU MD3 yang menyatakan “Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi: a. pencegahan dan pengawasan; dan b. penindakan”. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut MKD tentunya tidak serta merta mengajukan langkah hukum seperti yang di dalilkan oleh Para Pemohon, tetapi MKD terlebih dahulu akan memeriksa bukti-bukti dugaan penghinaan yang merendahkan kehormatan DPR RI tersebut. Bahwa atas dasar ketentuan tersebut, MKD dalam menjalankan fungsinya menjaga kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI apabila ditemukan suatu dugaan penghinaan tersebut MKD akan melakukan langkahlangkah penyelidikan terlebih dahulu untuk memeriksa bukti-bukti yang menunjukkan adanya unsur-unsur dugaan penghinaan yang merendahkan kehormatan lembaga DPR RI dan anggota DPR RI, yang untuk selanjutnya dapat diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan kebebasan Para Pemohon untuk berpendapat kritis kepada DPR RI telah dikekang dengan berlakunya Pasal 122 huruf (l) UU No. 2 Tahun 2018. DPR RI berpandangan bahwa dalil Para Pemohon a quo bukan permasalahan konstitusionalitas norma, karena pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 tidak ada relevansinya dengan kerugian yang didalilkan Para Pemohon a quo. Bahwa berlakunya undang-undang a quo sama sekali tidak menghalangi, tidak mengurangi dan tidak melanggar hak konstitusional Para Pemohon untuk menyampaikan kritik dan aspirasinya kepada DPR RI sebagai bagian dari proses demokrasi. 4) Bahwa terhadap Keterangan DPR RI mengenai perbandingan ketentuan yang mengatur hak imunitas dan contempt of parliament di berbagai negara dalam Keterangan DPR RI Perkara Nomor 15, 16, 17, 18, dan 21/PUU-XVI/2018 yang sudah dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu 11 April 2018 berlaku secara mutatis mutandis dalam Keterangan DPR RI Perkara Nomor 25, 26, dan 28/PUU-XVI/2018. 5) Bahwa berdasarkan perbandingan dengan negara-negara tersebut, ketentuan yang mengatur mengenai “merendahkan kehormatan DPR RI” pada dasarnya memang lazim diterapkan di berbagai negara untuk menjaga kehormatan lembaga perwakilan rakyat yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat. Bahwa DPR RI sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat tentu harus dijaga kehormatannya dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI. 6) Bahwa pengaturan mengenai contempt of parliament dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 juga tidak melanggar sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances karena meskipun MKD bertugas untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI, tidak berarti MKD melaksanakan fungsi yudikatif. Akan tetapi, MKD menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7) Bahwa terhadap Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018, Para Pemohon mendalilkan tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan merendahkan kehormatan DPR RI, sehingga pasal a quo potensial untuk mengkriminalisasi siapapun termasuk Para Pemohon yang akan menyampaikan aspirasi atau kritik kepada DPR RI. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI memberikan tanggapan dan keterangan, bahwa kebebasan menyampaikan pendapat berada di ranah undang-undang lain yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Depan Umum yang tidak pernah dieliminir atau dicabut oleh Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018. Demikian pula masalah penghinaan terhadap lembaga juga diatur di ranah undang-undang lain dalam KUHP. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, UU No. 2 Tahun 2018 tidak memuat ketentuan pidana sehingga pemahaman Para Pemohon mengenai “kriminalisasi” adalah keliru dan tidak beralasan hukum. Bahwa justru berlakunya ketentuan Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 adalah dalam kerangka menjaga dan menegakkan kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat, bukan ketentuan “mengkriminalisasi” sebagaimana anggapan Para Pemohon. 8) Bahwa apabila Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 dianggap oleh Para Pemohon mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, maka anggapan semacam itu adalah justru bertolak belakang dengan spirit yang dimiliki DPR RI, yaitu justru berlakunya Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 untuk memberikan ruang dan waktu kepada masyarakat untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tetapi dengan cara yang bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bahwa setiap informasi yang disebarkan dan dinyatakan kepada publik haruslah informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 122 UU No. 2 Tahun 2018, DPR RI mengajak kepada masyarakat untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dengan cara-cara demokrasi yang konstitusional. 9) Bahwa terkait dengan pengujian Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018, dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 13.00, Anggota DPR RI H. Arsul Sani, S.H., M.Si menyatakan bahwa “Ya pak ketua dan bapak ibu sekalian, jadi secara substansi perlu adanya pasal yang menegakkan kehormatan dewan itu PPP setuju. Karena kami juga punya prinsip juga termasuk yang tadi saya sampaikan di pansus angket KPK, keamanan dan keselamatan boleh kita serahkan tetapi kalau kehormatan jangan sampai kita serahkan begitu.” - Pengujian Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 1) Bahwa anggota DPR RI yang dipilih melalui pemilihan umum ialah wakil rakyat yang berkedudukan sebagai pejabat negara yang berlandaskan pada Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Bahwa dalam pelaksanaan kekuasaanya tersebut, anggota DPR RI diberikan sejumlah hak salah satunya ialah hak imunitas. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR RI harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR RI tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dipidana pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang konstitusionalnya. Oleh karena itu hak imunitas anggota DPR RI diberikan oleh Pasal 20A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Bahwa hak imunitas yang diatur dalam Pasal 224 jo. Pasal 245 UU No. 2 Tahun 2018 merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 20A ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain, Undang- Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”. Artinya, hak imunitas tersebut secara konstitusional telah diberikan kepada anggota DPR RI. 3) Bahwa pengaturan hak imunitas tersebut diatur dalam Pasal 224 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018 yang menyatakan : “Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. (2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR”. 4) Bahwa diberikannya hak imunitas kepada anggota DPR RI oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 2 Tahun 2018 tersebut ialah untuk melindungi anggota DPR RI dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya yang diperintahkan oleh UU No. 2 Tahun 2018. Bahwa kewajiban-kewajiban anggota DPR RI diatur dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 yang menyatakan: “Anggota DPR berkewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya”. 5) Bahwa mengingat kewajiban anggota DPR RI yang harus dijalankan oleh setiap anggota DPR RI yang diatur dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 tersebut, sangatlah tepat dan berdasar kalau anggota DPR RI diberikan hak imunitas dalam menjalankan kewajiban yang diberikan undang-undang. Bahwa prinsip dasar dari pemberian imunitas kepada anggota DPR RI adalah untuk melindungi dan mendukung kelancaran anggota DPR RI sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI, sehingga ucapan dan tindakan anggota DPR RI sepanjang menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya tersebut terhindar dari ancaman pidana yang justru dapat menghambat kelancaran dan kebebasan anggota DPR RI dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI. 6) Bahwa terhadap pengujian Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018, DPR RI memberikan pandangan bahwa substansi atau materi muatan yang ada di dalam Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tidak bisa hanya dilihat atau dipahami secara parsial, melainkan harus secara komprehensif dengan melihat korelasi atau keterkaitan pengaturannya dengan pasal-pasal lain yaitu Pasal 121A, Pasal 122, dan Pasal 122A UU No. 2 Tahun 2018. 7) Bahwa dengan adanya perubahan fungsi dan tugas dari MKD dalam Pasal 121A, Pasal 122, dan Pasal 122A UU No. 2 Tahun 2018, dan mengingat kewajiban-kewajiban anggota DPR RI dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 yang harus dijalankan, serta kedudukan anggota DPR RI selaku wakil rakyat hasil pemilihan umum dan sebagai pejabat negara, maka sudah tepat dan beralasan hukum diberikan perlindungan dan penegakkan hak imunitas kepada anggota DPR RI 39 sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU No. 2 Tahun 2018. Oleh karena fungsi dan tugas dari MKD adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat. 8) Bahwa para Pemohon perlu memahami konstruksi Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 sebelum dan sesudah perubahan sebagai berikut: - Pasal 245 ayat (1) UU No. 17/2014 Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. - Pasal 245 ayat (1) UU No. 2/2018 Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. - Bahwa berdasarkan putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 yang dalam amar putusannya menyatakan Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 selengkapnya menjadi “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden” Bahwa konstruksi Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 ditujukan kepada anggota DPR RI yang telah menjadi tersangka dan terhadapnya akan dilakukan pemanggilan dan keterangan dalam ranah penyidikan. Dalam konteks inilah putusan MK No. 76/PUUXII/ 2014 mengamanatkan harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Sedangkan dalam konstruksi Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR RI masih dalam ranah penyelidikan yang belum tentu anggota DPR RI tersebut berstatus sebagai tersangka. 9) Bahwa terhadap Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tidak berarti anggota DPR RI memiliki imunitas hukum yang bersifat absolut. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 245 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018 yang menyatakan “Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: - Tertangkap tangan melakukan tindak pidana; - Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau - Disangka melakukan tindak pidana khusus” Bahwa atas dasar ketentuan Pasal 245 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018 tersebut menegaskan bahwa hak imunitas anggota DPR RI tidak berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu sehingga tidak diperlukan persetujuan Presiden. Artinya ketentuan Pasal 245 UU No. 2 Tahun 2018 sejalan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sesuai juga dengan due process of law. 10) Bahwa Para Pemohon menyatakan, kata “tidak” dan “setelah mendapatkan pertimbangan MKD” tersebut mengandung konsekuensi bahwa anggota DPR RI tidak dapat dipanggil dan diperiksa dalam kaitannya dengan tindak pidana apapun, baik yang sehubungan dengan pelaksanaan fungsi dan wewenangnya sebagai anggota DPR RI, apabila tidak mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden berdasarkan pertimbangan MKD. Bahwa terhadap pernyataan Para Pemohon tersebut, DPR RI memberikan tanggapan dan keterangan, bahwa Pasal 245 UU No. 2 Tahun 2018 perlu dibaca dalam satu nafas secara keseluruhan, bukan hanya pada ayat (1). Dalam ayat (2) disebutkan: “Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR RI: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus”. Artinya, bahkan persetujuan tertulis dari Presiden pun tidak diperlukan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Sementara persetujuan tertulis dari Presiden tersebut telah mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Pertimbangan MKD, sesuai makna dari kata “pertimbangan” sifatnya tidak mengikat. Dengan demikian, asumsi Para Pemohon yang menyatakan Pasal 245 UU No. 2 Tahun 2018 menjadikan DPR RI kebal hukum adalah tidak benar dan tidak beralasan hukum. 11) Bahwa telah diatur dalam beberapa undang-undang yang membatasi hak dan kebebasan setiap orang, misalnya mengenai ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan penghinaan. Artinya perlu dibedakan antara kritik dan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penghinaan. Seseorang yang mengemukakan kritik dengan cara yang tidak melanggar undang-undang tentu dijamin kebebasannya, namun apabila menyampaikan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penghinaan artinya melanggar undangundang dan dapat dikenai ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam berbagai undang-undang, ketentuan tersebut, misalnya: - Pasal 207 KUHP: Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah - Pasal 217 KUH:Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga 41 minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah - Pasal 224 KUHP: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. - Pasal 27 ayat (3) UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ((1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 12) Bahwa dapat dibandingkan dengan penghinaan terhadap lembaga negara lain, dalam hal ini, misalnya Presiden, sebagaimana diberitakan dalamsitus berita berikut. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4kasu s-penghinaan-terhadap-presiden-yang-diproses-hukum https://nasional.kompas.com/read/2018/02/15/18423321/priainiditangkap- karena-dianggap-hina-jokowi-polri-dan-buya-syafii Bahwa dengan contoh kasus tersebut adalah wajar apabila penghinaan terhadap DPR RI dan anggota DPR RI juga diperlakukan sama dengan penanganan kasus penghinaan terhadap Presiden. 13) Bahwa Para Pemohon mendalilkan DPR RI seharusnya menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, namun dengan UU No. 2 Tahun 2018 ini bukan untuk menyerap dan memperjuangkan aspirasi, namun meng”kriminalisasi” rakyat atau kriminalisasi terhadap demokrasi. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pendapat Para Pemohon adanya kriminalisasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, sama sekali tidak benar dan tidak beralasan hukum serta menunjukkan ketidakpahaman Para Pemohon terhadap makna “kriminalisasi” dan konteks pasal yang diuji secara utuh dan komprehensif. Penggunaan kata “kriminalisasi” dimaknai oleh Para Pemohon sebagai “tindakan menetapkan seseorang sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini DPR RI dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak atau tafsir subjektif atas perbuatan seorang, lalu kemudian diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana. Kriminalisasi bukanlah stigma, pelabelan atau bukan kata yang berkonotasi negatif, namun perumusan sebuah perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana dalam perundang-undangan yang pada intinya juga menjadi objek studi hukum pidana materil. Rumusan Pasal 73 dan Pasal 122 UU No. 2 Tahun 2018 tidak berada dalam Bab Ketentuan Pidana dan bahkan tidak ada rumusan ketentuan pidana dalam UU No. 2 Tahun 2018. 14) Bahwa terhadap pernyataan Para Pemohon terkait kriminalisasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, DPR RI berpandangan bahwa secara eksplisit maupun implisit, tidak ada dalam ketentuan Pasal 73 dan Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 yang memidanakan orang yang berpendapat dan berekspresi sepanjang tidak melanggar undang-undang. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan diatas, UU No. 2 Tahun 2018 tidak mencabut Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum maupun undang-undang mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat, sehingga kalimat “meng”kriminalisasi” kebebasan berekspresi dan berpendapat” tidak tepat. Sebagai perbandingan, dapat disampaikan konteks contempt of court. Pada penjelasan umum UU No. 14 tahun 1985 disebutkan bahwa: “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan definisinya.” 15) Bahwa pengaturan mengenai contempt of court juga belum tuntas dan belum diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan demikian hanya mengandalkan Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang ada sekarang. Di dalam naskah akademis yang disusun oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan MA tahun 2002 (halaman 9) disebutkan bahwa perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain: - Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court) - Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders) - Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court) - Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice) - Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule) Kurang lebih konsep-konsep seperti inilah yang juga akan dijadikan pemaknaan contempt of parliament, dengan mengacu pula pada benchmark parlemen di negara-negara lain. Tidak menyetujui konsep penghinaan terhadap parlemen sama halnya dengan tidak menyetujui konsep yang sama yang diterapkan di lembaga yudikatif, termasuk di Mahkamah Konstitusi ini. 16) Bahwa selanjutnya Para Pemohon mendalilkan bahwa DPR RI berubah menjadi lembaga yudikatif atau bahkan ada pernyataan yang menyebutkan “hal ini menimbulkan kecenderungan bagi anggota legislatif untuk menempatkan 2 lembaga lain berada di bawah subordinasi lembaga legislatif”. Pernyataan tersebut sama sekali berlebihan dan tidak memiliki dasar. DPR RI tidak menjalankan kekuasaan kehakiman. Adapun MKD adalah menangani masalah etika dan pelanggaran terhadap UU No. 2 Tahun 2018 yang dilakukan oleh anggota dan sistem pendukung. Sama halnya dengan DKPP yang ada di KPU, bukan berarti KPU menjadi lembaga yudikatif. Justru langkah hukum harus diartikan melakuan tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, artinya DPR RI menjunjung supremasi hukum. Langkah lain dimaknai tidak dilanjutkan melalui jalur hukum, melainkan melalui penyelesaian seperti himbauan, mediasi, melakukan hak jawab, dan sebagainya. 17) Bahwa terhadap dalil perluasan ruang lingkup hak imunitas anggota legislatif, DPR RI memberikan keterangan bahwa anggapan Perluasan ruang lingkup hak imunitas DPR RI tidak benar, karena dalam Pasal 245 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018 yang menyebutkan: persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR RI: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. Artinya, walaupun di beberapa parlemen, konsep imunitas dimungkinkan berlaku untuk semua jenis pidana dan yang dapat mencabut imunitas tersebut adalah parlemen sendiri, namun UU No. 2 Tahun 2018 tidak menerapkan konsep tersebut. Ada tindak pidana yang dikecualikan bahkan persetujuan tertulis dari Presiden pun tidak diperlukan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 18) Bahwa terkait dengan pengujian Pasal 245 ayat (1), dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 13.00, Anggota DPR RI H. Arsul Sani, S.H., M.Si menyatakan bahwa “Ya pak ketua dan bapak ibu sekalian, jadi secara substansi perlu adanya pasal yang menegakkan kehormatan dewan itu PPP setuju. Karena kami juga punya prinsip juga termasuk yang tadi saya sampaikan di pansus angket KPK, keamanan dan keselamatan boleh kita serahkan tetapi kalau kehormatan jangan sampai kita serahkan begitu.” 3. Latar Belakang Pembahasan UU No. 2 Tahun 2018 Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 yang diuraikan dalam lampiran yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR RI ini.

26/PUU-XVI/2018

Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan huruf c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 27, 28, 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945