13/PUU-XVI/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pemohon I dan Pemohon VIII mendalilkan telah dirugikan ataupun berpotensi dirugikan karena tidak adanya keterlibatan dan kontrol rakyat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang menyangkut ekonomi, perdagangan, dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta penghindaran pajak berganda yang menimbulkan dampak luas bagi kehidupan rakyat akibat tidak melalui persetujuan DPR RI yang adalah representasi rakyat. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 12-13, 21) 2. Bahwa Pemohon II mendalilkan sulitnya mewujudkan tujuan membela korban pelanggaran ham yang disebebkan Perjanjian Internasional, pendirian organisasinya akibat pemberlakuan UU Perjanjian Internasional karena tidak kuatnya DPR RI dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mandat UUD NRI Tahun 1945. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 14) 3. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV mendalilkan tidak bisa memperjuangkan kepentingan petani anggotanya dalam perjanjian internasional dalam mekanisme di DPR RI yang dalam Undang-Undang a quo hanya berfungsi untuk konsultasi dan pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah, dimana DPR RI seharusnya dapat membuka ruang aspirasi masyarakat khususnya petani, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat adat anggota Pemohon III dan Pemohon IV. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 15) 4. Bahwa Pemohon V mendalilkan kerugiannya dengan berbagai perjanjian-perjanjian internasional yang terlahir setelah lahirnya Undang-Undang a quo utamanya di sektor pertanian, agraria dan perkebunan yang merugikan anggota petani Pemohon V karena perjanjian-perjanjian tersebut menyebabkan derasnya arus impor produk-produk pertanian. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 17) 5. Bahwa Pemohon VI mendalilkan pemberlakukan pasal-pasal a quo telah menimbulkan kerugian konstitusional karena perjanjian-perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden tanpa adanya keterlibatan masyarakat pesisir khususnya nelayan, pembudidaya ikan, perempuan nelayan, masyarakat adat pesisir, dan petambak garam sehingga perjanjian internasional yang disahkan itu berdampak merugikan Pemohon VI dan masyarakat pesisir. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 18) 6. Bahwa Pemohon VII mendalilkan perempuan petani kehilangan perannya dan terpinggirkan dari sektor pertanian sehingga banyak yang akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh migran tanpa perlindungan yang memadai dan terlanggar hak-hak sebagai perempuan. Selain itu adanya ketidakpastian hukum dalam undang-undang a quo yang menghambat tujuan dari organisasi Pemohon VII dalam melindungi hak-hak perempuan di sektor pertanian, nelayan dan buruh dalam perjanjian-perjanjian internasional. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 20) 7. Bahwa Pemohon IX mendalilkan akibat permberlakuan pasal-pasal a quo khususnya di sektor pertanian, agraria, pangan dan kelapa sawit menyebabkan para anggota petani Pemohon IX menjadi tidak berdaulat dalam menentukan kesejahteraannya terutama dalam perjanjian internasional tentang P4M antara Indonesia dengan India yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2003. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 22 ) 8. Bahwa Pemohon X sampai Pemohon XIV telah dirugikan hak konstitusionalnya berupa meniadakan hak konstitusional untuk ikut memberikan aspirasinya melalui DPR RI serta terjadinya ketidakpastian hukum yang menyebabkan meningkatnya jumlah garam impor yang beredar di pasaran Indonesia, sehingga merugikan Para Pemohon untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraannya. (Vide Perbaikan Permohonan hal. 24) Legal Standing: a. Bahwa Pemohon I dan Pemohon VIII merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu terkait kerugian konstitusionalnya sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Dalam permohonannya, Pemohon I dan Pemohon VII tidak menguraikan secara detail adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional organisasinya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. DPR RI sebagai representasi rakyat terlibat dan melakukan kontrol terhadap setiap proses pembuatan perjanjian internasional melalui forum konsultasi dengan Menteri Luar Negeri. Sehingga kepentingan hukum Pemohon I dan Pemohon VIII sudah terpenuhi dan tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Bahwa Pemohon II merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu terkait kerugian konstitusional yang dialami oleh organisasi Pemohon II sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Tujuan pendirian organisasi Pemohon II untuk membela korban pelanggaran HAM dapat dilakukan dengan mekanisme advokasi yang sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga kepentingan hukum Pemohon II sudah terpenuhi dan tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo. c. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon III dan Pemohon IV sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Organisasi Pemohon III dan Pemohon IV yang mewakili kepentingan petani, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat adat sudah diwakili oleh DPR RI sebagai representasi rakyat Indonesia. Sehingga kepentingan hukum Pemohon III dan Pemohon IV sudah terpenuhi dan tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Selain itu, Pemohon III dan Pemohon IV tidak menunjukkan adanya perjanjian internasional yang telah disahkan dan berdampak merugikan secara langsung terhadap organisasi Pemohon III dan Pemohon IV sehingga dalil yang diajukan hanya berdasarkan asumsi saja. d. Bahwa Pemohon V merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon V sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon V belum menunjukkan adanya perjanjian internasional pasca disahkannya UU Perjanjian Intenasional dan berdampak merugikan secara langsung organisasi Pemohon V sehingga dalil yang diajukan hanya berdasarkan asumsi saja. Jika memang terdapat kerugian konstitusional bagi Pemohon V, maka hal tersebut bukan materi yang dijamin melalui Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sehingga permohonan a quo hanya kekhawatiran Pemohon V semata karena perjanjian internasional bidang pertanian dan agraria tidak harus memerlukan persetujuan DPR RI. Kerugian Pemohon V bukanlah karena alasan konstitusional sehingga tidak ada kepentingan hukum karena bukan mengatasnamakan rakyat. e. Bahwa Pemohon VI merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon VI sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon VI tidak menyebutkan adanya Keputusan/Peraturan Presiden yang secara langsung berdampak merugikan Pemohon VI dan masyarakat pesisir. Pemohon VI juga tidak menjelaskan letak perlindungan kepastian hukum yang tidak dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. f. Bahwa Pemohon VII merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon VII sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Pemohon VII tidak menyebutkan contoh hak-hak perempuan yang terlanggar di sektor pertanian sehingga bekerja menjadi buruh migran tanpa perlindungan yang memadai, hal ini menjadi kabur karena Pemohon VII juga mendalilkan pasal-pasal a quo menghambat tujuan organisasi pemohon. g. Bahwa Pemohon IX merupakan badan hukum privat yang harus dapat membuktikan terlebih dahulu adanya kepentingan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami secara langsung oleh organisasi Pemohon IX sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Bahwa perjanjian internasional tentang P4M antara Indonesia dan India disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2003 yang tidak memerlukan persetujuan DPR karena Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki perjanjian internasional sektor pertanian, agraria, pangan dan kelapa sawit untuk diatur selain dengan undang-undang. h. Bahwa Pemohon X sampai Pemohon XIV merupakan perorangan warga negara Indonesia yang juga belum mengkonstruksikan secara jelas letak kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo. Dengan demikian, hal yang dimohonkan Para Pemohon adalah sesuatu yang belum dibuktikan kerugiannya bersifat spesifik atau aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya pasal-pasal a quo. i. Bahwa terhadap syarat ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, DPR RI juga berpandangan bahwa Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Bahwa kerugian yang dialami Para Pemohon, sesungguhnya bukanlah akibat langsung dari berlakunya Pasal a quo, namun kerugian tersebut muncul berdasarkan anggapan Para Pemohon bahwa dengan berlakunya pasal a quo menjadikan tujuan perkumpulannya menjadi tidak terlaksana. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik. j. Bahwa terhadap syarat ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. DPR RI memberikan pandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki legal standing, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci oleh DPR RI dari nomor 1-4 yang menanggapi legal standing Para Pemohon di atas. Tidak ada kerugian hak konstitusional Para Pemohon dari pemberlakuan pasal-pasal a quo, sehingga tidak ada dasar bagi pengujian pasal-pasal a quo. Sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak dan kerugian konstitusional Para Pemohon sebagai warga Negara, sehingga apabila pasal-pasal a quo diputuskan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Para Pemohon. DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Pokok Perkara: 1) Bahwa istilah perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 harus ditafsirkan dengan mengkaitkan kewenangan Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya dengan politik luar negeri dan berhubungan dengan negara lain. Apabila dikaitkan dengan wewenang tradisional kepala negara seperti menyatakan perang, membuat perdamaian serta membuat perjanjian internasional (hak-hak prerogatif) dimana hal-hal ini adalah dalam hubungannya dengan negara lain. 2) Bahwa Perjanjian Internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata negara dan hukum internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun 1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Istilah Perjanjian Internasional yang digunakan dalam Konvensi Winna adalah Treaty. Pasal 1 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) mendefinisikan ruang lingkup dari Konvensi ini adalah berlaku untuk treaties between states. Selanjutnya dalam Pasal 2 treaty diartikan sebagai: Treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Disamping itu dalam Pasal 1 Konvensi Winna tahun 1986 ditegaskan bahwa lingkup dari perjanjian internasional adalah perjanjian antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, dan perjanjian antar organisasi internasional. 3) Bahwa sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Perjanjian Internasional yang merupakan amanat Pasal 11 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, diperoleh definisi tentang perjanjian internasional yaitu: Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) UU Perjanjian Internasional, disebutkan elemen-elemen dari perjanjian internasional adalah: a) Dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya; b) Diatur oleh hukum internasional; dan c) Menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 4) Bahwa Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969) dianggap sebagai induk hukum perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri negara dari suatu perjanjian internasional. 5) Bahwa sebelum keberadaan Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris). 6) Bahwa sebelum masyarakat internasional mengikatkan diri pada Konvensi Wina 1969, perjanjian antar negara baik bilateral maupun multilateral diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda, dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. 7) Bahwa setiap negara punya kedaulatan hukum yang dicantumkan dalam setiap konstitusi negaranya, dalam hal ini Indonesia mencantumkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mengatur: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, Indonesia mengatur sendiri hukum formil perjanjian internasional yang menimbulkan kewajiban secara internasional dan ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu melalui undang-undang atau keputusan/peraturan presiden. 8) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang mendalilkan Konvensi Wina 1969 telah menjadi hukum kebiasaan Internasional meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 ke dalam hukum nasional (Vide Perbaikan Permohonan hal. 4-5), DPR RI memberikan pandangan bahwa dalam hukum Romawi dikenal asas “pacta tertiis nec nocent nec prosunt” dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada pihak ketiga (negara bukan pihak, yang tidak atau belum meratifikasi). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan: “A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent” Dengan demikian, Indonesia sebagai negara non-peserta dan tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tidak terikat dan tidak wajib untuk tunduk pada perjanjian internasional tersebut. 9) Bahwa dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada consent dari seluruh negara anggota Konvensi Wina 1969 tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru. Dengan demikian, Konvensi Wina 1949 mengikat kepada para negara pesertanya dan perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara non-peserta Konvensi Wina 1969 tetap dilakukan berdasarkan asas-asas good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. 10) Bahwa sebelum diundangkannya UU Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia diatur dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-undang dan keputusan presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya (vide Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional hal. 2). Dalam ketentuan tersebut belum memuat materi tentang pembuatan perjanjian internasional sehingga undang-undang a quo dibuat untuk mengatur materi perjanjian internasional mulai dari proses pembuatan hingga pengesahannya. Sedangkan dalam UU Perjanjian Internasional telah lengkap pengaturan tentang: a) Pengesahan perjanjian internasional b) Pemberlakuan perjanjian internasional c) Penyimpanan perjanjian internasional d) Pengakhiran perjanjian internasional e) Serta ketentuan peralihan danpenutup 11) Bahwa dalam Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tersebut dinyatakan bahwa: a) Kata "perjanjian" dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 tidak mengandung arti segala perjanjian dengan negara lain, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Jika tidak diartikan demikian, maka Pemerintah tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil-kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR RI, sedangkan hubungan internasional saat ini membutuhkan tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusionil yang lancar. b) Untuk menjamin kelancaran di dalam pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah dan DPR RI sebagaimana tertera di dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah akan menyampaikan kepada DPR RI untuk memperoleh persetujuan DPR RI hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja (treaties), sedangkan perjanjian lain (agreements) akan disampaikan kepada DPR RI hanya untuk diketahui. c) Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 tidak menentukan bentuk juridis dari persetujuan DPR RI, sehingga tidak ada keharusan bagi DPR RI untuk mengesahkan dengan undang-undang. d) Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut: Perjanjian tentang politik atau yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri negara seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas. Perjanjian tentang kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negari negara. Perjanjian yang harus diatur dengan undang-undang menurut UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lain, seperti menyangkut kewarganegaraan dan kehakiman. e) Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada DPR RI hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Dengan demikian sebelum berlakunya UU Perjanjian Internasional, DPR RI hanya berwenang untuk memberikan persetujuan perjanjian internasional yang berbentuk treaty terkait materi-materi penting politik dan hal-hal lain yang lazim diatur dengan treaty. Sedangkan perjanjian internasional yang berbentuk agreement hanya disampaikan kepada DPR RI untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. 12) Bahwa hadirnya UU Perjanjian Internasional adalah untuk menggantikan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 yang hanya mengatur pada proses pengesahan perjanjian Internasional, dan mengatur ketentuan-ketentuan terkait proses pembuatan perjanjian Internasional. 13) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 2 UU Perjanjian Internasional telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”, DPR RI memberikan pandangan bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional merupakan wilayah kekuasaan eksekutif, bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif dalam hal ini Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden, dimana yang memegang peranan penting adalah Presiden yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri yang dalam pembuatan perjanjian internasional, berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. 14) Bahwa Pasal 2 UU Perjanjian Internasional menyebut subjeknya adalah Menteri (dalam hal ini adalah Menteri Luar Negeri) yang sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pendapat dan pertimbangan politis dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakan prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. 15) Bahwa sebagai perwakilan rakyat, keterlibatan DPR yaitu dengan keharusan berkonsultasi dengan DPR untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Konsultasi dengan DPR diperlukan pada saat pembuatan perjanjian internasional saja, sementara persetujuan DPR dibutuhkan pada saat perjanjian internasional diratifikasi. Upaya untuk perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk upaya preventif yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan kementerian terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan perjanjian internasional.Dengan demikian, Menteri dalam memberikan pendapat dan pertimbangan politisnya melakukan konsultasi dengan DPR RI. Kemudian hasil konsultasi tersebut menjadi dasar pertimbangan Presiden dalam membuat dan menandatangani perjanjian internasional. Sehingga Pasal 2 UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 16) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional telah mengganti frasa “persetujuan DPR” dengan frasa “pengesahan dengan Undang-Undang” sehingga bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (Vide Perbaikan Permohonan hal. 32), DPR RI memberikan pandangan bahwa dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 memang diatur bahwa dalam hal Presiden membuat perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR RI. Akan tetapi, tidak semua perjanjian internasional membutuh persetujuan DPR RI. Adapun yang memerlukan persetujuan DPR adalah: a) Perjanjian internasional dengan negara lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan negara lain baik bilateral maupun multilateral harus mendapatkan persetujuan DPR RI. b) Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan subjek hukum internasional lainnya, contohnya dengan organisasi internasional. c) Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ketentuan mengenai perjanjian initernasional ini diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, Undang-Undang yang dijadikan rujukan adalah UU Perjanjian Internasional. 17) Bahwa Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus diartikan tidak terpisah dengan pasal sebelumnya yang menekankan pada perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, sehingga yang dimaksud “perjanjian internasional yang lainnya” adalah perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia, selain dengan subyek negara lain artinya perjanjian internasional yang dilakukan oleh subyek hukum internasional lainnya, yaitu organisasi internasional. Frasa “yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” adalah kriteria bagi perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia dengan organisasi internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR RI. Adapun perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain sudah jelas disebutkan dalam ayat (1) harus mendapatkan persetujuan DPR RI. 18) Bahwa Penjelasan UU Perjanjian Internasional menyatakan Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Sebelum perjanjian internasional ini berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian internasional itu perlu disahkan. Yang dimaksud “Pengesahan”, menurut Pasal 1 angka 2 UU Perjanjian Internasional, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). 19) Bahwa lebih lanjut Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa: - Pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR RI; Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres), cukup diberitahukan saja kepada DPR RI. Bahwa setelah diundangkannya UU Perjanjian Internasional, negara lain atau badan internasional tidak lagi ddilakukan dengan Keputusan Presiden tapi dengan Peraturan Presiden sehingga persetujuan DPR RI diberikan pada saat perjanjian internasional akan disahkan menjadi undang-undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian internasional. 20) Bahwa prosedur pembuatan undang-undang dan perjanjian internasional memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimulai dari pembentukan awal bahwa jika pembuatan undang-undang melalui proses pra legislasi yang membutuhkan pengkajian RUU dan dibahas oleh lembaga legislatif negara itu sendiri. Sedangkan untuk pembuatan perjanjian internasional dibentuk secara bersama-sama oleh negara lain. Bentuk pengesahan perjanjian internasional ke dalam undang-undang hampir sama dengan pengesahan suatu Rancangan Undang-Undang ke Undang-Undang, namun jika pengesahan perjanjian internasional peran DPR RI disini hanya dapat menyetujui atau menolak pengesahan yang merupakan bentuk dari fungsi DPR RI yang melakukan check and balances terhadap Presiden. Beda halnya dengan peran DPR RI dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan peran legislatif DPR RI untuk membuat undang-undang. Oleh karena itu bentuk undang-undang pengesahan perjanjian internasional bukanlah undang-undang dalam bentuk produk legislasi. 21) Bahwa pengesahan perjanjian internasional berbentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya dengan undang-undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan perjanjian internasioal yang sifatnya multilateral. Hanya perjanjian-perjanjian yang penting/treaty yang disampaikan kepada DPR RI sedangkan perjanjian lain /agreement akan disampaikan kepada DPR RI hanya untuk diketahui. Dalam pasal ini tidak menentukan bentuk yuridis persetujuan DPR RI. Oleh karena itu tidak ada keharusan bagi DPR RI untuk memberikan persetujuanya dalam bentuk undang-undang. 22) Bahwa pengesahan pada hakekatnya adalah the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of ratification/accession oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus dilihat sebagai proses yang menginkorporasi materi Perjanjian Internasional ke dalam hukum nasional. Selain itu pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden harus dilihat sebagai mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan hukum bagi Pemerintah (Menteri Luar Negeri) untuk mengikatkan Indonesia pada perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/ Peraturan Presiden dimaksud adalah instrumen yang memiliki efek prosedural bukan efek normatif. 23) Bahwa perbedaan bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang syaratnya memenuhi kriteria materi muatan yang dapat disahkan dengan undang-undang dan Peraturan Presiden adalah pada materi muatannya. Dibentuk dengan Perpres jika dalam perjanjian internasional disyaratkan adanya pengesahan sebelum berlakunya perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundang-undangan nasional sesuai dengan materi muatan Peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan juga selain materi yang diatur dalam Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UU Perjanjian Internasional dan penjelasannya. Untuk ciri khususnya, Peraturan Presiden biasanya jika perjanjian tersebut perjanjian bilateral, sedangkan untuk undang-undang biasanya adalah perjanjian multilateral. 24) Bahwa dalam skema pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dalam UU Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut: Berdasarkan bagan tersebut telah jelaslah perbedaan antara pengesahan dan persetujuan perjanjian Internasional dalam UU Perjanjian Internasional. Pengesahan atas perjanjian internasional dilakukan dengan 4 cara yang memiliki konsekuensi hukum mengikat para pihak dalam hukum internasional. Kemudian untuk menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi hukum nasional, maka dilakukan dengan persetujuan DPR RI melalui Undang-Undang atau persetujuan Presiden dengan Keputusan Presiden. Dalam hal persetujuan DPR RI melalui undang-undang, praktik hukum nasional selama ini menggunakan mekanisme ratifikasi. Dengan demikian, frasa “pengesahan dengan Undang-Undang” adalah sebuah bentuk persetujuan DPR RI atas suatu perjanjian internasional. Sehingga Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan UU Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 25) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional yang membatasi pengesahan melalui undang-undang hanya terbatas pada masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar negeri adalah bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (Vide Perbaikan Permohonan hal. 35), DPR RI memberikan pandangan bahwa pengaturan materi yang hanya bisa dilakukan melalui undang-undang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12 Tahun 2011) yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang yaitu: a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945. b. Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu. d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. dan/atau e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pasal 10 ayat (1) huruf c UU 12 Tahun 2011 mengatur hanya perjanjian internasional tertentu yang dapat disahkan menjadi undang-undang yang kemudian kata “tertentu” tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional. Ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 26) Bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut frasa “akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat” hanya terkait pada adanya beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Jika tidak mengandung unsur-unsur tersebut seperti yang didalilkan Para Pemohon, seperti Trans-Pacific Economic Partnership Agreement dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), maka tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 27) Bahwa dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa materi perjanjian internasional diluar Pasal 10 UU Perjanjian Internasional yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis dilakukan pengesahan ratifikasinya dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 28) Bahwa ketentuan dalam pasal a quo merupakan original intent para pembentuk undang-undang sebagai suatu open legal policy. DPR RI mengutip pertimbangan putusan angka [3.17] dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal kontitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intorable.” 29) Bahwa pandangan hukum MK tersebut, sejalan dengan Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan: “...sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.” Oleh karena itu, pasal a quo selain merupakan norma yang telah umum berlaku, juga merupakan pasal yang tergolong sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). Pasal a quo juga merupakan delegasi kewenangan langsung dari konstitusi, yaitu dari Pasal 20 dan Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, perlu kiranya Pemohon memahami bahwa terkait hal yang dipersoalkan oleh Pemohon bukan merupakan objectum litis bagi pengujian undang-undang, namun merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). 30) Bahwa Para Pemohon mendalilkan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional yang membatasi pengesahan melalui undang-undang bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1) UUD NRI Tahun 1945. (vide Perbaikan Permohonan hal. 41) 31) Bahwa sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) ditentukan bahwa DPR RI memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 32) Bahwa fungsi legislasi DPR RI dilaksanakan sebagai perwujudan DPR RI selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sehingga Dalam hal perjanjian internasional, DPR RI menjalankan fungsi legislasi sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dalam memberikan persetujuan atas pengesahan perjanjian Internasional melalui undang-undang dalam mekanisme ratifikasi. 33) Bahwa selanjutnya dalam Pasal 71 huruf h UU MD3 juncto Pasal 6 huruf a Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tatib DPR RI) dijelaskan bahwa kewenangan DPR RI hanya sebatas memberikan persetujuan atas perjanjian internasional, “memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.” 34) Bahwa selanjutnya DPR RI menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional oleh pemerintah. 35) Bahwa dalam Penjelasan Umum hal 1 UU Perjanjian Internasional telah tegas disebutkan bahwa Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini selanjutnya diatur dengan Pasal 4 ayat (1) UU Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa kewenangan pembuatan perjanjian internasional ada di pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. “Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.” Dengan demikian, kewenangan pemerintah membuat perjanjian internasional adalah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat dicampuri dengan kewenangan DPR RI sebagai pemegang kekuasaan legislatif. 36) Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak boleh dilepaskan dari ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 untuk memastikan hak warga negaranya mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum Indonesia telah mengatur secara detail dan hati-hati dalam setiap peraturan yang dapat mengikat Indonesia dengan perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban Internasional agar tidak mengurangi dan menyalahi hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pengulangan ketentuan yang sama dari Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal-Pasal a quo, Pasal 71 huruf h UU MD3 dan Pasal 6 huruf a Peraturan Tatib DPR RI. Dengan demikian, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional sudah sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 37) Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (UU Migas) tergolong ke dalam konstruksi perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara haruslah mendapatkan persetujuan DPR. Perjanjian Internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah instrumen yang selama ini dikenal dalam hukum tata negara dan hukum internasional sesuai dengan Konvensi Winna tahun 1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Subjek hukum dalam perjanjian internasional (treaty) adalah negara (state) dan subjek hukum dalam perjanjian internasional Iainnya adalah organisasi internasional. Sedangkan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi yang bersifat perdata dan governed by national. Sesuai dengan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Nomor 24 Tahun 2000) yang merupakan amanat Pasal 11 ayat (3) UUD 1945, diperoleh definisi tentang perjanjian internasional yaitu: Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD juncto Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka hak-hak para anggota DPR telah terpenuhi pada saat penyusunan rancangan UU Migas dengan disetujuinya materi muatan Pasal 11 ayat (2) UU Migas. Sehingga Pasal 11 ayat (2) UU Migas sama sekali tidak mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia, sebaliknya ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah memberikan penegasan dan/atau kepastian hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi lembaga negara yang mewakili kepentingan rakyat Indonesia. Pada sisi lain ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas juga telah memberikan batasan yang tegas kepada Pemerintah untuk melaksanakan kontrak-kontrak internasional antara Pemerintah dan international company. 38) Bahwa terkait dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo, bahwa sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum keputusan presiden karena presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain. Dengan adanya klausula persetujuan DPR RI dalam Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional adalah undang-undang, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-Undang. Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk undang-undang, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum undang-undang.
13/PUU-XVI/2018
Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional
Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945