Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

25/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitutional : 1. Bahwa Pemohon I merasa hak konstitusionalnya berupa kemerdekaan mengeluarkan pikirannya secara tertulis yang telah diatur dalam undang- undang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang terancam diambil tindakan hukum/tindakan lainnya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 kepada MKD. (Vide perbaikan permohonan, hlm. 5) 2. Bahwa Pemohon II diberikan hak konstitusional oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Namun dengan berlakunya norma Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018, MKD yang seluruhnya terdiri dari anggota DPR RI dapat saja berupaya melindungi koleganya sesama anggota DPR RI dari adanya kepentingan penyelidikan atas dugaan tindak pidana, sehingga MKD tidak memberikan pertimbangan kepada Presiden dan/atau Presiden tidak memberikan persetujuan, yang berakibat pada tidak berjalannya proses penyelidikan terhadap anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana selain yang dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2018. (Vide perbaikan permohonan, hlm. 5) Legal Standing : 1) Bahwa Pemohon I adalah badan hukum privat, yang menjalankan kegiatannya di bidang jasa portal internet untuk kepentingan publik bernama buruhonline.com yang berisi berita hukum serta politik ketenagakerjaan, sama sekali tidak ada relevansinya dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, karena Pemohon I tetap dapat menjalankan aktifitasnya tidak terhalangi, tidak terkurangi dan tidak terlanggar dengan berlakunya norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 yang mengatur tata cara pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI. Bahwa kepentingan Pemohon I tetap dijamin dan dilindungi oleh Pasal 27, 28, 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Bahwa dengan berlakunya pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, Pemohon I sama sekali tidak mengalami kerugian hak konstitusionalnya, mengingat Pemohon I sesungguhnya tidak memiliki hubungan hukum dan kepentingan serta tidak adanya pertautan dengan norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, karenanya tidak memiliki alasan hokum untuk menguji norma pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 ke Mahkamah Konstitusi. Bahwa Pemohon I dalam permohonannya hanya menjelaskan rasa ketakutan semata apabila menyampaikan aspirasi maupun kritik dan saran kepada lembaga DPR RI dan anggotanya. Pokok Perkara : 1) Bahwa terkait dengan pengujian atas Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018, dipandang perlu untuk menjelaskan mengenai contempt of parliament yang memang belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam UU No. 2 Tahun 2018. Namun DPR RI memandang perlu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018. Hal tersebut secara historis dilatarbelakangi oleh konsep demokrasi dalam kerangka kedaulatan rakyat yang mencakup prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dan bersama rakyat yang memandang kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.) Salah satu perwujudan konsep demokrasi tersebut dilakukan dengan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang merupakan cerminan dari kedaulatan seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Bahwa salah satu peran DPR RI dalam sistem pemerintahan modern adalah tetap mengawasi dan menjaga dan menegakkan kehormatan DPR RI, karena kehormatan DPR RI sesungguhnya tergantung pada tingkah laku anggota DPR RI tersebut. Oleh karena itu pembentukan MKD yang independen dan professional dibutuhkan guna menjaga wibawa DPR RI yang ditunjukkan oleh anggota DPR RI, terutama dalam kondisi kekuasaan parlemen modern yang begitu luas tentunya semakin besar peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). (Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 221). 3) Bahwa MKD sebagai lembaga penegakan etik dalam lembaga perwakilan rakyat sangat penting kedudukannya dalam rangka menjaga marwah dan martabat dari DPR RI dan anggota DPR RI. Salah satu implikasi yang sangat besar dari penguatan MKD adalah dilengkapi dengan berbagai macam tugas, fungsi dan wewenang untuk dijalankan secara tepat, efisien, akuntebel, dan fair dalam rangka menjaga harkat dan martabat DPR RI baik secara kelembagaan maupun secara individual keanggotaan DPR RI. Hal tersebut diatur dalam Pasal 121A, Pasal 122 dan Pasal 122A serta Pasal 122B UU No. 2 Tahun 2018. 4) Bahwa penegakan etik di DPR RI menjadi penting disamping penegakan hukum karena seringkali penegakan hokum mengabaikan aspek etika dan moralitas. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa “Banyak contoh kasus penegakan hukum yang mengesampingkan aspek etika dan moralitas, membuat penegakan hukum kering dari rasa keadilan di masyarakat. Banyak kasus lain yang secara etika dan moralitas harusnya bisa menjadi pertimbangan, namun dikesampingkan atas alasan penegakkan hukum. Ini yang terjadi sekarang. Padahal, hukum itu mengambang di lautan etika. Karena itu bangun etik dulu sebelum penegakkan hukum, ini perlu kita lakukan untuk mendukung sistem hukum kita. Karena selama ini masalah etika hanya dianggap urusan privat. Selama moralitas dan sistem etika itu tidak berfungsi, maka tidak akan ada keadilan hukum di bangsa ini. (Disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dalam acara Konferensi Etik Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (5/4) dalam https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/04/05/o nxe9x361-jimly-assiddiqie-hukum-tanpa-etika-melahirkan- ketidakadilan diakses pada 9 April 2018) 5) Bahwa kemudian dalam berbagai undang-undang, DPR RI telah membuat pengaturan mengenai contempt of court dan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang wajar apabila DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat penyelenggara kedaulatan rakyat yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang memiliki pengaturan mengenai contempt of parliament dalam menjalankan tugas konstitusionalnya 6) Bahwa Pemohon dalam permohonannya pada intinya menyatakan jika Pemohon I membuat konten-konten yang berisi penilaian terhadap kinerja DPR RI atas proses legislasi terkait peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan, kemudian dianggap secara subjektif telah merendahkan kehormatan lembaga DPR RI dan anggota DPR RI, maka Pemohon I dapat secara seketika diambil tindakan hukum/tindakan lain, tanpa perlu mempertimbangkan keberadaan hak jawab dan/atau koreksi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 11 dan 12 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). (Vide perbaikan permohonan perkara nomor 25, hlm. 7) a) Bahwa terhadap pernyataan Pemohon I tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pernyataan Pemohon I tersebut hanya bersifat asumtif dan kekhawatiran semata yang tidak berdasar. Bahwa ketentuan mengenai Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 adalah ketentuan yang mengatur pelaksanaan tugas dan fungsi MKD dalam rangka menjaga kehormatan DPR RI, bukan ketentuan yang melarang dilakukannya kritik atau penilaian terhadap kinerja DPR RI, oleh karena itu, setiap orang termasuk Pemohon tidak perlu khawatir untuk melakukan kritik atau penilaian terhadap kinerja DPR RI karena DPR RI sangat terbuka untuk menerima kritik sebagai sebuah aspirasi rakyat yang harus diterima dan diperjuangkan sebagai kewajiban setiap anggota DPR RI yang harus dijalankan. b) Bahwa salah satu peran DPR RI sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat tetap mengawasi dan menjaga kehormatan DPR RI, karena kehormatan DPR RI sesungguhnya tergantung pada tingkah laku anggota DPR RI tersebut. Oleh karena itu pembentukan MKD yang independen dan profesional dibutuhkan guna menjaga wibawa DPR RI yang ditunjukkan oleh perilaku anggota DPR RI, terutama dalam kondisi kekuasaan parlemen modern yang begitu luas tentunya semakin besar peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). (Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 221). c) Bahwa MKD sebagai lembaga penegakan etik dalam lembaga perwakilan rakyat sangat penting kedudukannya dalam rangka menjaga kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI. Salah satu implikasi dari upaya penguatan MKD adalah dilengkapi dengan berbagai macam tugas, fungsi dan wewenang untuk dijalankan secara tepat, efisien, akuntabel, dan fair dalam rangka menjaga kehormatan DPR RI baik secara kelembagaan maupun secara individual keanggotaan DPR RI. Hal tersebut diatur dalam Pasal 121A, Pasal 122 dan Pasal 122A serta Pasal 122B UU No. 2 Tahun 2018. d) Bahwa MKD tidak dapat serta merta menerapkan norma yang diatur dalam pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 tanpa melalui suatu prosedural yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 122 UU No. 2 Tahun 2018. Bahwa MKD dalam menjalankan fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018, MKD terlebih dahulu harus melakukan langkah-langkah penyelidikan untuk memeriksa dan memverifikasi bukti-bukti yang menunjukkan adanya dugaan penghinaan yang merendahkan kehormatan lembaga dan anggota DPR RI. e) Bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, bahwa pengujian atas undang-undang hanya dapat dimohonkan pengujian terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi bukan pengujian atas undang- undang terhadap undang-undang. Atas dasar itu tidak berdasarkan hukum apabila Pemohon I dalam dalilnya mempertentangkan UU No. 2 Tahun 2018 dengan UU Pers. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia, karena dalil Pemohon I yang mempertentangkan atau menguji UU No. 2 Tahun 2018 dengan UU Pers tidak perlu dipertimbangkan. 7) Bahwa Pemohon I beranggapan yang dikemukakan dalam permohonannya : “selain itu, rumusan dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 sepanjang frasa “tindakan hukum” telah berlebihan, dan sesungguhnya tidak saja hanya bersifat penegasan serta memperlihatkan adanya standar ganda dari hak-hak setiap orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan/atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi juga seolah-olah memberikan kewenangan lain yang tidak terbatas kepada MKD DPR dengan adanya rumusan norma “tindakan lain” dalam Pasal a quo.” (Vide perbaikan permohonan perkara nomor 25, hlm. 7) a) Bahwa terhadap anggapan Pemohon I tersebut di atas, terlihat kurangnya pemahaman Pemohon I terhadap materi muatan yang terkandung dalam Pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. Bahwa frasa “langkah hukum” dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 tidak berarti hukum pidana menjadi primum remedium. Hukum pidana tetap menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) dalam penyelesaian perkara contempt of parliament. Selain itu, rumusan frasa “langkah hukum” yang diikuti oleh frasa “dan/atau langkah lain” dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 bermakna kumulatif alternatif. Artinya, langkah hukum dapat dialternatifkan dengan langkah lain atau langkah hukum dikumulatifkan dengan langkah lain. b) Bahwa frasa “langkah lain” sebagai pilihan bahwa MKD tidak selalu serta merta harus mengambil langkah hukum terhadap setiap orang dan/atau sekelompok orang yang diduga merendahkan kehormatan DPR RI, tetapi juga dapat melakukan langkah lain seperti memanggil pihak yang bersangkutan untuk dimintai keterangan maupun tindakan alternatif lainnya selain daripada hukum pidana. 8) Bahwa frasa ‘mengambil langkah hukum dan atau/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI justru menunjukkan tindakan untuk menghormati hukum dalam menangani suatu perkara. Adapun langkah lain yang dimaksud tentunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bahwa perlu dipahami oleh Pemohon I, pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 sama sekali tidak menghalangi masyarakat untuk mengkritisi, memberikan pendapat, menyampaikan aspirasi, dan berunjuk rasa dalam bentuk apapun kepada DPR RI sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa kekhawatiran Pemohon I sebagai pengelola situs buruhonline.com yang menyajikan informasi dan pandangan atau pendapat terhadap kinerja wakil rakyat di DPR RI atas proses legislasi terkait ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang sangat mungkin memuat konten yang dapat dianggap sebagai bagian dari merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR, adalah suatu asumsi yang sesungguhnya tidak berdasarkan bukti-bukti hukum, dan bukan persoalan konstitusionalitas undang-undang a quo karena Pemohon I tidak memiliki hubungan hukum, kepentiangan atau pertautan antara kerugian yang dinyatakan Pemohon I dengan pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. 9) Bahwa adanya kekhawatiran Pemohon I terhadap berlakunya Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 yang akan mengancam kemerdekaan berpendapat, berserikat, berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28 G ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah tidak berdasar sama sekali secara hukum, karena UU No. 2 Tahun 2018 tidak mengatur ketentuan yang melarang masyarakat untuk menyampaikan kritik, masukan, pendapat, dan bahkan unjuk rasanya, sepanjang itu disampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. • Pengujian Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 1) Bahwa DPR RI berpandangan, fungsi parlemen atau lembaga perwakilan rakyat sejatinya adalah untuk menerima dan menyampaikan aspirasi masyarakat atau rakyat yang diwakilinya. Parlemen yang berasal dari kata ‘Parler’ (Bahasa Prancis) yang artinya adalah ‘berbicara’. Lalu apa yang dibicarakan? yaitu Parlemen menyuarakan kebenaran dalam rangka mewakili rakyat, maka Hak Imunitas adalah penting dimiliki oleh anggota DPR RI. Bahwa betapa mengerikannya bila parlemen tidak dilengkapi dengan hak imunitas. Betapa kekuasaan Raja atau Kepala Negara akan memiliki potensi untuk disalahgunakan demi menutupi kebenaran dan demi kelanggengan kekuasaan belaka. 2) Bahwa hak imunitas parlemen yang lebih konkrit wujudnya berasal dari persidangan di parlemen Inggris tahun 1397, yang ketika itu House of Commons meloloskan rancangan undang-undang yang mengecam skandal keuangan Raja Richard II dari Inggris. Thomas Haxey, anggota House of Commons yang berada dibalik tindakan perlawan terhadap Raja Richard II itu kemudian diadili dan dihukum mati atas dasar tuduhan penghianatan. Setelah mendapatkan tekanan dari House of Commons, hukuman terhadap Haxey tidak jadi dilaksanakan dan Haxey mendapatkan pengampunan dari Raja. Peristiwa Haxey telah mendorong House of Commons untuk meninjau hak anggota parlemen untuk membahas dan memperdebatkan kebebasan dan kemandirian yang utuh tanpa campur tangan Raja. Kebebasan berbicara diperkenalkan ke House of Commons pada awal abad ke-16 dan kemudian ditetapkan dalam Bill of Rights tahun 1689, yang menegaskan perlindungan terhadap pembicaraan dan tindakan anggota parlemen dari segala bentuk campur tangan atau keberatan dari luar parlemen. The 1689 Bill of Rights menjamin penuh kebebasan berbicara dalam parlemen dan mencegah pengadilan untuk mempersoalkan cara kerja parlemen melalui pengujian yudisial. Peristiwa Haxey adalah bukti nyata yang memberikan kesadaran penuh bagi kita bahwa Anggota Parlemen harus memiliki “taring” dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Salah satu “taring” itu adalah Hak Imunitas. 3) Bahwa anggota DPR RI diberikan sejumlah hak salah satunya ialah hak imunitas berdasarkan Pasal 20A ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain, Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”. Artinya hak imunitas yang diatur tersebut tidak dibatasi. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR RI harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR RI tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang konstitusionalnya. Keberadaan hak imunitas ini akan menjadikan anggota DPR RI dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif untuk menyuarakan kepentingan bangsa dan negara. Sudah jelas, pelaksanaannya harus tetap dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of power. Hak imunitas anggota DPR RI adalah untuk melindungi dan mendukung kelancaran tugas-tugas anggota DPR RI sebagai wakil rakyat dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI. 4) Bahwa perlu dipahami bahwa tujuan pokok hak imunitas parlemen adalah melindungi anggota parlemen dari tekanan yang tidak semestinya yang tujuannya mencegah mereka untuk memenuhi fungsinya dengan baik. Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan pembalasan atas dasar motif politik pula. 5) Bahwa menurut Dr. Ni’Matul Huda, S.H., M. Hum (2016) dalam bukunya “Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi”, halaman 105- 115 berpandangan bahwa sistem perimbangan kekuasaan (checks and balances) cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dimaksudkan ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperbaiki kelemahan yang dikandung oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip checks and balances yang memadai. 6) Bahwa dengan kekuasaan Presiden yang begitu luas dalam sistem pemerintahan presidential yang membuat peran Presiden lebih menonjol dibandingkan dengan peran lembaga legislatif, maka fungsi check and balances menjadi sangat penting agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan. Oleh karena itu, untuk melindungi anggota DPR RI dalam melakukan check and balances agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan, maka diperlukan adanya Hak Imunitas dalam menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya. 7) Bahwa Pemohon II dalam permohonannya beranggapan yang pada intinya menyatakan bahwa berlakunya Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 bertentangan dengan asas equality before the law dan prinsip non-diskriminasi. (vide Perbaikan Permohonan, hlm 8). a) Bahwa terhadap anggapan Pemohon II tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami Pemohon II dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018. Bahwa ketentuan UU No. 2 Tahun 2018 sudah merumuskan ketentuan yang memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan perlindungan dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta tidak bersifat diskriminatif. Bahwa terkait dengan batasan diskriminasi perlu merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 1 angka 3 yang dimaksud diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (3) UU HAM, maka pasal a quo UU No. 2 Tahun 2018 tidak memenuhi unsur-unsur diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM. Dengan demikian Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tidak bersifat diskriminatif. b) Bahwa mengutip pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa: “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57). 8) Bahwa dalam menangani suatu perkara terkait dengan menjaga dan menegakkan kehormatan marwah DPR RI, dalam forum-forum kasus tertentu, MKD memiliki forum yang mengundang perwakilan masyarakat untuk ikut hadir dalam rapat MKD. Disini dapat kita lihat bahwa walaupun seluruh anggota MKD adalah anggota DPR RI, tetapi sifat rapatnya tidak tertutup, melainkan melibatkan pihak-pihak masyarakat. Dengan demikian, daya kontrol atau pengawasan masyarakat akan kasus-kasus yang ditangani oleh MKD tetap ada dan bahkan akan sangat membantu bagi anggota MKD, agar setiap keputusan MKD berdasarkan pada masukan-masukan dan aspirasi masyarakat. 9) Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, dengan berlakunya ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018, pengaturan norma tersebut tidak dimaksudkan untuk menghalangi proses penegakan hukum, namun lebih kepada sebuah kepastian bahwa panggilan terhadap anggota DPR RI memiliki bukti ataupun landasan yuridis yang kuat bukan dilatarbelakangi kepentingan politik.

25/PUU-XVI/2018

Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 27, 28, 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945