Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

14/PUU-XVI/2018

Keruigian Konstitusional: 1. Bahwa menurut Para Pemohon inisiatif penambahan penyertaan modal Negara hanya dilakukan semata-mata berdasarkan motivasi ekonomi yang terkait dengan permodalan dan/atau kapasitas usaha sebagai konsekuensi dari norma yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Seharusnya motivasi untuk penambahan penyertaan modal negara dilakukan dengan pertimbangan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dicita-citakan dalam Pasal 33 UUD 1945; (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) 2. Bahwa hak konstitusional Para Pemohon dirugikan karena bunyi frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) dalam UU BUMN menyebabkan adanya penyelewengan dalam peraturan turunan yang mendegradasi peran DPR sebagai representasi Para Pemohon dalam melakukan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Hal tersebut terbukti dengan Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas Pasal 2A ayat (1) yang berbunyi “…Penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan Negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. (Vide perbaikan permohonan hlm. 14) Legal Standing: a) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 DPR RI berpandangan Para Pemohon memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. b) Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; DPR RI berpandangan bahwa hak dan/kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagaimana yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak dirugikan oleh ketentuan a quo. Hal ini dikarenakan Pasal 2 ayat (1) huruf c undang-undang a quo yang menjelaskan “maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Berdasarkan frasa “bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak” tersebut ketentuan a quo tidak hanya terbatas pada huruf a dan b yang mengatur mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN. Sehingga dapat diartikan selain bertujuan mengejar keuntungan, BUMN memiliki maksud dan tujuan lain yang salah satunya diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c undang-undang a quo. Para Pemohon hanya mengartikan maksud ketentuan a quo hanya mencakup sebagian tidak mengartikan maksud ketentuan a quo secara keseluruhan dalam tiap huruf pasal a quo. Maka atas penjelasan tersebut, dapat dinyatakan ketentuan a quo telah sesuai dengan maksud Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Terkait dengan ketentuan frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” pada Pasal 4 ayat (4) undang-undang a quo yang dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon tidak menguraikan secara rinci letak kerugian hak/dan atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, DPR berpandangan bahwa hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 tidak ada yang dilanggar oleh ketentuan a quo. c) Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; DPR RI berpandangan bahwa kerugian Para Pemohon tidak dapat dinyatakan potensial terjadi. Hal ini karena dalam permohonan nya. Para Pemohon tidak menjelaskan kerugian secara spesifik dan aktual, dengan demikian tidak ada kerugian yang bersifat konstitusional. Selin itu lahirnya undang-undang a quo sendiri tidak terlepas dari Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang tercantum dalam konsiderans mengingat undang-undang a quo. Berdasarkan hal tersebut, maka kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak potensial terjadi karena ketentuan a quo sudah sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; DPR RI berpandangan bahwa dengan tidak diuraikan kerugian yang bersifat spesifik dan akutal serta tidak ada kerugian konstitusional maka sudah jelas tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo. e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan.atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak terjadi lagi; DPR RI berpandangan bahwa dengan tidak adanya kerugian konstitusional Para Pemohon, maka apabila permohonan a quo dikabulkan atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon mengingat tidak adanya kerugian Para Pemohon yang bersifat konstitusional. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon secara keseluruhan dari kelima syarat tersebut tidak memenuhi kedudukan hukum (legal standing).Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Pokok Permohonan: 1) Bahwa bila Para Pemohon dalam permohonannya merasa hak konstitusional nya dirugikan atas ketentuan a quo khususnya Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b yang dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945, maka DPR RI berpandangan bahwa dalil yang diuraikan Para Pemohon tidak beralasan. Karena bila ketentuan a quo kemudian dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf c undang-undang a quo menyatakan bahwa “maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPR RI berpandangan meskipun BUMN didirikan salah satu tujuannya mengejar keuntungan, maka perlu digaris bawahi bahwa meskipun mengejar keuntungan, BUMN juga dalam pendiriannya ditujukan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak yang juga telah sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Selain itu DPR berpandangan bahwa ketentuan a quo tidak boleh diartikan hanya sebatas huruf a dan b saja, melainkan Para Pemohon harus mengartikan keseluruhan maksud pasal a quo. Sehingga menjadi dapat dipahami bahwa BUMN didirikan bertujuan tidak terlepas pada upaya mengejar keuntungan tetapi juga tetap melakukan upaya pemenuhan hajat hidup orang banyak sebagaimana amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945; 2) Bahwa tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap Penyertaan Modal Negara (untuk selanjutnya disebut PMN) pada BUMN berikut segala perubahannya menjadi sangat penting. Hal ini karena modal negara pada BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara yang yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaannya. BUMN tunduk pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai sudut pandang government judgment rule, karena memandang keuangan BUMN termasuk ke dalam keuangan negara, diantaranya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan negara (UU PPTKP), Pasal 2 huruf g Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Semua undang-undang itu menyatakan bahwa keuangan BUMN masuk ke dalam keuangan negara, sehingga tata kelola dalam pengelolaan BUMN berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik termasuk di dalamnya bussiness judgment rule yang wajib dilakukan bagi direksi sebelum mengambil keputusan bisnis, dianggap sebagai tata kelola keuangan negara dan merupakan bagian dari administrasi negara. 3) Bahwa dalam menjalankan fungsi anggaran, DPR RI dalam praktiknya tetap memiliki peranan penting dalam memberikan persetujuan atas PMN, artinya ketika ada perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara di BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui PMN, maka tetap perlu melalui mekanisme APBN yaitu persetujuan DPR RI. 4) Bahwa dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR RI di bidang keuangan negara, DPR RI memberikan pengawasan bukan hanya pada saat penetapan APBN, tetapi juga dalam pengelolaannya, supaya terbuka, bertanggung jawab, dan betul-betul dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengawasan ini termasuk pemberian persetujuan kegiatan-kegiatan terhadap langkah pemerintah dalam penggunaan keuangan negara salah satunya PMN. 5) Bahwa Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945, menjelaskan: (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 6) Bahwa mengacu pada pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 62/PUU-XI/2013 menyatakan “bahwa benar, kekayaan negara telah bertransformasi menjadi modal BUMN atau BUMD sebagai modal usaha yang pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgement rules), namun pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih menjadi kekayaan BUMN atau BUMD yang terlepas dari kekayaan negara, karena dari perspektif transaksi yang terjadi jelas hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai pengalihan kepemilikan, oleh karenanya tetap sebagai kekayaan negara dengan demikian kewenangan negara di bidang pengawasan tetap berlaku. (Vide pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XI/2013 halaman 23); 7) Bahwa berdasarkan uraian di atas, atas frasa “Ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” pada Pasal 4 ayat (4) undang-undang a quo tetap dimaknai bahwa setiap PMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan melalui mekanisme APBN yaitu dalam hal ini persetujuan DPR. Maka DPR berpandangan, bukan undang-undang a quo yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, melainkan ketentuan dalam peraturan pelaksananya. Hal ini mengingat dalam peraturan pelaksana dari ketentuan a quo yang mengatur lebih lanjut bahwa “PMN pada BUMN atau Perseroan Terbatas dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN” yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN (PP 44 Tahun 2005) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 (PP 72 Tahun 2016) disebutkan bahwa “penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Sehingga DPR RI berpandangan tidak tepat bila permohonan uji materiil tersebut ditujukan terhadap UU a quo, karena justru peraturan pelaksana dari uu a quo yang justru dalam tataran implementasinya telah mendegradasi fungsi DPR RI. Dengan demikian menjadi patut bagi Para Pemohon untuk mengajukan permohonan tersebut bukan ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke lembaga yang lebih berwenang dalam mengadili uji materiil peraturan di bawah undang-undang yaitu dalam hal ini adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI).

14/PUU-XVI/2018

Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 4 ayat (4) UU BUMN

Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945