67/PUU-XV/2017
Kerugian Konstitusional: a. Bahwa Pemohon Perkara 67 beranggapan, bahwa Pemohon tidak mendapatkan haknya sebagai Peserta Pemilu maupun mendapatkan haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, karena Pemohon seharusnya diberikan ruang yang cukup untuk mendapatkan status sebagai Partai Politik Peserta Pemilu atau pernah disahkan secara hukum memenuhi syarat-syarat sebagai peserta pemilu. (Vide permohonan hal 16) b. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 67 dianggap bertentangan dengan 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945 Legal Standing: Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara Nomor 67 dan 73/PUU-XV/2017, terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon a quo, harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal standing) mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: a. Pandangan Umum. 1) Bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara yang demokratis. Karena melalui Pemilu sebuah pemerintahan ditentukan dan dipilih secara langsung oleh rakyat dan mendapatkan mandat dari rakyat untuk mengurus bangsa dan negara ini demi kesejahteraan rakyat. Bahwa Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam sebuah negara adalah: 1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; 2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; 3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan 4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara; 2) Bahwa pelaksanaan Pemilu yang diatur dalam UU a quo, adalah amanat konstitusional Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah". Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 tersebut, Pemilu meliputi pemilihan “Dewan Perwakilan Rakyat”, “Dewan Perwakilan Daerah”, dan ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dan pemilihan “Presiden dan Wakil Presiden”. Walaupun terdapat dua pemilihan umum tersebut, namun prinsip utama Pemilu sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”; 3) Bahwa pemilu untuk memilih Presiden dan wakil Presiden selain diatur di Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 juga diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 ini mengandung makna yakni Pertama, yang menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau gabungan partai politik melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, partai politik atau gabungan partai politik sebagai pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan Ketiga, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD, pemilihan umum pasangan calon presiden dan wakil presiden; 4) Bahwa dasar dilakukannya pembentukan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (yang kemudian ketika diundangkan menjadi UU Pemilu) yang merupakan juga kodifikasi undang-undang terkait dengan kepemiluan ini didasari atas Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 yang pada pokoknya telah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU No.42 Tahun 2008). Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 menjadi momentum yang tepat bagi pembentuk undang-undang untuk mengkodifikasikan berbagai undang-undang terkait dengan kepemiluan yang pengaturannya masih tersebar dalam sejumlah undang-undang kedalam 1 (satu) naskah undang-undang. Yaitu mulai dari UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU No. 15 Tahun 2011), kemudian UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012), dan terakhir UU Nomor 42 Tahun 2008. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legialatif diselenggarakan dalam waktu yang berbeda. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dipandang perlu untuk menyatukan dua jenis Pemilu tersebut (Pileg dan Pilpres) maka undang-undangnya pun penting untuk diselaraskan pengaturannya yang mengatur pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif dilaksanakan serentak; 5) Bahwa pengaturan Pemilu serentak dimaksud tercermin dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yakni tepatnya dalam pertimbangan mahkamah angka [3.20] huruf b Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa: “Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif”; b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa Pasal 173 UU Pemilu yang dipersoalkan oleh Pemohon 67 dan Pemohon 73 yang mengatur tentang persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu yang dianggap oleh Pemohon 67 dan Pemohon 73 sebagai pasal yang bersifat diskriminatif. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandagan bahwa Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu mengatur bahwa Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Atas dasar ketentuan Pasal 173 UU a quo, Partai politik lama (yang sudah pernah diverifikasi sebelumnya) dan partai politik baru (yang baru pertama kali diverifikasi) yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu adalah partai politik yang telah lulus verifikasi oleh karenanya tidak perlu diverifikasi ulang. Bahwa persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal 173 UU Pemilu sebagai syarat untuk lolos verifikasi dan persyaratan tersebut oleh KPU dilakukan penelitian keabsahan secara administrasi yang penetapan keabsahan persyaratannya oleh KPU dipublikasikan melalui media massa sebagaimana diatur di Pasal 174 UU Pemilu yang berketentuan sebagai berikut: (1) KPU melaksanakan penelitian keabsahan administrasi dan penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173. (2) Penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan oleh KPU dipublikasikan melalui media massa. (3) Ketentuan mengenai tata cara penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU. Bahwa ketentuan Pasal a quo menujukkan bahwa KPU dalam rangka menentukan partai politik yang lolos verifikasi, KPU melaksanakan penelitian administrasi (penelitian berkas-berkas) tidak melakukan verifikasi secara faktual (turun langsung ke lapangan). Bahwa secara normatif syarat-syarat yang diatur di Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu adalah berlaku untuk semua partai politik untuk lulus verifikasi apalagi syarat tersebut ada di UU Partai Politik ketika pendirian partai politik. Sehingga Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu tidaklah bersifat diskriminatif. 2) Bahwa Pasal 173 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g serta ayat (3) UU Pemilu juga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada intinya menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena norma pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji justru memberikan kesempatan bagi seluruh partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Bahwa perlakuan yang tidak sama belum tentu diskriminatif, demikian pula bahwa esensi keadilan bukan berarti harus selalu sama, melainkan perlu pula dilihat secara proporsional. 3) Bahwa dalam perumusan Pasal 173 UU Pemilu, pembentuk undang-undang telah mempelajari dan berpegangan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 yang pada halaman 93 pertimbangan Putusan MK tersebut menyatakan sebagai berikut: “Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo”. Berdasarkan solusi untuk persamaan hak tersebut, pembentuk undang-undang menjatuhkan pilihan dengan menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu 2014 dengan partai politik peserta pemilu 2019. Meskipun dalam pembahasan RUU Pemilu terdapat keinginan untuk merumuskan syarat-syarat baru, namun pada akhirnya disepakati untuk tetap menggunakan syarat sama seperti yang sebelumnya. Bahwa sehingga jika dibandingkan, maka syarat dalam ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu adalah sama persis dengan syarat-syarat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 (UU Pemilu sebelumnya). 4) Bahwa norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu ini memiliki nilai kemanfaatan yaitu bahwa sebelum pembentukan UU Pemilu ini, DPR RI sudah pernah mendapatkan gambaran dari KPU mengenai besaran biaya yang dibutuhkan untuk Pemilu 2019 yaitu sebesar Rp 600 miliar yang harus dikeluarkan hanya untuk kepentingan verifikasi faktual partai politik. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang merumuskan pasal a quo untuk penghematan anggaran negara. Bahwa pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Hal ini juga sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit). Radbruch (….) menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas. Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo (…), hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu. 5) Bahwa ketika membentuk UU Pemilu, DPR RI yang diwakili oleh Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu sudah pernah berkunjung ke Mahkanah Konstitusi pada tanggal 14 Desember 2016 untuk berkonsultasi mengenai sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan kepemiluan, salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Bahwa Mahkanmah Konstitusi berpandangan saat itu bahwa rumusan norma pasal a quo merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang). Bahwa norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu merupakan suatu norma yang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan terdapat delegasi kewenangan yang diberikan kepada pembentuk undang-undang dalam melaksanakan Pemilu ini berdasarkan Pasal 22 E ayat (6) UUD Tahun 1945 yang menyatakan: (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu maka pengaturan mengenai Pemilu termasuk norma Pasal 173 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g serta ayat (3) UU Pemilu merupan open legal policy. Hal yang sama juga merujuk pada Pendapat Mahkamah pada angka [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa jika norma yang sifatnya kebijakan hukum terbuka ini dirasa buruk oleh Pemohon bukanlah pelanggaran konstitusi. Karena walaupun Pemohon menilai hal ini adalah buruk tidak selalu melanggar konstitusi, kecuali jika norma tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. 6) Bahwa Pasal 173 UU Pemilu tidak mengatur mengenai penyederhanaan partai politik, karena justru Pasal 173 UU Pemilu membuka ruang baik untuk partai lama dan partai baru untuk dapat menjadi partai politik peserta Pemilu lewat verifikasi secara administrasi oleh KPU. Adapun terkait dengan penyederhanaan partai politik diatur dalam ketentuan Pasal 414 UU Pemilu yang berketentuan: “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”
67/PUU-XV/2017
Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945