Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

68/PUU-XV/2017

Kerugian Konstitusional: Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya sebagai berikut: 1. Bahwa menurut Pemohon pasal a quo tidak memuat tujuan yang jelas dari pemidanaan tersebut sehingga tidak mencerminkan asas keadilan secara proporsional bagi Para Pemohon. (vide perbaikan permohonan hal. 8) 2. Bahwa Pemohon beranggapan materi muatan yang serupa namun berbeda subjek hukumnya di Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat secara hukum adalah bersifat diskriminatif. (vide perbaikan permohonan hal. 9) Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut: • Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum” • Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” • Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Legal Standing Perkara: Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu: a. Perorangan warga Negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga Negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya bahwa “yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan bahwa hak-hak yang secara eksplisit diatur di dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu menurut UU Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Para Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik/khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Bahwa yang dimohonkan Pemohon adalah sesuatu yang belum dibuktikan kerugiannya bersifat spesifik atau aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya pasal-pasal a quo. Bahwa tujuan pembentukan UU SPPA sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA adalah penekanan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan anak, sementara Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional yang dialami adalah karena pasal a quo mengakibatkan adanya kriminalisasi yang berlebihan terhadap jaksa (vide perbaikan permohonan hal. 8). Bahwa antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan pengujian tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya ketentuan pasal a quo. Berdasarkan pada hal-hal yang tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya ketentuan dalam UU SPPA yang terdapat dalam Pasal 99 yakni bahwa ketentuan pasal a quo tersebut bersifat tidak memenuhi asas keadilan secara proporsional sehingga merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dijamin UUD Tahun 1945 yakni: Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut : 1) Bahwa Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B UUD Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. 2) Bahwa data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat. Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rightsof the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. 3) Bahwa namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. 4) Bahwa penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap Anakyang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum. Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. 5) Bahwa proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalahserta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang muncul, adakalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenaitindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. 6) Bahwa mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 7) Bahwa tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4 UUD Tahun 1945 yaitu, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila; 8) Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Penegak hukum yang menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat persidangan harus mendalami masalah anak agar pasca perkaranya diputus, anak tersebut baik secara fisik dan mental siap menghadapi masa depannya secara lebih baik. 9) Bahwa sesuai amanat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berketentuan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”; maka fokus tujuan pengaturan dalam UU SPPA adalah pengaturan tentang hukum acara yang bertujuan melindungi anak dan meminimalisir dampak buruk akibat anak harus diproses secara hukum. Bahwa pengaturan terkait keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar, serta pemidanaan yang tidak memperburuk harapan akan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. 10) Bahwa Pasal 1 angka 1 UU SPPA, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, termasuk tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa in casu penuntut umum. Dengan demikian, penuntut umum dalam melaksanakan kewenangan penuntutan dalam perkara pidana anak haruslah tunduk pada ketentuan dalam UU SPPA. 11) Bahwa sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER- 036/A1JAl09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dinyatakan bahwa: “Dalam hal penanganan perkara tertentu terdapat kekhususan hukum acara, seperti: a. penanganan perkara anak berhadapan hukum.” Dengan demikian, penanganan perkara oleh penuntut umum sudah seharusnya keluar dari Standard Operasional Prosedur yang biasa dilakukan penuntut umum dalam tindak pidana umum dan disesuaikan dengan hukum acara undang-undang khusus tersebut. 12) Bahwa sebagai suatu sistem penegakkan hukum pidana, UU SPPA memiliki tiga aspek penegakan hukum yaitu aspek hukum pidana materiil, aspek hukum pidana formil, dan aspek hukum pelaksanaan pidana. Terkait permohonan a quo, permasalahan materi pasal a quo adalah pada ranah penegakkan hukum pidana formil dimana jaksa akan diberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun jika menyalahi ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU SPPA yang berisi: “Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.” 13) Bahwa Pemohon mendalilkan kewenangan penuntut umum untuk melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik untuk dilakukan penuntutan diberikan oleh Pasal 14 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), (Vide perbaikan permohonan hal. 16). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut bertentangan dengan merujuk pada Pasal 5 ayat (2) huruf a UU SPPA yang menyatakan bahwa: “Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Oleh karena itu, meskipun aspek pidana formil secara umum telah diatur dalam KUHAP, namun karena UU SPPA telah mengatur secara khusus terkait aspek pidana formil dalam sistem peradilan pidana anak, terutama terkait penyidikan dan penuntutan, maka yang seharusnya menjadi ketentuan rujukan untuk digunakan oleh penuntut umum adalah ketentuan dalam UU SPPA. 14) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) KUHAP yang berisi: “untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan”. KUHAP telah memberikan wewenang penuntut umum in casu jaksa pada Kejaksaan Negara RI untuk dapat melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, dan selanjutnya wajib bagi penuntut umum yang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk melepaskan tersangka dari tahanan demi hukum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) KUHAP yang berketentuan: “setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum” . Dengan demikian, kewajiban penuntut umum untuk mengeluarkan anak dari penahanan adalah kewajiban dari penuntut umum in casu jaksa pada Kejaksaan Negeri RI dan bukan kewajiban dari petugas tempat anak ditahan. 15) Bahwa Pemohon mendalilkan kejaksaan yang dalam melaksanakan kewenangannya diberikan kemerdekaan secara penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) (Vide perbaikan permohonan hal. 14) yang berketentuan: “Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.” Namun demikian, keterangan lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan hal 2 yang menentukan bahwa: “Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka.” Menurut penjelasan diatas, kemerdekaan kejaksaan yang diberikan oleh UU Kejaksaan adalah pada bidang penuntutan. Bahwasanya dalam melaksanakan kewenangan penuntutan, kejaksaan harus terbebas dari pengaruh ataupun paksaan dari pihak manapun. Penahanan dan perpanjangan penahanan yang masih dalam rangkaian bidang penuntutan masih dalam kewenangan penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU SPPA yang berketentuan: (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. 2) Bahwa yang menjadi materi muatan dalam Pasal 99 jo. Pasal 34 ayat (3) UU SPPA adalah berakhirnya masa perpanjangan penahanan yang secara mutatis mutandis juga berakhirnya kewenangan penuntut umum untuk dapat melakukan penahanan untuk kepentingan penuntutan. Oleh karena itu, kemerdekaan kewenangan penuntut umum tetap memiliki pembatasan demi terciptanya kepastian hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 16) Bahwa penuntut umum in casu jaksa pada Kejaksaan Negeri RI adalah tidak sepenuhnya independen karena memiliki jenjang hierarki sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU Kejaksaan yang berketentuan: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.” Jenjang hierarki sebagaimana disebut diatas kemudian dijelaskan dalam Pasal 5 UU Kejaksaan yang berketentuan: “Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.” Selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan hal. 2 bahwa: “Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.” Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, jenjang hierarki secara vertikal terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Jenjang hierarki tersebut mengharuskan penuntut umum untuk melakukan konsultasi dan mengikuti arahan dalam membuat rencana tuntutan. Pertanggungjawaban Kejaksaan dalam konteks hukum administrasi negara mengacu pada asas pertanggungjawaban yang menghendaki setiap tindakan badan/pejabat administrasi dapat dipertanggungjawabkan baik menurut ketentuan hukum tertulis maupun tidak tertulis, yakni asas-asas umum pemerintahan yang adil dan layak. (Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip./1970 dalam perkara Josopandojo; Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/Pemb./0159/77, tanggal 25 Februari 1977.) 17) Bahwa dengan demikian, kedudukan jaksa dalam melaksanakan fungsi penegakkan hukum dan dalam menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakkan hukum secara mutatis mutandis jelas tidak mandiri dan tidak independen. (Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia, Jakarta, 2005. Hal. 148). Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan pasal a quo telah mengancam independensi jaksa dalam wewenangnya melakukan penuntutan (Vide perbaikan permohonan hal 5) adalah tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Kejaksaan. 18) Bahwa ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UU SPPA memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan penahanan terhadap Pelaku anak (child offender) demi kepentingan penuntutan selama 5 hari. Selanjutnya dalam ayat (2) diatur ketika penuntut umum ingin memperpanjang penahanan harus melalui izin Hakim Pengadilan Negeri untuk tambahan perpanjangan 5 hari. Hal ini sengaja dibuat oleh pembuat undang-undang dengan tujuan agar proses penuntutan Pelaku Anak harus disegerakan dan tidak boleh berlama-lama demi kepentingan Anak. 19) Bahwa penggunaan frasa “dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban” dalam Pasal 34 ayat (3) UU SPPA merupakan sebuah delik omisi (ommissie delicten). Delik omisi merupakan perbuatan pidana yang oleh pembuat undang-undang dirumuskan demikian dengan kata lain dinyatakan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan pasif, tidak berbuat atau mengabaikan kewajiban hukum dimana seharusnya ia berbuat aktif. (Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, 1987. Hal. 308) 20) Bahwa penahanan dalam masa penuntutan adalah kewenangan yang diberikan kepada penuntut umum in casu jaksa pada Kejaksaan RI. Meskipun tempat penahanan bukan berada di kantor kejaksaan tetapi dititipkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU SPPA, namun demikian kewajiban untuk mengeluarkan anak dari penahanan tetap berada di penuntut umum. 21) Bahwa ketentuan Pasal 99 UU SPPA diawali dengan rumusan frase “dengan sengaja”. Tentunya pengadilan harus membuktikan dulu unsur kesengajaan dari pelaku yakni menentukan niat dari pelaku. Pengadilan harus membuktikan bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki (weten and willen) untuk melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 99 UU SPPA dalam penerapannya tetap dilakukan secara hati-hati. 22) Bahwa Pemohon mendalilkan tidak dilepasnya pelaku anak dari tahanan setelah berakhirnya waktu perpanjangan penahanan merupakan tanggung jawab pihak extra judicial yaitu petugas dimana tempat anak ditahan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU SPPA yang berisi (Vide perbaikan permohonan hal 18): “Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum.” Terhadap dalil Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa yang menjadi materi muatan dalam pasal a quo adalah kesengajaan penuntut umum untuk tidak melaksanakan kewajiban mengeluarkan anak dari tahanan. Sehingga yang memiliki kewajiban untuk melakukan perintah untuk mengeluarkan anak dari tahanan setelah perpanjangan penahanan berakhir adalah penuntut umum in casu jaksa pada Kejaksaan RI. 23) Bahwa Pemohon mendalilkan adanya diskriminasi dengan tetap memberlakukan pasal a quo dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 110/PUU-X/2012 yang membatalkan pidana hakim dalam UU SPPA. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) Pasal 1 angka 3 berketentuan: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kuloktif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Hakim dan jaksa adalah dua subjek hukum yang berbeda dengan tugas pokok dan fungsi yang juga berbeda, sehingga dengan merujuk Pasal 1 angka 3 UU HAM tidak dapat dikategorikan sebagai diskriminasi. 24) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa: “Tanpa adanya ketentuan pidana maka larangan atau kewajiban tersebut tidak akan mempunyai akibat hukum sama sekali karena aturan tersebut tidak dapat ditegakkan dengan penggunaan kekuasaan negara. Larangan hanya berarti sebagai himbauan saja” (Vide putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-VIII/2010 halaman 118). Dengan demikian DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 99 UU SPPA bertujuan untuk penegakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU SPPA serta bukan untuk melakukan intervensi kepada penuntut umum. 25) Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan dalam Keterangan DPR, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang-undang a quo sebagai berikut: a) Bahwa terkait dengan substansi “penahanan anak”, asas yang digunakan sebagai dasar penahanan dalam UU SPPA adalah tidak boleh dilakukannya penahahan terhadap anak. Hal ini dapat dilihat pada risalah pembahasan Rancangan UU SPPA pada Rapat Dengar Pendapat Umum hari Selasa, 21 Februari 2012 dengan acara mendengarkan pendapat umum terhadap pembahasan UU SPPA. Ketua Panja RUU SPPA (DR. Beny K. Harman): “Bahkan kita sudah ubah azas, azasnya kita sudah ubah dan tidak boleh dilakukan penahanan. Malah kita Dewan jauh lebih progressif dari yang diusulkan tadi. Kita di Panja, usulannya tidak boleh dilakukan penahanan.” b) Bahwa terkait dengan substansi “pertanggungjawaban penuntut umum yang lalai membebaskan anak pasca perpanjangan penahanan”, pembentuk UU SPPA menghendaki harus adanya sanksi tegas bagi penuntut umum. Hal ini dapat dilihat pada risalah pembahasan Rancangan UU SPPA pada Rapat Dengar Pendapat Umum hari Rabu, 27 Juni 2012 dengan acara mendengarkan pendapat mini fraksi-fraksi terhadap pembahasan UU SPPA: Drs. M. NURDIN, MM (F-PDIP): “Kembali pada niat awal membentuk Undang-Undang ini. Memang katanya restoratif justice. Jadi, berbeda dengan Pengadilan-pengadilan yang sekarang dilakukan. Kemudian juga diversi itulah yang utama. Oleh karenanya Pasal yang untuk Penegak Hukum harus diperhatikan, adalah bila tidak melakukan diversi dan tidak melakukan tugasnya dalam hal yang beda tersebut penahanan. Tiap-tiap tahap di penyidik, di penuntutan dan di pengadilan itu ada dilakukan penahanan terhadap anak. Oleh karenanya, dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah tanggung jawab si Penyidik, Penuntut Umum, ataupun Hakim yang kewajibannya tidak dilakukan dengan benar, itu ada sanksinya. Ini yang kemudian dirumuskan di dalam pasal-pasal itu. Oleh karenanya, ini hal yang baru yang diawali di Undang-Undang Sistem Peradilan Anak itu kepada tanggung jawab pada Penegak Hukum itu. Memang jadi hal baru pasti jadi lain masih. Jadi, sekarang kalau misalnya hasil penyidikan, hasil penuntutan kemudian hasil pengadilannya bebas, itukan sekarang tidak diatur sanksinya untuk Penyidik dan Penuntut Umum, apakah tidak salah dia menyidik atau menuntut. Nah di Undang-Undang ini diberikanlah kira-kira rambu-rambu itu utamanya di rambu penahanan atau di diversi. Kalau tidak melakukan diversi, dihukum. Kalau pelanggaran penahanan juga dikenakan sanksi. Jadi kalau sanksinya itu kita sepakati, tetapi besaran itu mungkin bisa dipertimbangkan, itu saya sepakat untuk disesuaikan, tetapi bahwa memberikan sanksi kepada para penegak hukum yang lalai ataupun tidak melaksanakan kewajibannya, itu perlu.” 26) Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pasal 99 UU SPPA tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

68/PUU-XV/2017

Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945