Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

66/PUU-XV/2017

Kerugian Konstitusional: a. Bahwa Pemohon Perkara 66 beranggapan, bahwa Pasal 557 UU Pemilu telah menimbulkan dualisme norma hukum dan mendegradasi ketentuan penyelenggara Pemilu di Aceh yang diatur di UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA). (Vide permohonan Pemohon hal 11-12) b. bahwa Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang dibentuk oleh DPR dan Pemerintah dilakukan tanpa proses konsultasi sama sekali dari DPRA (Vide permohonan Pemohon hal 12-13) c. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 66 dianggap bertentangan dengan Pasal 18 B UUD Tahun 1945. Legal Standing: Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara Nomor 66 dan 75/PUU-XV/2017, terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon a quo, harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal standing) mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: a. Pandangan Umum. 1) Bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara yang demokratis. Karena melalui Pemilu sebuah pemerintahan ditentukan dan dipilih secara langsung oleh rakyat dan mendapatkan mandat dari rakyat untuk mengurus bangsa dan negara ini demi kesejahteraan rakyat. Bahwa Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam sebuah negara adalah: 1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; 2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; 3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan 4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara; 2) Bahwa pelaksanaan Pemilu yang diatur dalam UU a quo, adalah amanat konstitusional Pasal 22 E ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah". Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 tersebut, Pemilu meliputi pemilihan “Dewan Perwakilan Rakyat”, “Dewan Perwakilan Daerah”, dan ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dan pemilihan “Presiden dan Wakil Presiden”. Walaupun terdapat dua pemilihan umum tersebut, namun prinsip utama Pemilu sesuai dengan amanat Pasal 22 E ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”; 3) Bahwa amanat pemilu untuk memilih Presiden begitu juga wakilnya selain diatur di Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945 juga diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 berbunyi bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Sejatinya Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 ini mengandung makna yakni Pertama, yang menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau gabungan partai politik melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, partai politik atau gabungan partai politik berperan sebagai pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan Ketiga, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD, pemilihan umum pasangan calon presiden dan wakil presiden; 4) Bahwa terkait hak pilih warga negara, baik hak memilih maupun hak dipilih dalam suatu pemilihan, hal ini merupakan salah satu substansi penting dalam perkembangan demokrasi dan sekaligus sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak yang dilindungi dan diakui keberadaannya dalam UUD Tahun 1945. Oleh karena itu setiap warga negara yang akan menggunakan hak tersebut harus terbebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, diskrimininasi, dan segala bentuk tindak kekerasan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan haknya dalam memilih dan dipilih dalam setiap proses pemilihan. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945. Bahwa hal ini juga diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) yang berketentuan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) pada tanggal 16 Desember 1966. Pada prinsipnya substansi dari Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan terhadap hak sipil (civil liberties) dan hak politik yang esensial atau mengandung hak-hak demokratis bagi semua orang. Kovenan ini menegaskan mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan individu yang harus dihormati oleh semua negara; 5) Bahwa dasar dilakukannya pembentukan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (yang kemudian ketika diundangkan menjadi UU Pemilu) yang merupakan juga kodifikasi undang-undang terkait dengan kepemiluan ini didasari atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 yang pada pokoknya telah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU No.42 Tahun 2008). Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 menjadi momentum yang tepat bagi pembentuk undang-undang untuk mengkodifikasikan berbagai undang-undang terkait dengan kepemiluan yang pengaturannya masih tersebar dalam sejumlah undang-undang kedalam 1 (satu) naskah undang-undang. Yaitu mulai dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU No. 15 Tahun 2011), kemudian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012), dan terakhir Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legialatif diselenggarakan dalam waktu yang berbeda. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dipandang perlu untuk menyatukan dua jenis Pemilu tersebut (Pileg dan Pilpres) maka undang-undangnya pun penting untuk diselaraskan pengaturannya yang mengatur pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif dilaksanakan serentak; 6) Bahwa pengaturan Pemilu serentak dimaksud tercermin dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 yakni tepatnya dalam pertimbangan mahkamah angka [3.20] huruf b Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa: “Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif”; b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu pada pokoknya adalah pengaturan dalam Bab I mengenai KPU, Bagian Kedua yakni mengenai Kedudukan, Susunan, dan Keanggotaan. Pasal ini pula memiliki maksud pengaturan yakni baik KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah hierarkis dari pusat ke daerah-daerah. Hal ini menujukkan adanya garis koordinasi yang jelas dan tegas dari hulu ke hilirnya. Pasal ini pula sejatinya bukanlah pasal yang baru karena di Pasal 5 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 hal ini telah jelas nyata diatur pula yakni berketentuan: “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis”. Hal lainnya yang juga menujukkan kekeliruan pemahaman yang diajukan oleh Para Pemohon tersebut adalah ada di UUPA itu sendiri yakni misalnya di Pasal 1 angka 12 UUPA yang berketentuan: “Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”. Hal ini pula yang menjadikan alasan mengapa selama ini dalam penyelenggaraan Pemilu KIP selalu ikut aturan yang ada di UU Pemilu pada umumnya begitu juga turunannya yakni di Peraturan KPU (PKPU) termasuk pula tahapan kepemiluannya, karena kepada siapa lagi KIP memiliki garis koordinasi yang jelas selain secara hierarkis yang berujung pada KPU RI untuk tingkat pusatnya. Sehingga dengan demikan alur berfikir Para Pemohon terkait dengan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu adalah alur berfikir yang keliru dan tidaklah berdasar. 2) Bahwa Pasal 89 ayat (3) UU Pemilu pada pokoknya adalah pengaturan dalam Bab II mengenai Pengawas Pemilu, Bagian Kesatu yakni mengenai umum yang didalamnya juga diatur bahwa baik Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota adalah hierarkis dari pusat ke daerah-daerah. Hierarkisnya Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam hal ini pula sebetulnya tidak beda juga dengan KPU beserta jajarannya, karena Bawaslu adalah termasuk lingkup penyelenggara Pemilu pula. 3) Hal ini sesuai dengan Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disebut UU 22 Tahun 2007) terhadap UUD Tahun 1945. Dalam Pendapat Mahakamah Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 itu pula ditafsirkan oleh MK secara mendalam mengenai Pasal 22E ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berketentuan: “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Dalam Putusan MK tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD Tahun 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. 4) Hal lainnya juga adalah di dalam UUPA juga tidak secara tegas diatur Panitia Pengawas Pemilihan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 UUPA. Panitia Pengawas Pemilihan baru ada di Pasal 23 ayat (1) huruf l UUPA dan hal ini tidaklah dicabut maupun dibatalkan oleh UU Pemilu, sehingga sejatinya DPRA tidaklah kehilangan kekhasannya dengan termasuk memiliki penyelenggara pemilihan yang namanya berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya se-Indonesia. 5) Bahwa dalam Pasal 557 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu disebutkan kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh baik itu Komisi Independen Pemilihan maupun Panitia Pengawas Pemilihan. Hal ini ini menujukkan pemebentuk undang-undang memiliki niatan baik untuk ikut serta memperbaiki ”benang kusut” yang ada selama ini terkait penyelenggaraan pemilihan di Aceh. 6) Bahwa dalam Pasal 557 diatur bahwa pelaksana penyelenggaraan Pemilu di Aceh itu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh (KIP Provinsi Aceh) yang setara dengan KPU Provinsi untuk daerah lainnya pada umumnya dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota (KIP Kabupaten/Kota) yang setara dengan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk lembaga pengawasnya untuk setingkat Bawaslu Provinsi untuk Aceh ada Panitia Pengawas Pemilhan Provinsi Aceh (Panwaslih Aceh) dan untuk setingkat Bawaslu Kabupaten/Kota ada Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota (Panwaslih Kabupaten/Kota). Adapun di Pasal 571 adalah pengaturan umum sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12 Tahun 2011) yakni ketentuan Penutup. Dalam lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 angka 147 diatur ketentuan teknis penulisan peraturan perundang-undangan yang dicabut adalah telah sesuai dan dalam hal ini beberapa pengaturan di UUPA dicabut yang terkait dengan kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh. 7) Bahwa Para Pemohon menyatakan bahwa kekhususan/keistimewaan Aceh di UUPA telah dikurangi dan direduksi oleh UU Pemilu dengan adanya pengaturan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu. Atas dasar hal tersebut maka DPR RI menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pernyataan yang bersifat asumtif belaka. Bahwa lebih lanjut lagi mengenai dalil para Para Pemohon tersebut maka DPR menguraikan tanggapannya sebagai berikut: a) Bahwa munculnya UU Pemilu adalah perintah Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang juga menjadi momentum yang tepat bagi pembentuk undang-undang untuk mengkodifikasikan berbagai undang-undang yang terkait dengan kepemiluan kedalam 1 (satu) naskah undang-undang. UU Pemilu yang dikodifikasikan dalam 1 (satu) naskah ini adalah UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga undang-undang lahir di tahun yang berbeda-beda dan tentunya dari ketiganya pasti memiliki sedikit banyak perbedaan karena hukum selalu berkembang. Hal yang sama juga berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang semula menganut kepada UU No. 11 Tahun 2006 dan UU No. 15 Tahun 2011. Dikarenakan saat ini 3 (tiga) undang-udang tersebut digabung menjadi 1 (satu) UU Pemilu maka hal-hal terkait dengan penyelenggara Pemilu termasuk diatur di dalam undang-undang ini, karena dengan berjalannya waktu maka perlu penyesuaian-penyuaian. b) Bahwa jika Para Pemohon menyatakan bahwa UU Pemilu telah mengatur kembali apa yang sudah diatur di dalam UUPA dan penyelenggara pemilihan adalah termasuk kekhususan yang telah diatur dalam UUPA oleh karena itu menurut Para Pemohon tidak perlu diatur kembali di UU Pemilu, hal itu adalah pemikiran yang kurang tepat. Hal ini dikarenakan salah satu landasan ide yang dibangun di UU Pemilu yang baru ini adalah perbaikan pengaturan dan kewenangan bagi penyelenggara Pemilu. Beberapa hal baru di UU Pemilu ini adalah seperti pengawas pemilu di tingkat Kabupaten/Kota diberikan status yang baru yakni menjadi permanen dan karenanya berubah nama menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, begitu juga dengan jumlahnya di tiap kabupaten/kota dan, dan juga kewenangannya (saat ini ada kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang wajib dilaksanakan oleh KPU) sebelumnya tidak ada. Bahwa penguatan kelembagaan dan kewenangan yang ada ini memiliki alasan yang sangat penting karena kedepannya ada event Pemilu 2019 dan perlu penyelenggara yang lebih kuat. c) Bahwa hal ini pula yang menjadi alasan mengapa munculnya norma 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562, serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu, karena pengaturan UUPA telah tertinggal jauh. Bagaimanapun para Pemohon perlu memahami bahwa yang namanya hukum selalu berkembang (tidaklah statis), dan oleh karena itu perlu diatur kembali mengenai hal tersebut dalam UU Pemilu ini karena norma yang ada tidak sinkron dengan pengaturan lama di UUPA. Oleh karena itu demi menjaga kepastian hukum dan mencegah dualisme pengaturan yang yang saling tumpang tindih maka muncullah pengaturan Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu tersebut. Sehingga adalah tidak benar jika Pemohon beranggapan bahwa ada dualisme pengaturan. d) Bahwa Para Permohon jikalau merasa dirugikan dengan keberlakuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu dengan perasaan bahwa merasa hak yang dimiliki oleh DPRA menjadi hilang dalam membentuk penyelenggara pemilu di Aceh, maka hal tersebut adalah keliru. Mengapa? Karena yang dibatalkan di UUPA hanya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4). Karena di Pasal 56 ayat (4) UUPA misalnya, begitu juga Pasal 60 ayat (3) UUPA keduanya masih hidup. Sehingga jelas bahwa DPRA masih berwenang memilih KIP dan Panwaslih di Aceh. Sehingga dengan demikian adalah tidak benar apa yang didalilkan oleh para Pemohon. 8) Bahwa munculnya Pasal Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah mengatur kembali apa yang sudah diatur di dalam UUPA dan penyelenggara pemilihan adalah termasuk kekhususan yang telah diatur dalam UUPA oleh karena itu tidak perlu diatur kembali di UU Pemilu. Para Pemohon perlu memahami bahwa dalam rangka penyesuaian dengan berkembangnya hukum, termasuk hukum kepemiluan tidaklah dapat dihindari. Seperti misalnya Pasal 56 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa: “KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, dan pemilihan gubernur/wakil gubernur”. Kenyatannya adalah dikarenakan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu, maka norma di Pasal 56 ayat (1) UUPA menjadi tidak relevan. Oleh karena itu pula UU Pemilu tidak sama sekali mengatur mengenai Pillkada karena Pilkada diatur terpisah di UU lain yakni UU No. 1 Tahun 2015 dengan 2 (dua) kali perubahannya (UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016). Sehingga semestinya para Pemohon menjadi lebih arif dalam menyikapi perkembangan hukum ini. 9) Bahwa hal lain yang perlu dipahami oleh para Pemohon bahwa pembentuk undang-undang selalu tetap mempertimbangkan adanya kekhususan yang ada di Aceh yakni pembentuk undang-undang sama sekali tidak mengganti kekhususan penyebutan nama penyelenggara di Aceh yakni masih tetap Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh (KIP Provinsi Aceh) yang setara dengan KPU Provinsi untuk daerah lainnya pada umumnya dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota (KIP Kabupaten/Kota) yang setara dengan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk lembaga pengawasnya untuk setingkat Bawaslu Provinsi untuk Aceh ada Panitia Pengawas Pemilhan Provinsi Aceh (Panwaslih Aceh) dan untuk setingkat Bawaslu Kabupaten/Kota ada Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota (Panwaslih Kabupaten/Kota). Penyebutan nama ini yang masih konstan digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam UU Pemilu terbaru ini sejalan pula dengan Pasal 569 Pemilu yang berketentuan: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diahrr khusus dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Aceh, dinyatakan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Hal ini pula semakin menujukkan bahwa pembentuk undang-undang (dalam hal ini pula termasuk DPR RI) tetap memperhatikan dan tidak mengabaikan kekhususan yang ada di Aceh yakni masih adanya KIP, Panwaslih, ataupun DPRA. Namun demikian, karena semata-mata ada pembenahan kelembagaan begitu juag kewenangan yang semakin kuat demi Pemilu kedepan, maka perlu adanya perubahan yakni sebagaimana diatur di Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu. 10) Bahwa hal lainnya adalah jika melihat Putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016. Dalam perkara yang diajukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh tersebut terkait dengan pengujian UUPA, amar putusannya adalah menyatakan Pasal 67 ayat (2) UUPA bertentangan secara bersyarat “...sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Dalam perkara MK No. 51/PUU-XIV/2016 tersebut, Pemohon yang juga seorang mantan Gubernur Aceh pada pokoknya meminta kepada MK agar dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh terkait dengan norma yang bagi terpidana agar berpatokan dengan UU Pilkada terutama berdasarkan UU Pilkada setelah hasil Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015. Pemohon dalam perkara itu pula menjabarkan bahwa pengaturan terkait dengan Pilkada yang ada diatur di UUPA seharusnya mengikuti perkembangan hukum yang ada di atur di UU Pilkada terbaru. Pemohon justru merasa dirugikan jika aturan hukum yang digunakan adalah apa yang ada diatur dalam UUPA. Pemohon juga mendalilkan bahwa ketika Provinsi Aceh diatur berbeda dengan Provinsi lainnya, maka hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yakni “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang didalam menyelenggarakan kehidupan bernegara selalu bersandar pada hukum yang berlaku secara nasional” (vide putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016 halaman 10). 11) Pemberlakuan Hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara didalam hukum dan syarat yang berbeda-beda di Provinsi Aceh dengan Provinsi lainnya di Wilayah Indoensia, atas penyelenggaraan pemilihan serentak secara Nasional, selain bertentangan dengan prinsip Negara Hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara didalam hukum dan pemerintahan antara di wilayah Provinsi Aceh dengan di wilayah provinsi lainnya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan sekaligus bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945 (vide putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016 halaman 10-11). Dalam pertimbangan putusan angka [3.11] dalam Putusan MK tersebut, MK berpendapat: “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor 42/PUU-XIII/2015 tersebut di atas, syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang adalah sama dengan syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf g UU 11/2006. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, meskipun Undang-Undang yang diuji dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 berbeda dengan perkara a quo, namun oleh karena yang diuji substansinya sama, yakni mengenai tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah, maka pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 tersebut dengan sendirinya menjadi pertimbangan putusan ini”. 12) Perlu diketahui bahwa Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 adalah terkait dengan pengujian Pasal persyaratan di UU Pilkada. Dikarenakan hal itu pula maka para Pemohon perlu memahami bahwa pengaturan yang sifatnya umum berlaku juga untuk daerah khusus/istimewa. Oleh karena itulah makanya dalam amar putusannya justru Pasal 67 ayat (2) UUPA yang diubah dengan dasar UU Pilkada terbaru sebagai acuannya (yang kebetulan diujikan oleh MK). Oleh karena itu pula pemahaman yang serupa perlu juga dipahami oleh para Pemohon karena dalam kaitannya dengan pasal yang diuji yakni Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU No. 7 Tahun 2017, adalah pengaturan yang bersifat umum karena itu pula tidak relevan jika mempertahankan norma yang lama di UUPA termasuk juga dengan jumlah penyelenggara yang ada di Aceh baik itu KIP beserta jajarannya dan juga Panwaslih beserta jajarannya. 13) Bahwa hal yang sama juga berlaku untuk Putusan MK No. 20/PUU-XV/2017 dimana Pemohon dalam perkara tersebut meminta kepada persoalan sengketa hasil pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Agung (MA), padahal provinsi-povinsi yang lain semua pada saat ini sesuai pengaturan di UU Pilkada yang saat ini berlaku sengketa hasilnya diselesaikan di MK. Ketika pada akhirnya dalam Putusan MK No. 20/PUU-XV/2017, MK menolak permohonan Pemohon maka hal ini pula semakin menegaskan bahwa ada hal-hal yang sifatnya umum berlaku maka berlaku pula berlaku di Aceh, bukan merujuk pada pengaturan di UUPA Pasal 74 yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketa hasil diselesaikan di Mahkamah Agung. Jadi tidak selamanya UUPA menjadi satu-satunya acuan, karena begitulah prinsip hukum yang selalu dinamis dan tidak statis. 14) Bahwa lahirnya ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah berkomunikasi terlebih dahulu dengan sejumlah stakeholder di Aceh. Perlu diketahui bahwa Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dalam menyusun UU Pemilu ini taat dengan pengaturan yang mengatur mengenai pembentukan undang-undang yakni UU No. 12 Tahun 2011. Adapun terkait dengan pembentukan UU Pemilu ini maka berdasarkan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis tersebut dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. 15) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, Pansus memandang perlu untuk melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Aceh guna mendapatkan masukan atau tanggapan untuk penyempurnaan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Alhasil pada tanggal tanggal 19 hingga 21 Februari 2017, Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu melakukan kunjungan kerja ke Aceh. Pada tanggal 20 Februari 2017 nya dilakukan kegiatan dialog untuk mendengar sejumlah masukan tersebut. Pertemuan itu pun saat itu dilakukan di Kantor Gubernur Provinsi Aceh. Pertemuan itu pula dihadiri dengan sejumlah stakeholder yang terkait seperti ada perwakilan KIP, perwakilan Panwaslih, DPRA, Kodam Iskandar Muda, Pengadilan Tinggi Aceh, dan sejumlah dosen/pengajar dari Universitas Syah Kuala Aceh. 16) Bahwa terkait norma Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang di ujikan oleh Para Pemohon ini pula merupakan suatu norma yang merupakan kebijakan hukum terbukan pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan terdapat delegasi kewenangan yang diberikan kepada pembentuk undang-undang dalam melaksanakan Pemilu ini. Hal ini nyata terlihat dalam Pasal 22E ayat (6) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.” Oleh karena Pasal 22 E ayat (6) UUD Tahun 1945 terutama pada ayat (6) mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya pengaturan mengenai Pemilu termasuk yang diujikan oleh Pemohon yakni norma Pasal 9 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), 557 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 562 serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu merupakan open legal policy. Hal yang sama juga jika merujuk kepada Pendapat Mahkamah yang pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU-VI/2008 maka sebetulnya norma yang sifatnya kebijakan hukum terbuka ini jikalau dirasakan buruk oleh Pemohon bukanlah pelanggaran konstitusi. Karena walaupun Pemohon menilai hal ini adalah buruk dan lain sebagainya maka Pemohon juga bisa melihat bahwa yang dikatakan buruk tersebut tidak selalu berarti melanggar konstitusi, keduali jika norma tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu dalam hal ini dapat diketahui bahwa Pemohon kurang memahami hal yang dimohonkannya sendiri.

66/PUU-XV/2017

Pasal 557 dan 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pasal 6A ayat (2), Pasal 22 E ayat (1), Pasal 22 E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945