Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

90/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional: a. Bahwa Pemohon yang sedang menjalani masa pidana atas tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung, yang proses hukumnya ditangani dari unsur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami perlakuan yang diskriminasi, khususnya dalam hal pemberian pembebasan bersyarat dan remisi, sehingga terdapat ruang bagi terpidana apabila setelah memberikan kesaksiannya juga berpotensi dan bahkan terjadi perlakuan yang diskriminatif terhadap terpidana lainnya, serta tidak ada kepastian hukum; (Vide perbaikan permohonan halaman 8) b. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jika tidak dimaknai “saksi pelaku adalah tersangka terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana umum dan khusus dalam kasus yang sama”, maka akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; (Vide perbaikan permohonan halaman 16) c. Bahwa jika dicermati ketentuan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU 31/2014, terhadap frasa “remisi tambahan” adalah bagian dari penghargaan atas kesaksian yang diberikan oleh saksi pelaku, dan tidak terdapat ketentuan tentang klasifikasi terpidana, apakah terpidana umum, atau terpidana khusus (TIPIKOR), sehingga terdapat ruang bagi terpidana apabila setelah memberikan kesaksiannya juga berpotensi dan bahkan terjadi perlakuan yang diskriminatif terhadap terpidana lainnya yang juga diberikan kesempatan untuk memberikan kesaksian dan seharusnya perlu diberikan penafsiran/pemaknaan “pembebasan bersyarat dan remisi tambahan bagi narapidana sebagai saksi pelaku yang penanganannya berasal dari semua unsur lembaga penegak hukum”. Apabila tidak ditafsirkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak mendapatkan keadilan antar sesama terpidana, dan terjadi diskriminasi diantara terpidana tindak pidana korupsi yang masing-masing baik yang ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Hal inilah yang menimbulkan perlakuan yang diskriminatif bagi terpidana dengan jenis apapun itu (baik umum maupun khusus), dalam konteks ini terpidana korupsi, yang masing-masing ditangani oleh beragamnya tiga institusi tersebut. (Vide perbaikan permohonan halaman 17-18) Legal Standing: a. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 • Bahwa Pemohon dalam dalil Permohonan a quo menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945 yang pada intinya mengatur tentang jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil, persamaan dan keadilan, hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan bebas dari perlakuan diskriminatif. Bahwa Pemohon beranggapan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban. • Bahwa untuk menganggapi dalil Pemohonntersebut, DPR RI merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK yang pada intinya menyatakan bahwa : pada dasarnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan, hak-hak narapidana sebagaimana termaktub di dalam huruf a sampai dengan huruf m termasuk hak atas remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, berarti, hak-hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 dan diatur dengan undang-undang. (Vide Pertimbangan Hukum Putusan MK No 54/PUU-XV/2017) • Bahwa oleh karenanya hak atas remisi yang diujikan Pemohon dalam perkara a quo bukanlah tergolong hak konsitusional maka tidak relevan untuk diujikan dengan batu uji UUD Tahun 1945. b. Terkait hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. • Bahwa Pemohon merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas ketentuan a quo karena Pemohon yang sedang menjalani masa pidana atas tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung, yang proses hukumnya ditangani dari unsur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami perlakuan yang diskriminasi. • Bahwa DPR RI berpandangan pada dasarnya permasalahan yang dialami oleh Pemohon adalah dikarenakan KPK menolak Pemohon menjadi Justice Collaborator meskipun Pemohon sudah melengkapi persyaratan dan tahapan-tahapan terhadap hal ini sebagaimana Surat Perihal Rekomendasi Asimilasi Kerja Sosial dan Pembebasan Narapidana Tindak Pidana Korupsi tertanggal 13 Juli 2017 yang diuraikan Pemohon dalam Permohonannya. (Vide Perbaikan Permohonan hal 8). Terhadap hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal itu adalah persoalan implementasi yang masing-masing sangat tergantung kepada integritas pejabatnya yang tentu saja tidak relevan jika kemudian Pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma atau menyalahkan norma dari pasal-pasal a quo dan menganggapnya bertentangan dengan konstitusi. • Bahwa oleh karenanya tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan a quo. c. Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa kerugian Pemohon adalah berasal dari perkara konkrit bukan merupakan bagian dari permasalahan konstitusionalitas norma, sehingga tidak relevan pengajuan permohonan Pemohon diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Selain itu, DPR RI berpendapat sekalipun terjadi penyimpangan terhadap pengaturan mengenai perkara konkrit yang dialami Pemohon, hal tersebut merupakan permasalahan penerapan norma dan bukan menjadi kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi terhadap Pemohon. d. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa dari uraian diatas, Para Pemohon tidak memiliki hak konstitusional dalam permohonan pengujian UU a quo dan kerugian yang didalilkan bukanlah kerugian konstitusional, maka sudah jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal UU a quo. e. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa selain itu, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Syarat adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan menyatakan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, berdasarkan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k, hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tatacara yang wajib dipenuhi. Berdasarkan penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf I dan huruf k disebutkan bahwa: • Pasal 14 ayat (1) huruf i : “Diberikan hak tersebut setelah Narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.” • Pasal 14 ayat (1) huruf k “Yang dimaksud dengan "pembebasan bersyarat"adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9(sembilan) bulan.” Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tatacara tertentu. Hak remisi dapat diperoleh jika syarat dan tata cara dimaksud dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak, narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut. Dengan kata lain, sepanjang syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dipenuhi oleh narapidana maka hak berupa remisi tersebut menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan untuk menjamin bahwa pemberian tersebut tidak akan sewenang-wenang serta sembarangan. 2) Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan, pemerintah diberi wewenang untuk mengatur syarat dan tata-cara pelaksanaan remisi. Artinya, berdasarkan hal ini pemerintah memperoleh kewenangan delegasi untuk mengatur pemberian remisi tersebut. Kewenangan delegasi tersebut merujuk pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Namun demikian, delegasi tersebut hanya dimungkinkan sepanjang tidak merupakan rumusan dalam penjelasan peraturan perundang-undangan yang memberikan delegasi. Merujuk pada prinsip delegasi tersebut dan berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang secara lebih detail memberikan panduan pelaksanaan pemberian remisi. Karena diberi landasan yuridis oleh Undang-Undang, Pemerintah berwenang menentukan syarat dan tatacara pemberian remisi. 3) Bahwa berdasarkan delegasi dari UU Pemasyarakatan tersebut Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 99/2012) dimana di dalam ketentuan Pasal 34A ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar: 1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau 2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.” 4) Bahwa pada dasarnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan, hak-hak narapidana sebagaimana termaktub di dalam huruf a sampai dengan huruf m termasuk hak atas remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, berarti, hak-hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 dan diatur dengan undang-undang. (Vide Pertimbangan Hukum Putusan MK No 54/PUU-XV/2017) 5) Bahwa para ahli membagi hukum pidana berdasarkan beberapa hal. Salah satunya, hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam bukunya berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana, PAF Lamintang menjelaskan bahwa hukum pidana itu juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafcrecht). Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja, misalnya, bagi anggota-anggota Angkatan Bersenjata, atau merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja, misalnya, tindak pidana fiskal. Secara singkat, kita juga dapat melihat pembagian hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus dengan peraturan yang ada, yakni bahwa hukum pidana yang diatur di dalam KUHP merupakan hukum pidana umum, karena ketentuan di dalamnya berlaku untuk semua orang. Sedangkan hukum pidana khusus, bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP, misalnya UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lainnya. 6) Bahwa Pemohon mendalilkan: “bahwa apabila dicermati dari ketentuan pasal tersebut, frasa “tindak pidana” tdak terdapat kategori tindak pidana umum atau tindak pidana khusus…bahwa dalam praktek penegakan hukum, frasa “tindak pidana” atas pengertian tersebut dalam konteks saksi pelaku sangat berpotensi terjadinya diskriminasi dan/atau perlakuan yang berbeda serta tidak ada kepastian hukum sehingga berdampak pada ketidak adilan diantara terpidana”….Bahwa ketentuan pasal 1 angka 2 UU Perlindungan saksi dan korban jika tidak dimaknai “saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana umum dan khusus dalam kasus yang sama”, maka akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.” (Vide perbaikan permohonan hal 16-17) Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: • Bahwa kedudukan narapidana berdasarkan definisi ketentuan umum (begrips bepalingen) UU Pemasyarakatan yakni “narapidana adalah terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Dengan demikian kedudukan narapidana adalah sejajar dan memiliki hak sebagai subjek hukum yang seimbang tanpa membedakan jenis-jenis kejahatan dari narapidana dengan kata lain gelijkheid op voet van gelijkheid-kriterium op gelijke voet subjectum (perlakuan semua sama dalam status kondisional kebersamaan tanpa diskriminatif dan mengelompokkan secara subjektif dengan pembedaan), tanpa perlu membedakan narapidana yang berasal dari tindak pidana umum maupun narapidana dari tindak pidana khusus. • Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUU- II/2004, bertanggal 12 April 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005, bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, telah menyatakan batasan diskriminasi, yaitu: - Bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya; - Bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan; - Bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. • Bahwa berdasarkan hal tersebut, diskriminasi adalah berbeda dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. 7) Bahwa pada dasarnya permasalahan yang dialami oleh Pemohon adalah dikarenakan KPK menolak Pemohon menjadi Justice Collaborator meskipun Pemohon sudah melengkapi persyaratan dan tahapan-tahapan terhadap hal ini sebagaimana Surat Perihal Rekomendasi Asimilasi Kerja Sosial dan Pembebasan Narapidana Tindak Pidana Korupsi tertanggal 13 Juli 2017 yang diuraikan Pemohon dalam Permohonannya. (Vide Perbaikan Permohonan hal 8). Terhadap hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal itu adalah persoalan implementasi yang masing-masing sangat tergantung kepada integritas pejabatnya yang tentu saja tidak relevan jika kemudian Pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma atau menyalahkan norma dari pasal-pasal a quo dan menganggapnya bertentangan dengan konstitusi. Persoalan implementasi norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang. Tidak implementatifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. Hal tersebut semata-mata merupakan persoalan implementasi yang memang sulit untuk dihindarkan dan semua berpulang kepada semangat dan integritas para penegak hukumnya yang melaksanakan ketentuan a quo. 8) Bahwa terhadap petitum Pemohon sebagai berikut: “Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara beryarat, sepanjang tidak dimaknai “Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)” dan “Mendapatkan Pembebasan Bersyarat”; (Vide perbaikan permohonan hal 50) Bahwa terhadap petitum Pemohon tersebut DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut: • Bahwa secara utuh ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan adalah sebagai berikut: Narapidana berhak : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. • Bahwa kata penghubung “dan” di huruf l ketentuan a quo sudah jelas bahwa maksudnya yang hak narapidana tersebut di dapatkan oleh narapidana secara kumulatif keseluruhan dari huruf a sampai dengan huruf m, yang tentunya pelaksanannya harus berdasarkan dengan persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang didelegasikan di dalam ayat (2) nya. • Bahwa DPR RI tidak mengetahui apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon. Sebab, meskipun terdapat rumusan petitum dalam permohonan tersebut namun rumusan petitum tersebut tidak lazim dan membingungkan. Ketentuan a quo sudah jelas rumusannya bersifat kumulatif. Hal ini sesungguhnya memperlihatkan bahwa Pemohon tidak memahami apa yang dimohonkan dalam permohonannya. • Bahwa selain itu, petitum Pemohon yang lain juga tidak sejalan dengan posita permohonan Pemohon. Padahal posita dan petitum permohonan merupakan hal yang sangat fundamental bagi Mahkamah dalam menilai dan memutus tiap perkara. Pemohon meminta agar dibuat pembedaan antara narapidana tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (Vide perbaikan permohonan hal 50), namun dalam positanya Pemohon bercerita tentang kasus-kasus justice collaborator KPK dan uraian kasus yang dialami oleh Pemohon sendiri, tanpa memberikan dasar uraian sama sekali mengenai pembedaan tindak pidana umum dan khusus yang diminta dalam petitumnya. Oleh karenanya permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur) 9) Bahwa Pemohon dalam perkara a quo juga memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan putusan inkonstitusional bersyarat dengan menambahkan frasa tertentu dalam petitumnya. Terhadap petitum tersebut, DPR RI berpendapat sesuai dengan pendirian Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 yang menyatakan bahwa: “Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.”

90/PUU-XVI/2018

Pasal 14 ayat (1) huruf I dan huruf k UU Pemasyarakatan, dan Pasal 1 angka 2, serta Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945