Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

87/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional: Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya menyampaikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh pemberlakuan ketentuan a quo UU ASN, yaitu pada pokoknya bahwa Pemohon sebagai PNS berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN. Ketentuan pasal-pasal a quo berpotensi ditafsirkan secara subyetif dan sewenang-wenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) karena ketidakkonsistenan dan tidak adanya kepastian hukum serta diskriminasi terhadap kualifikasi atas pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat dan/atau dapat tidak diberhentikan terhadap PNS. Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. Bahwa Pemohon a quo yang pada saat ini berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan pernah menjalani hukuman penjara selama 12 bulan mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo yang dimohonkan pengujian pada intinya mengatur tentang syarat mengenai PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo berlaku umum untuk semua PNS yang telah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga rumusan norma tersebut sama sekali tidak ada relevansinya dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, karenanya tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan dan/atau Hak Konstitusional Para Pemohon yang di jadikan batu uji dalam permohonan a quo tidak tepat dan tidak ada pertautannya dengan pasal a quo UU ASN. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa pasal a quo sama sekali tidak mengurangi hak Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, karena Pemohon kembali aktif bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan masih mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta perlakuan sama dihadapan hukum. Bahwa mengingat pasal a quo sebagaimana dinyatakan dalam huruf a tidak ada pertautannya dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, maka sudah jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo UU ASN. c. Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN berpotensi ditafsirkan secara subyektif dan sewenang-wenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) karena ketidakkonsistenan dan tidak adanya kepastian hukum terhadap kualifikasi atas pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat dan/atau dapat tidak diberhentikan. Selain itu, Para Pemohon beranggapan dengan tidak dicantumkannya hukuman minimal dalam pasal a quo menjadikan pembentuk Undang-Undang menjadi sewenang-wenang, sebab siapapun yang dipidana berkaitan dengan jabatan bisa diberhentikan dengan tidak hormat. Bahwa hal tersebut merupakan kekhawatiran dan asumsi Pemohon yang dalam permohonan a quo belum dapat membuktikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual yang dialami Pemohon. Bahwa dalil Pemohon tersebut dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit adanya kerugian konstitusional yang sangat spesifik dan aktual sudah terjadi ataupun yang potensial terjadi yang dapat dipastikan terjadi karena berlakunya pasal a quo UU ASN. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional terkait dengan pengujian pasal a quo UU ASN, karena antara pasal a quo UU ASN tidak ada pertautannya dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Pemohon juga tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, khusus dan aktual dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU ASN, sehingga tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan Pasal a quo UU ASN maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian UU a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara, dan menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Bahwa selain itu DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: “Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Bahwa demikian juga pertimbangan hukum oleh MK terhadap legal standing Pemohon [3.8] dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.” Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Pemohon perkara a quo tidak mendalilkan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, aktual dan potensial dapat terjadi, dan Pemohon juga tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Bahwa dalam hal ini DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa tindak pidana korupsi tidak saja membahayakan keuangan negara. Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa praktik korupsi di Indonesia telah sampai pada yang paling membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan Romli Atmasasmita menyatakan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman yang bersifat serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional. Sehingga terdapat kepincangan pada bagian pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat yang disebut sebagai relatif inequality atau terdapat tingkat kemiskinan yang absolut (absolut poverty). Kondisi yang demikian tentu yang sangat dirugikan adalah rakyat dalam tataran akar rumput, yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan sesuai dengan jaminan yang dituangkan dalam konstitusi. Bahwa ketentuan Pasal 87 UU ASN merupakan suatu tatanan norma yang tidak terpisahkan dengan ketentuan Pasal 86 UU ASN, yang secara jelas menyatakan bahwa untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS. Lebih lanjut, ketentuan mengenai displin PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang dalam hal ini adalah PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk menghasilkan pegawai negeri sipil yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah tersebut secara tegas disebutkan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap suatu pelanggaran disiplin. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pejabat yang berwenang menghukum serta memberikan kepastian dalam menjatuhkan hukuman disiplin. Demikan juga dengan batasan kewenangan bagi pejabat yang berwenang menghukum. Penjatuhan hukuman berupa jenis hukuman disiplin ringan, sedang, atau berat sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh PNS yang bersangkutan, dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak dari pelanggaran yang dilakukan. Selain hal tersebut, bagi PNS yang dijatuhi hukuman disiplin diberikan hak untuk membela diri melalui upaya administratif, sehingga dapat menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam penjatuhan hukuman disiplin. 2) Bahwa kebijakan (policy) jelas tergambar pada Bagian Penjelasan Umum UU ASN yang menegaskan bahwa tujuan (doelmatigheid) UU a quo sesuai dengan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni adanya tujuan yang jelas, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan keberhasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaannya. Sedangkan aturan-aturan (rules) adalah ketentuan-ketentuan yang digunakan sebagai landasan mencapai tujuan yang hendak diwujudkan tersebut. 3) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang beranggapan bahwa ketentuan pasal a quo UU ASN bersifat diskriminatif, DPR RI berpandangan bahwa mengutip pandangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUU-II/2004, bertanggal 12 April 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005, bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, telah menyatakan batasan diskriminasi, yaitu: • Bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya; • Bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan; • Bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. Bahwa atas dasar pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, tidak tepat Pemohon menyatakan bahwa pengaturan dalam ketentuan pasal a quo UU ASN bersifat diskriminatif mengingat pemberlakuan ketentuan pasal a quo tidak hanya terhadap Pemohon tetapi berlaku juga bagi seluruh ASN dan bukan pengaturan yang didasarkan pada pembedaan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. 4) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Pemohon yang melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahwa Pemohon sebagai PNS yang melakukan tindak pidana korupsi telah melanggar sumpah/janji PNS dan sumpah/janji jabatan yang terdapat dalam Pasal 66 UU ASN dan Pasal 39 s.d Pasal 44 PP No. 11 Tahun 2017. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil adalah pernyataan kesanggupan untuk melakukan suatu keharusan atau tidak melakukan suatu larangan. Seorang Pegawai Negeri Sipil mengangkat sumpah/janji berdasarkan keyakinan agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hal ini menandakan bahwa pernyataan kesanggupan dalam sumpah/janji yang diucapkan juga ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap Pegawai Negeri Sipil harus menaati sumpah yang diucapkan dengan sebaik-baiknya dan tidak melanggar sumpah/janji tersebut selama masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Bahwa pemberhentian tidak dengan hormat itu adalah bagian dari sanksi yang diatur dalam Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 247 PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. 5) Bahwa DPR RI merujuk pada pertimbangan putusan angka [3.17] dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: ..”Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable..” Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan: ..”sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. Jika ketentuan dalam pasal a quo dikaitkan dengan uraian di atas, maka ketentuan dalam pasal a quo yang mengatur mengenai pemberhentian PNS karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan suatu kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). Dengan demikian, perlu kiranya Pemohon memahami bahwa terkait hal yang dipersoalkan bukan merupakan objectum litis bagi pengujian undang-undang, namun merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy). 6) Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

87/PUU-XVI/2018

Pasal 87 ayat (2) dan 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28l ayat (2) UUD Tahun 1945