88/PUU-XVI/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Para Pemohon dalam perkara 88/PUU-XVI/2018 dalam permohonan a quo pada intinya menyampaikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh pemberlakuan ketentuan a quo UU ASN, yaitu pada pokoknya bahwa Para Pemohon sebagai PNS berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN. Ketentuan pasal-pasal a quo berpotensi ditafsirkan secara subyetif dan sewenang-wenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) karena ketidakkonsistenan dan tidak adanya kepastian hukum serta diskriminasi terhadap kualifikasi atas pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat dan/atau dapat tidak diberhentikan terhadap PNS. Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. Bahwa Para Pemohon a quo yang pada saat ini berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan pernah menjalani hukuman penjara mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 pada intinya mengatur tentang jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, sedangkan Pasal 28D ayat (3) pada intinya mengatur tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bahwa yang pasal a quo UU ASN dimohonkan pengujian pada intinya mengatur tentang syarat mengenai PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo berlaku untuk semua PNS yang telah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga rumusan norma tersebut sama sekali tidak ada pertautan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Para Pemohon yang di jadikan batu uji dalam permohonan a quo tidak tepat dan tidak ada pertautannya dengan pasal a quo UU ASN. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa Para Pemohon mengemukakan jika Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tetap diberlakukan, tentu Para pemohon dirugikan karena akan diberhentikan dengan tidak hormat, padahal Pasal 28D ayat (1) menjamin perlindungan hukum maupun kepastian hukum Para Pemohon untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang. (Vide perbaikan Permohonan hal 5) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan pasal a quo sama sekali tidak mengurangi hak Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, karena Para Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil dan masih mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta perlakuan sama dihadapan hukum. Bahwa mengingat pasal a quo sebagaimana dinyatakan dalam huruf a tidak ada pertautannya dengan 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, maka sudah jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo UU ASN. c. Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo beranggapan dengan tidak dicantumkannya hukuman minimal dalam pasal a quo menjadikan pembentuk Undang-Undang menjadi sewenang-wenang, sebab siapapun yang dipidana berkaitan dengan jabatan bisa diberhentikan dengan tidak hormat (vide perbaikan permohonan hlm 5 angka 19). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut merupakan kekhawatiran dan asumsi Para Pemohon yang dalam permohonan a quo belum dapat membuktikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual yang dialami Para Pemohon. Bahwa dalil Para Pemohon tersebut dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit adanya kerugian konstitusional yang sangat spesifik dan aktual sudah terjadi ataupun yang potensial terjadi yang dapat dipastikan terjadi karena berlakunya pasal a quo UU ASN. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional terkait dengan pengujian pasal a quo UU ASN, karena antara pasal a quo UU ASN tidak ada pertautannya dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Para Pemohon juga tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, khusus dan aktual dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU ASN, sehingga tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan Pasal a quo UU ASN maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian UU a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara, dan menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Bahwa selain itu DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: “Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Bahwa demikian juga pertimbangan hukum oleh MK terhadap legal standing Pemohon [3.8] dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.” Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon Perkara tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon perkara a quo tidak mendalilkan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, aktual dan potensial dapat terjadi, dan Para Pemohon juga tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Bahwa dalam hal ini DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon dalam permohonannya hanya mengajukan pengujian Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang dianggap bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, tidak mengajukan pengujian Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf d sehingga Para Pemohon tidak konsisten dalam dalil permohonannya, seharusnya Para Pemohon konsisten menjabarkan alasan permohonan pengujian hanya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN saja, walaupun memang Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d itu saling terkait karena membahas mengenai pemberhentian pegawai ASN, tetapi Para Pemohon harus fokus terhadap pasal yang dijadikan pengujiannya, dengan demikian permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan kabur (obscuur libel). 2) Bahwa DPR RI juga berpandangan bahwa pasal a quo sudah sangat jelas menyatakan bahwa apabila PNS melanggar atau melakukan penyalahgunaan wewenang, maka PNS tersebut diberhentikan tidak dengan hormat apalagi dikarenakan dihukum penjara atau kurungan yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan, hal ini sudah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menjelaskan tentang Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 3) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa apabila seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, dan sebagai bagian dari pemerintahan yang sepatutnya menjadi contoh bagi masyarakat, maka segala perbuatan yang mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD Tahun 1945 selayaknya mendapatkan konsekuensi hukum, terlebih apabila tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur negara. Oleh karena itu pegawai ASN tersebut layak untuk dikenakan disiplin pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam pasal a quo karena semangat dari rumusan pasal a quo tersebut adalah menciptakan pegawai ASN yang berdisplin dan berdedikasi tinggi untuk tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan tertentu, walaupun tindak pidana korupsi yang dilakukan Para Pemohon itu hanya menimbulkan kerugian yang sedikit yaitu hanya korupsi pungutan liar yang menimbulkan kerugian hanya lima juta rupiah, tetapi tindakan tersebut sudah termasuk meyalahgunakan jabatan untuk kepentingan tertentu. Bahwa sesungguhnya DPR RI memahami kerugian yang dialami oleh Para Pemohon, disebabkan adanya pemahaman PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) di daerah terhadap Surat Keputusan Bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018, Nomor 153/KEP/2018 tertanggal 13 September 2018, dengan ketentuan “penjatuhan sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS oleh PPK dan Pejabat Yang Berwenang kepada PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”. Ketentuan dalam SKB tersebut mengakibatkan adanya pemberhentian atau pemecatan terhadap Para Pemohon. Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Surat Keputusan Bersama tersebut tidak berlaku surut dan menimbulkan keresahan terhadap Para Pemohon, dimana Surat Keputusan Bersama tersebut mengakibatkan kerugian yang diterima oleh Para Pemohon yaitu pemberhentian atau pemecatan, yang seharusnya Para Pemohon tidak terkena imbas dari terbitnya Surat keputusan Bersama tersebut. Oleh karena itu, dalil yang disampaikan Para Pemohon dalam alasan permohonan terkait dengan Surat Keputusan Bersama atau kebijakan tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas, namun lebih kepada pelaksanaan teknis terhadap suatu norma dalam undang-undang. 4) Bahwa ketentuan Pasal 87 UU ASN berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 86 UU ASN, yang secara jelas menyatakan bahwa untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS. Bahwa ketentuan mengenai displin PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk menghasilkan pegawai negeri sipil yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu terkait pelaksanaan kebijakan terhadap PNS terkait disiplin pun harus mengacu peraturan pelaksana UU ASN tersebut. 5) Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
88/PUU-XVI/2018
Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28l ayat (2) UUD Tahun 1945