Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

91/PUU-XVI/2018

Kerugian Konstitusional: Bahwa Pasal 87 ayat (2) ,Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 tentang…kepastian hukum yang adil…bertentangan dengan pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo karena tidak menjamin adanya rasa keadilan oleh karena penyeragaman perbuatan pidana terhadap setiap terdakwa dan pertanggungjawaban administrasi tersebut tanpa memberikan pengecualian kekhususan tertentu, sedangkan di sisi lain bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan dalam setiap peristiwa secara materiil tentu mengalami perbedaan sesuai dengan peran terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHP. Oleh karenanya menurut Para Pemohon diperlukan pengujian, pengkualifikasian, penelitian, terhadap ASN yang terbukti secara hukum melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau tindak pidana umum yang mana dapat dikenakan pemberhentian dengan hormat dan atau tidak dengan hormat. (Vide perbaikan permoonan hal 18). Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. Bahwa Pemohon a quo yang pada saat ini berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan pernah menjalani hukuman penjara mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 pada intinya mengatur tentang jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Pasal 28D ayat (3) pada intinya mengatur tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 pada intinya mengatur tentang setiap orang berhak atas perlakuan diskriminatif. Bahwa pasal a quo yang dimohonkan pengujian pada intinya mengatur tentang syarat mengenai PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo berlaku umum untuk semua PNS yang telah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga rumusan norma tersebut sama sekali tidak ada relevansinya dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, karenanya tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Para Pemohon yang di jadikan batu uji dalam permohonan a quo tidak tepat dan tidak ada pertautannya dengan pasal a quo UU ASN. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa Para Pemohon mengemukakan ketentuan pasal a quo UU ASN justru tidak menjamin adanya kepastian hukum dan berpotensi ditafsirkan secara subjektif dalam penerapannya oleh pejabat yang bersangkutan dalam hal ini Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) (Vide perbaikan permoonan hal 18). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa pasal a quo sama sekali tidak mengurangi hak Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, karena Pemohon kembali aktif bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan masih mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta perlakuan sama dihadapan hukum. Bahwa mengingat pasal a quo sebagaimana dinyatakan dalam huruf a tidak ada pertautannya dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, maka sudah jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo UU ASN. c. Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN berpotensi ditafsirkan secara subyektif dan sewenang-wenang oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) karena ketidakkonsistenan dan tidak adanya kepastian hukum terhadap kualifikasi atas pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat dan/atau dapat tidak diberhentikan (Vide perbaikan Permohonan hal 12). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut merupakan kekhawatiran dan asumsi Para Pemohon yang dalam permohonan a quo belum dapat membuktikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual yang dialami Para Pemohon. Bahwa dalil Para Pemohon tersebut dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit adanya kerugian konstitusional yang sangat spesifik dan aktual sudah terjadi ataupun yang potensial terjadi yang dapat dipastikan terjadi karena berlakunya pasal a quo UU ASN. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional terkait dengan pengujian pasal a quo UU ASN, karena antara pasal a quo UU ASN tidak ada pertautannya dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Para Pemohon juga tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, khusus dan aktual dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU ASN, sehingga tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan Pasal a quo UU ASN maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian UU a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara, dan menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Bahwa selain itu DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: “Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Bahwa demikian juga pertimbangan hukum oleh MK terhadap legal standing Pemohon [3.8] dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.” Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon Perkara 91, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon perkara a quo tidak mendalilkan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, aktual dan potensial dapat terjadi, dan Para Pemohon juga tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Bahwa dalam hal ini DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU ASN yang mengatur mengenai kode etik ASN yang bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN, ditentukan secara jelas pada Pasal 5 ayat (2) huruf j dan l bahwa kode etik dan kode perilaku pengaturan perilaku agar Pegawai ASN untuk tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain, dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN, sehingga adanya tindak pidana korupsi yang dibuktikan melalui proses peradilan dan dengan adanya putusan pengadilan tersebut, maka jelas bahwa PNS tersebut telah melanggar kode etik ASN. Selain itu, pada ketentuan Pasal 138 UU ASN diatur bahwa pada saat UU ASN mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kode etik dan penyelesaian pelanggaran terhadap kode etik bagi jabatan fungsional tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ASN. 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan agar ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN dimaknai “PNS diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan” (vide perbaikan permohonan hlm 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidaklah tepat mengingat kebijakan untuk mengangkat, memindahkan maupun memberhentikan PNS adalah kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan bukan kewenangan dari Pengadilan. Pelaksanaan pengangkatan, pemindahan maupun pemberhentian PNS merupakan kewenangan PPK sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Justru dengan adanya pemberhentian PNS yang dimasukkan dalam amar putusan dalam putusan pengadilan, dapat bertentangan dengan ketentuan peraturan perudang-undangan khususnya yang berkaitan dengan kepegawaian negara. 3) Bahwa terkait dengan upaya banding administrasi terhadap pemberhentian PNS, berdasarkan ketentuan dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, dapat melakukan upaya banding adminisratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. 4) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon tidak cermat dalam membaca ketentuan dalam KUHP khususnya Pasal 35 KUHP yang dicantumkan oleh Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya (perbaikan permohonan hlm 26) secara lengkap berketentuan: Pasal 35 (1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. 4. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalankan mata pencarian tertentu. (2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP tersebut, apabila dikaitkan dengan permohonan Para Pemohon, agar ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN dimaknai “PNS diberhentikan dengan tidak hormat atau tidak diberhentikan diperintahkan dalam amar putusan” dikabulkan oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, tentu akan menimbulkan disharmoni hukum antara Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian UU ASN dengan KUHP, khususnya ketentuan Pasal 35 ayat (2) KUHP. 5) Bahwa Para Pemohon mendalilkan, penghukuman berulang-ulang tidak sejalan dengan ketentuan International Cevenant On Civil And Political Right yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 khususnya ketentuan pada Pasal 14 ayat (7), oleh karenanya ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN harus dinyatakan tidak mengikat atau pemberhentian dengan hormat dan/atau tidak hormat itu dinyatakan bersamaan dengan amar putusan di pengadilan tindak pidana korupsi (vide perbaikan permohonan hlm 22-23) Bahwa terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut tidak tepat. Bahwa sebagaimana disampaikan Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya, ketentuan Pasal 14 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) mengatur bahwa “Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara”. Ketentuan tersebut perlu diperhatikan dengan seksama mengingat ketentuan Pasal 14 UU No.12 Tahun 2005 tersebut mengatur terkait kedudukan dan hak yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Sedangkan Pemberhentian PNS berdasarkan ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN tidak berkaitan dengan peradilan maupun hukum pidana sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 tersebut. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU ASN mengatur bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya pemberhentian PNS, yang merupakan bagian dari ASN bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan oleh Pengadilan, melainkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). 6) Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, ketentuan pasal-pasal a quo UU ASN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

91/PUU-XVI/2018

Pasal 87 ayat (2) dan 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN.

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28l ayat (2) UUD Tahun 1945