93/PUU-XVI/2018
Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa menurut Para Pemohon, Pasal 92 ayat (2) huruf c beserta penjelasan dan lampiran UU Pemilu yang mengatur mengenai anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang menyebabkan kinerja Bawaslu tidak maksimal dan dapat berimplikasi terganggu/terabaikannya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1), (2), (3) dan (5) UUD Tahun 1945. Kendala yang sangat potensial pasti adalah dalam hal Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah 3 (tiga) orang akan menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada Bawaslu kabupaten/kota (vide Pasal 101 UU Pemilu). Oleh karena itu penentuan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/kota berbasis jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administrative pemerintahan sebagaiman uraian tersebut tidak memiliki pertimbangan dan argumentasi hukum yang jelas (vide Perbaikan Permohonan hlm. 19 nomor 13). 2. Bahwa menurut Para Pemohon, Pasal 92 ayat (2) huruf c beserta penjelasan dan lampiran UU Pemilu yang mengatur mengenai anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang berpotensi menambah beban kinerja anggota Bawaslu Kabupaten/kota yang anggotanya berjumlah 3 (tiga) orang lebih berat yang tentunya akan berimplikasi terhadap terganggunya asas pelaksanaan pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta berpotensi terganggunya pelaksanaan pemilu sesuai prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien (vide Perbaikan Permohonan hlm. 26 nomor 20) Legal Standing: a. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa “karena jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/kota ditetapkan 3 (tiga) orang untuk dapat mengabdi sebagai Anggota Bawaslu Kabupaten/kota menjadi hilang” sehingga merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Atas dalil tersebut DPR RI berpandangan bahwa merujuk pada hak konstitusional Para Pemohon yang kemudian juga menjadi batu uji dari pengujian uu a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki hak/dan atau kewenangan konstitusional. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2), (3) dan (5) UUD Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai Bawaslu. Selain itu, ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai pelaksanaan pemilu dan tidak mengatur terkait hak konstitusional warga negara sehingga tidak relevan apabila menggunakan ketentuan tersebut sebagai batu uji ketentuan pasal a quo UU Pemilu. Ketentuan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu mengatur mengenai jumlah keanggotaan Bawaslu kabupaten/kota yang tidak berkaitan dengan pekerjaan Para Pemohon. Oleh karenanya, Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dan pengujian ketentuan pasal a quo menjadi tidak beralasan. b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang. Bahwa pasal a quo sama sekali tidak mengurangi hak Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, karena Pemohon kembali aktif bekerja. Bahwa DPR RI berpandangan bahwa tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon berdasarkan penjelasan di atas telah dapat diketahui bahwa Para Pemohon tidak kerugian hak dan/kewenangan konstitusional sebagaimana yang yang didalilkan oleh Para Pemohon. Selain itu, terhadap alasan Para Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo UU Pemilu “menyebabkan kinerja Bawaslu tidak maksimal dan dapat berimplikasi terganggu/terabaikannya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1), (2), (3) dan (5) UUD Tahun 1945. Kendala yang sangat potensial pasti adalah dalam hal Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah 3 (tiga) orang akan menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada Bawaslu kabupaten/kotaberpotensi menimbulkan gangguan terhadap asas pelaksanaan pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta berpotensi terganggunya pelaksanaan pemilu sesuai prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien”, menurut penalaran yang wajar atas berlakunya ketentuan pasal a quo itu hanya bersifat asumtif saja tanpa adanya dasar yang jelas mengenai kerugian konstitusional yang benar-benar dialami Para Pemohon. Terlebih bahwa ketentuan pasal yang dimohonkan pengujian adalah pasal yang mengatur mengenai keanggotaan Bawaslu, yang secara tegas melarang seorang warga negara yang ingin menjadi anggota berasal dari partai politik. c. Terkait dengan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa kendala yang sangat potensial pasti adalah dalam hal Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah 3 (tiga) orang akan menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada Bawaslu kabupaten/kota (vide Pasal 101 UU Pemilu). Oleh karena itu penentuan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/kota berbasis jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administrative pemerintahan sebagaiman uraian tersebut tidak memiliki pertimbangan dan argumentasi hukum yang jelas (vide Perbaikan Permohonan hlm. 19 nomor 13). Bahwa DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon bukanlah kerugian konstitusional. Selain itu, sebagaimana pandangan DPR RI dalam poin b, menurut penalaran yang wajar atas berlakunya ketentuan pasal a quo itu hanya bersifat asumtif saja tanpa adanya dasar yang jelas mengenai kerugian konstitusional yang benar-benar dialami Para Pemohon. Dengan tidak adanya kerugian konstitusional tentu saja tidak akan ditemukan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa DPR RI berpandangan berdasarkan pandangan DPR pada poin b dan c, tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka tentu saja tidak ada hubungan sebab akibat atas kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU Pemilu. e. Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa DPR RI berpandangan bahwa berdasarkan pandangan-pandangan DPR RI sebelumnya, dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, maka apabila permohonan a quo dikabulkan atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon yang bersifat konstitusional. Bahwa selain itu DPR RI memberikan pandangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: “Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Bahwa demikian juga pertimbangan hukum oleh MK terhadap legal standing Pemohon [3.8] dalam Perkara Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang mengujikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam menilai ada tidaknya kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954, akan mendasarkan kepada Putusan Nomor 27/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2010 yang mensyaratkan adanya pertautan antara para Pemohon dengan Undang-undang yang dimohonkan pengujian.” Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon Perkara 87, 88 dan 91, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon Perkara 87, 88 dan 91 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon perkara a quo tidak mendalilkan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik, aktual dan potensial dapat terjadi, dan Para Pemohon juga tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu. Bahwa dalam hal ini DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Pokok Perkara: 1) Bahwa DPR RI berpandangan berdasarkan dalil Para Pemohon yang menyatakan “Bahwa dalam penyusunan suatu norma, khususnya norma hukum kepemiluan tidak semata-mata mendasarkan pada aspek dinamika politik. Namun yang paling mendasar dalam pembentukan suatu norma atau peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi maupun tidak selain secara hierarkis tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga harus berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik antara lain: asas keadilan, asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan; Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota di sebagian wilayah hanya 3 (tiga) orang Komisioner” (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13 nomor 4), dalil Para Pemohon tersebut sudah benar. Maka apabila Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal a quo UU Pemilu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tentu sangat bertentangan dengan dalil Para Pemohon yang telah disampaikan dalam perbaikan permohonannya. Selain itu, dengan tidak adanya kerugian atas hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana telah diuraikan di bagian kepentingan hukum (legal standing) karena tidak ada relevansi antara ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2), (3), dan (5) UUD Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dengan ketentuan pasal a quo UU Pemilu maka Mahkamah Konstitusi tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. 2) Bahwa DPR RI berpandangan berdasarkan dalil Para Pemohon yang menyatakan “Bahwa pembuat undang-undang menggunakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) menentukan jumlah keanggotaan pengawas ditingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu sebanyak “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” (vide Perbaikan Permohonan hlm. 15 nomor 8), dalil tersebut sudah benar dan Para Pemohon telah memahami bahwa pengaturan dalam pasal a quo UU Pemilu merupakan delegasi kewenangan terbuka pemerintah yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. 3) Bahwa Para Pemohon mendalilkan perhitungan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan junlah wilayah administratif telah mengakibatkan jumlah keanggotaan Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang terjadi di 328 kabupaten/kota, yang kemudian dihubungkan dengan petitum yang dimohonkan dalam permohonan pengujian a quo yang memohon agar Makhamah Konstitusi menyatakan “Pasal 92 huruf c beserta penjelasan dan lampiran UU Pemilu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 5 (lima) orang”. Bahwa terhadap dalil tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal ini akan memberikan dampak bagi keuangan daerah, dimana anggota Bawaslu Kabupaten/Kota diberikan hak-hak keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, yang mana kita ketahui belum semua daerah, khususnya kabupaten/kota sudah memiliki stabilitas APBD yang baik. Selain itu, hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip pelaksanaan pemilu secara efisien sebagaimana yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. 4) Bahwa selain itu, DPR RI memandang perlu mempedomi Pendapat MK pada angka [3.17] Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut: “menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinyaa sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan untuk memenuhi parliamentary treshold dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 010/PUU-III/2005 tertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk uu, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. Bahwa merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR RI berpandangan telah tegas dijelaskan bahwa ketentuan “jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang” murni merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Adapun jika Para Pemohon mendalilkan hal tersebut merupakan pelanggaran konstitusi (constitusional breaching) dan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan dinilai buruk maka sesuatu yang dinilai buruk tersebut tidak semerta-merta dapat diartikan sebagai sesuatu yang melanggar konstitusi, serta menjadi tidak benar bila dinyatakan telah terjadi suatu pelanggaran konstitusi (constitusional breaching) karena sejatinya ketentuan “jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang” itu sendiri telah sejalan dengan amanat konstitusi dengan konsep menyederhanakan partai politik dan memperkuat sistem demokrasi. 5) Bahwa perubahan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang efisien, sebagaimana yang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan diselenggarakannya pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dimuat dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. Penetapan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang dengan didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luaswilayah, dan jumlah wilayah administratif sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu. Penyertaan kriteria dalam penentuan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota bertujuan untuk memberikan kepastian dan keseragaman bagi seluruh daerah di Indonesia. 6) Bahwa terhadap dalil dari Para Pemohon yang menyatakan “bahwa dengan beban tugas yang diberikan kepada Bawaslu dalam Undang-Undang Pemilu yang mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibaan dalam setiap peroses tahapan penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU, maka dengan jumlah Anggota Bawaslu 3 (tiga) orang akan membuat kinerja Bawaslu tidak maksimal dan dapat berimplikasi terganggu/terabaikannya tahapan penyelenggaraan Pemilu.” (vide Permohonan hlm. 25 nomor 18), DPR-RI berpandangan hal tersebut hanyalah kekhawatiran Para Pemohon saja. Bahwa dalam pelaksanaan tugasnya Bawaslu tidak melaksanakan sendiri, karena Bawaslu Kabupaten/Kota dibantu oleh kesekretariatan Bawaslu, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 151 UU Pemilu. Dalam Pasal 152 juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, wewenang, dan tata kerja sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Presiden. 7) Bahwa terhadap dalil-dalil Para Pemohon, DPR RI berpandangan ketentuan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu tidak bertentangan dengan pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UUD Tahun 1945.
93/PUU-XVI/2018
Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu
Pasal 22E ayat (1), (2), (3) dan (5) UUD Tahun 1945.