95/PUU-XV/2017
1) Berdasarkan dalil dan petitum Pemohon, secara singkat disimpulkan bahwa Pemohon meminta agar Pasal 46 ayat (1) UU KPK dianggap tidak berlaku dan bertentangan dengan UUD 1945 apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR dalam suatu perkara tindak pidana korupsi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tanpa izin tertulis Presiden. Rumusan pasal tersebut dianggap berpotensi multitafsir atas makna prosedur khusus pada pasal a quo; 2) Pasal a quo dianggap bertentangan dengan konstitusi (jaminan hak imunitas pada Pasal 20A ayat (3) UUD 45), serta mengesampingkan Pasal 245 ayat (1) dan Pasal 224 ayat (5) UU MD3, yang telah diputus MK bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. (setelah putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tertanggal 20 November 2014) Permohonan pemohon berkaitan dengan dua poin penting, yaitu: penyidikan dan hak imunitas; Sebagaimana didalilkan oleh Pemohon berikut: Bahwa Pasal 46 ayat (1) UU KPK telah menimbulkan perbenturan hukum yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dengan berlakunya Pasal 245 ayat (1) UU MD3, kondisi demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan merugikan hak-hak konstitusional pemohon sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1), Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 yakni anggota DPR mempunyai hak khusus, salah satunya hak imunitas. (vide perbaikan permohonan hlm. 15) 3) Bahwa pasal a quo terkait dengan beberapa pasal dalam UU MD3 sebagai berikut: Pasal 224: Ayat (1): Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR Ayat (2): Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR Ayat (3): Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Ayat (4): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5): Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (Putusan MK RI No. 76/PUU XII/2014: izin tertulis Presiden) Pasal 245: Ayat (1): Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (Putusan MK RI No. 76/PUU XII/2014: izin tertulis Presiden-) Ayat (2): Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan; Ayat (3): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus” 4) Selain itu, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dan dianalisis terlebih dahulu: Terkait petitum poin 2 Pemohon untuk menyatakan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang KPK tidak berlaku dan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR dalam suatu perkara tindak pidana korupsi; Serta petitum poin 3 pemohon bahwa Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap anggota DPR sepanjang tanpa izin tertulis dari Presiden; Bahwa hal ini juga terkait dengan sub bagian “Penyidikan” pada Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang mengatur bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis Presiden. Selanjutnya mengenai hal di atas, Pemohon juga menjelaskan bahwa: Bahwa Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam rana penyidikan yang masuk dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dimaknai pemanggilan terhadap anggota DPR RI wajib terlebih dahulu memperoleh izin tertulis dari Presiden. Namun Mahkamah belum memberikan penafsiran terhadap Pasal 245 ayat (3) UU MD3. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9) Pemanggilan dan permintaan seseorang yang menjabat sebagai anggota DPR sebagai saksi, baik dalam kasus penyelidikan maupun penyidikan memang telah diatur dalam Pasal 245. DPR RI berpendapat bahwa ketentuan ini dianggap tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus (seperti korupsi maupun terorisme) di mana ketentuan Pasal 245 ayat (3) sudah cukup jelas. Adapun Pasal 245 ayat (3) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: d. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; e. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau f. disangka melakukan tindak pidana khusus” 5) Bahwa korupsi adalah kejahatan internasional sebagaimana tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Korupsi merupakan jenis tindak pidana luar biasa, serius, berdampak luas bagi masyarakat, bangsa, dan negara sehingga penanganannya dengan cara-cara khusus. Cara-cara khusus tersebut di antaranya tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU di luar KUHP, yakni UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, juga terdapat lembaga khusus yang menangani seperti KPK dan dengan hukum acara yang berbeda. 6) Bahwa sebagaimana diatur pada Penjelasan UU KPK bahwa tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. 7) Bahwa hak imunitas anggota DPR sebagai wakil-wakil rakyat merupakan hal yang pantas diberikan, khususnya terkait pendapat, pernyataan, tindakan dan kegiatan anggota DPR di dalam dan di luar rapat DPR selama masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya. 8) Bahwa apakah pasal 46 ayat (1) dapat dikatakan bertentangan dengan yang didalikan Pemohon yaitu Pasal 224 ayat (5) UU MD3? Berikut yang didalilkan pemohon: Bahwa jika dikaitkan dalam prosedur khusus yang diamanatkan UU KPK dengan prosedur khusus yang dipersyaratkan oleh UU MD3 jo Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 November 2014 terhadap proses hukum anggota DPR dalam suatu tindak pidana telah mengakibatkan perbenturan hukum yang pada akhirnya mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum karena Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menguraikan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan tidak mengisyaratkan adanya subordinat suatu pemberlakukan UU, dengan kata lain menempatkan suatu undang-undang di bawah undang-undang lain. (vide perbaikan permohonan hlm. 14) DPR RI berpendapat bahwa secara teoritis jika terdapat pertentangan antara bunyi pasal UU yang sederajat, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada asas hukum yang berlaku universal, dikenal dengan asas undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan adanya undang-undang yang bersifat umum (asas lex specialis derogate legi generali). Jika tidak dapat diselesaikan dengan asas hukum, maka merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Jika dianggap bertentangan dengan UU MD3 maka tidak dapat dijadikan dasar pengujian konstitusionalitas di MK karena pertentangan yang terjadi antar UU sementara kewenangan MK hanya untuk menguji materiil Undang- Undang yang bertentangan dengan Konstitusi (Vertical Judicial Review). Namun sebagai perbandingan dan pertimbangan, dapat pula dilakukan telaah lebih jauh terkait jaminan hak imunitas yang memang telah dijamin melalui 20A ayat (3) UUD 1945. Sementara itu, berdasarkan putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 224 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. 9) Bahwa kemudian, Pasal 224 ayat (5) mengakomodir hak imunitas dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, dengan batasan (sebagaimana diatur Pasal 224 ayat (1) sampai ayat (4): 1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR; 2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR; 3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR; 4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas, terdapat pendapat bahwa pasal UU MD3 tersebut tidak serta merta dapat juga diberlakukan untuk perkara yang melibatkan pemohon (dugaan tindak pidana korupsi). Putusan MK terkait pasal tersebut tidak termasuk untuk tindak pidana khusus. 10) Bahwa terkait dengan persetujuan presiden terdapat beberapa esensi berdasarkan pertimbangan MK dalam putusan putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tertanggal 20 November 2014: a. sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, anggota DPR mempunyai hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta imunitas. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga anggota DPR tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya. b. persyaratan persetujuan tertulis dari MKD dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Lagi pula, hal ini dipandang tidak tepat karena MKD, meskipun disebut \"mahkamah\", sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik dan tidak memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. c. dalam upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, MK berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden dan bukan dari MKD. 11) Bahwa terkait dengan petitum pemohon atas pemaknaan izin Presiden pada Pasal 46 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, jika permohonan pemohon dikabulkan, maka norma tersebut hanya berdampak untuk tersangka KPK dengan jabatan tertentu (dalam hal ini Pemohon sebagai Ketua DPR RI). Sementara penafsiran sebuah UU oleh MK tersebut seyogyanya dapat diberlakukan umum dan jika memang terbukti dialami masyarakat secara umum bertentangan dengan konstitusi. Jika terdapat tersangka pada kasus lainnya yang bukan anggota DPR misalnya, tentu akan menimbulkan kerancuan lanjutan ketika ditafsirkan serupa, di mana izin presiden juga harus diterapkan untuk tersangka dengan jabatan atau profesi lainnya. 12) Bahwa DPR RI berpendapat, hal tersebut merupakan penambahan norma yang seharusnya tidak serta merta dilakukan melalui pengujian di MK karena pengujian undang-undang berarti menguji kesesuaian antara isi Undang-Undang tertentu dengan isi Undang-Undang Dasar sesuai Pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi,”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar”, bukan menguji satu atau beberapa pasal dalam suatu Undang undang atau beberapa pasal antara beberapa Undang-Undang yang sudah sinkron dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lagi karena “cukup” diartikan dari kata kata yang terdapat di dalamnya. Hal ini juga demi menjaga asas kepastian hukum (asas lex certa) dalam artian tidak memerlukan penafsiran lain dari apa yang tertera dalam norma. 13) Bahwa jika pemohon tetap ingin perumusan norma yang lain, maka dapat dilakukan dengan pengajuan legislative review ke DPR RI sebagai lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. 14) Bahwa sebagaimana diatur pada Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU KPK, ''prosedur khusus" yang dimaksud tidak berlaku adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. DPR RI menilai bahwa apabila permohonan Pemohon dikabulkan, justru berpotensi mengurangi esensi cara-cara khusus yang diatur untuk penegakan korupsi yang optimal. Pasal a quo juga telah menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
95/PUU-XV/2017
Pasal 46 ayat (1) UU KPK
Pasal 20A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 194