24/PUU-XV/2017
Kerugian Konstitusional Pemohon : a. Bahwa menurut Pemohon eksistensi Pasal 23 Ayat (2) dan (3) dan Pasal 33 UU Parpol serta frasa a quo dalam Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada telah memberikan ruang bagi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia yaitu Kementerian Hukum dan HAM untuk mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan pasal tersebut pengakuan sahnya pimpinan suatu partai politik yang telah menempuh upaya penyelesaian pada pengadilan tidak lagi semata-mata digantungkan pada putusan pengadilan, akan tetapi digantungkan juga pada pendaftaran yang dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia yaitu Kementerian Hukum dan HAM. (Vide permohonan halaman 11) b. Bahwa menurut Pemohon adanya Pasal 33 UU Parpol serta frasa a quo dalam pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada memberi peluang kepada kekuasaan eksekutif (Menteri Hukum dan HAM) untuk mengabaikan putusan pengadilan. Sebuah hal yang secara langsung atau tidak langsung melanggar prinsip Negara hukum dan prinsip jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka (The Independence of Judiciary). Seperti halnya yang terjadi pada kasus yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, Pasal 33 UU Parpol serta Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada jelas bertentangan dengan prinsip Negara Hukum (rechtstaat) dan prinsip Independence of Judiciary, yang karenanya pula bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) jo. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. (Vide permohonan halaman 18) c. Bahwa Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 23 UU Parpol berkaitan dengan pendaftaran pergantian kepengurusan partai politik dalam proses yang normal berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik. Ketentuan tersebut tidak menjangkau pendaftaran pergantian kepengurusan berdasarkan putusan mahkamah partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akibat dari perselisihan internal partai politik. Bahwa demikian juga tidak ada ketentuan lain dari UU Parpol yang mengatur secara spesifik pendaftaran pergantian kepengurusan partai politik berdasarkan putusan mahkamah partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga ketentuan Pasal 23 Ayat (2) dan (Ayat (3) yang tidak mengatur mekanisme pendaftaran pergantian kepengurusan parpol berdasarkan keputusan mahkamah partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah norma yang tidak memberikan kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Vide permohonan halaman 23-24) d. Bahwa seharusnya menurut hukum, Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah kepengurusan DPP PPP yang dipimpin oleh Pemohon. Akan tetapi, Kementerian Hukum dan HAM dengan Surat Keputusan (SK) No. M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2016 mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dan mendaftarkan kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan yang dilaksanakan di Pondok Gede pada tanggal 8 sampai 11 April 2016 yang dipimpin oleh H.M. Romahurmuziy sebagai Ketua Umum, padahal Muktamar Pondok Gede tersebut dilaksanakan setelah terbitnya putusan pengadilan a quo bukan oleh Pemohon selaku pengurus yang sah. Sehingga tindakan tersebut tentu saja sangat merugikan Pemohon karena seharusnya Pemohon adalah orang yang berhak untuk disahkan sebagai Ketua Umum DPP PPP oleh Kementerian Hukum dan HAM. (Vide permohonan halaman 9) e. Bahwa tindakan Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Surat Keputusan (SK) No. M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2016 tanggal 27 April 2016 yang menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan hak konstitusionalnya untuk menjabat sebagai Ketua Umum DPP PPP dilakukan karena ketidakpastian pada norma yang terkandung dalam Pasal 23 Ayat (2) dan (3) serta Pasal 33 UU Parpol dan dikukuhkan lagi dengan adanya Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada. Tidak adanya kepastian hukum bahwa Menteri Hukum dan HAM wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sengketa partai politik mengakibatkan Menteri Hukum dan HAM mendapat peluang untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu hubungan antara kerugian Pemohon dengan ketidakpastian pada norma yang terkandung dalam Pasal 23 Ayat (2) dan (3) serta Pasal 33 UU Parpol serta Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada, terbukti merupakan hubungan langsung (causa) verband), karena akibat yang dihasilkannya bukan lagi bersifat potential loss melainkan actual loss yang dalam perkara ini Pemohon tidak memperoleh haknya untuk menjadi Ketua Umum DPP PPP. (Vide permohonan halaman 10) Legal Standing : a. Terkait syarat adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 Berdasarkan pemohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon telah diberikan oleh UUD 1945 yang didasarkan pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan: “Pemohon adalah perseorangan warga negara Republik Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh konstitusi yaitu hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dan hak untuk memperoleh perlindungan keadilan dari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana seharusnya Pemohonadalah orang yang berhak untuk disahkan sebagai Ketua Umum DPPP PPP oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM walaupun telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) akibat adanya norma Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada” (vide Permohonan, hlm.5, nomor 9). Terhadap hal tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak-hak yang dijamin dalam UUD 1945. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. b. Terkait syarat bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Dalam pemohonan Pemohon dinyatakan:“bahwa akibat adanya norma undang-undang tersebut telah memberi kemungkinan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 yang telah memutuskan bahwa pengurus DPP PPP yang sah secara hukum adalah pengurus yang dipimpin oleh Pemohon sebagai Ketua Umum” (vide Permohonan, hlm.5-6, nomor 10). Bahwa terkait dengan dalil Permohonan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon hanya berasumsi saja menyalahkan norma di undang-undang baik itu di Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada. Pemohon menguraikan persoalan secara ambigu, tidak jelas, dan/atau bersifat multitafsir. Adapun jikalau Pemohon menyalahkan tindakan Menkumham yang tidak kunjung menetapkan putusan pengadilan sebagai dasar SK yang menurut Pemohon seharusnya adalah merupakan hal (yang jika hal tersebut benar) berada pada tataran implementasi dan bukan terkait dengan permasalahan normatif. c. Terkait syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada tersebut telah merugikan Pemohon karena dengan berlakunya pasal-pasal tersebut Pemohon kehilangan hak nya sebagai Ketua PPP yang sah (menurut Pemohon). Adapun terkait hal ini Para Pemohon sebenarnya hanyalah berasumsi belaka karena kerugian konstitusional dikarenakan menghubungkan keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada dengan sikap yang dilakukan Menkumham adalah 2 hal yang berbeda. Pemohon tidak dapat mencampurkan hal yang sifatnya normatif berlaku dengan hal yang sifatnya tindakan seorang pejabat dalam hal ini Menkumham. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang nyatakan oleh Para Pemohon tersebut adalah baru sebatas asumsi belaka. d. Terkait syarat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan alasan akibat adanya norma undang-undang tersebut telah memberi kemungkinan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. DPR RI berpandangan bahwa pasal-pasal a quo yang dimohonkan oleh Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat dengan Pemohon. Dikarenakan Menkumham memiliki tugas dan kewajibannya sendiri, sedangkan norma di undang-undang adalah norma yang sifatnya adaalah perangkat aturan yang tinggal dilaksanakan oleh pihak yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Oleh karena itu DPR melihat hal ini bukanlah persoalan norma namun persoalan implementasi sehingga dalam hal ini tidak terdapat relevansi antara kerugian serta hak konstitusional Pemohon. e. Terkait syarat adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa keberlakuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan alasan akibat adanya norma undang-undang tersebut telah memberi kemungkinan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. DPR RI berpandangan tidak ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi, karena dampak yang disampaikan Pemohon dalam permohonan a quo hanyalah baru sebatas asumsi belaka. Pokok Perkara : 1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD Tahun 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sangatlah tidak tepat. Bahwa ketentuan penetapan kepengurusan partai politik dalam Pasal a quo merupakan bentuk dari prinsip pemisahan kekuasaan dalam hal ini kewenangan kekuasaan eksekutif. Hal ini merupakan bagian dari implementasi prinsip negara hukum, yang didalamnya menganut prinsip supremacy of law, equality before the law, dan due process of law yang merupakan inti dari Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945; DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal- pasal yang diujikan dalam perkara a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD Tahun 1945; 2) Bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem organisasi di Indonesia yang merupakan Badan Hukum sejatinya perlu diatur oleh pemerintah dalam hal tertib administrasi serta pendaftaran dan pendataannya. Sehingga ketentuan Pasal a quo yang mensyaratkan pendaftaran kepengurusan partai politik pada Menteri yang membidangi urusan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah sudah tepat; 3) Bahwa ketentuan Pasal a quo sejatinya sudah tepat namun dalam perkara in casu yang dialami oleh Pemohon pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma. Sehingga dalam hal ini yang terjadi sejatinya adalah permasalahan implementasi norma. Adapun putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut apabila tidak dilaksanakan oleh Kementerian terkait sejatinya merupakan bentuk pelanggaran administrasi negara, sehingga hal ini bukanlah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi namun kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara apabila ada pihak yang merasa dirugikan. 4) Bahwa pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastiaan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan pasal- pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, sangatlah tidak tepat. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastiaan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sejatinya juga dapat dibatasi menurut Pasal 28J ayat (2) yang menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, dalam hal ini melaksanakan apa yang telah diatur dalam pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo. DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945; 5) Bahwa Pasal 28D Ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastiaan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, sangatlah tidak tepat. Bahwa penekanan tentang kepastian hukum kepada setiap orang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 inilah yang menjadi dasar filosofis pengaturan pasal- pasal yang diujikan dalam perkara a quo. Ketentuan Pasal a quo justru menjamin adanya kepastian hukum. Karena terdapat kepastian prosedur untuk pendaftaran serta pencatatan kepengurusan Partai Politik kepada lembaga yang berwenang melakukan pencatatan dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila ketentuan Pasal a quo dihapuskan malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya dasar legalitas dari susunan kepengurusan Partai Politik yang ditetapkan dan juga menimbilkan ketidaktertiban administrasi, dalam hal ini pencatatan kepengurusan Partai Politik di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 6) Bahwa dapat disimpulkan memang sejatinya penyelesaian perselisihan partai politik yang dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik sekalipun susunan mahkamah partai politik atau sebutan lain disampaikan oleh pimpinan partai politik kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai perwakilan pemerintah yang menyelenggarakan tugas tertib administrasi partai politik. Begitu pula dengan susunan kepengurusan baru partai politik juga harus didaftarkan dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem organisasi di Indonesia yang merupakan Badan Hukum sejatinya perlu diatur oleh pemerintah dalam hal tertib administrasi serta pendaftaran dan pendataannya. Sehingga ketentuan Pasal a quo yang mensyaratkan pendaftaran kepengurusan partai politik pada Menteri yang membidangi urusan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah sudah tepat. Sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yaitu : Pasal 2 “Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.” Pasal 3 huruf a “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan, administrasi hukum umum, pemasyarakatan, keimigrasian, kekayaan intelektual, dan hak asasi manusia;” Pasal 14 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan administrasi hukum umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal a quo sejatinya sudah tepat namun dalam perkara in casu yang dialami oleh Pemohon pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma. Sehingga dalam hal ini yang terjadi sejatinya adalah permasalahan implementasi norma. 7) Bahwa Pemohon juga mempersalahkan norma yang berlaku Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada ketika Menteri Hukum dan HAM tidak menggunakan pijakan putusan pengadilan yang didalilkan oleh Pemohon sebagai putusan yang terakhir (menurut Pemohon). Adapun ketika mempersoalkan bahwa pihaknya adalah yang benar melalui Putusan pengadilan yang dimaksud pemohon dalam hal ini adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 tersebut, maka janganlah norma undang-undang yang dipersalahkan. Sikap Menteri Hukum dan HAM jikalau belum bersikap ketika keluar Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus- Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 tersebut adalah sikap seorang pejabat negara, sehingga bukanlah kesalahan norma dalam undang- undang. Oleh karena itu persoalan ada pada tataran implementasi dan persoalan politik, bukan persoalan konstituonalitas dari norma pasal-pasal tersebut. 8) Bahwa lebih lanjut lagi jika menyelami maksud dan mendalami keinginan dari Pemohon yang tergambar dari petitum permohonan ini, sejatinya Pemohon dikarenakan merasa putusan yang menguatkan dirinya diabaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, maka meminta kepada MK agar frasa “dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia” dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sejatinya dalam hal ini berarti Pemohon minta ketika ada putusan pengadilan, maka putusan pengadilan itu harus langsung berlaku dan menjadi rujukan tanpa menunggu Menteri Hukum dan HAM mengganti SK partai yang dimaksud. Hal ini adalah pemahaman yang keliru. Mengapa keliru? Putusan adalah vonis yang berarti perintah dan juga peroduk dari lembaga peradilan, sedangkan SK partai adalah keputusan (beschikking) yakni penetapan administratif. Sehingga adalah sudah tepat norma yang berlaku saat ini karena putusan haruslah dilanjutkan oleh penetapan administratif dahulu. Oleh karena itu adalah tidak tepat keinginan Pemohon dengan landasan kondisi faktual dan empiris yang dialami langsung tersebut. Ketika Menteri Hukum dan HAM tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung RI No. 504K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 601K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015, bukan berarti persoalan ada di norma sehingga ingin menghilangkan peran Menteri Hukum dan HAM yang diatur dalam norma yang berlaku saat ini, karena jelas putusan dan keputusan adalah dua produk hukum yang berbeda. 9) Bahwa terkait norma Pasal 40A UU Pilkada ini juga, Pemohon perlu memahami bahwa pengaturan untuk penanganan kepesertaan partai politik dalam pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik merupakan suatu pilihan kebijakan yang lahir dari delegasi kewenangan yang diberikan kepada pembentuk undang-undang, dan hal ini semata- mata demi mewujudkan Pilkada yang demokratis. Sehingga sesungguhnya pengaturan dalam Pasal 40A UU Pilkada merupakan pengaturan yang konstitusional. Hal ini dikarenakan sistem-sistem tersebut adalah wujud pilihan sistem yang lahir dari delegasi kewenangan yang dimandatkan UUD Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang demi mewujudkan Pilkada yang dilaksanakan secara demokratis. Pasal 18 UUD Tahun 1945 menyatakan sebagai berikut: Pasal 18 UUD Tahun 1945 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Oleh karena Pasal 18 UUD Tahun 1945 terutama pada ayat (7) mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang, maka sejatinya pilihan kebijakan untuk penanganan kepesertaan partai politik dalam pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40A UU Pilkada adalah konstitusional. Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak pernah membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU- VI/2008 yang menyatakan sebagai berikut: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. Oleh karena itu selama norma yang diatur oleh pembentuk undang- undang adalah norma yang berupaya mewujudkan amanat dari konstitusi itu sendiri dan demi terlaksananya Pilkada yang demokratis, maka sejatinya pengaturan untuk penanganan kepesertaan partai politik dalam pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40A UU Pilkada adalah benar adanya dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karena itu dalam hal ini dapat diketahui bahwa Para Pemohon kurang memahami hal yang dimohonkannya sendiri. 10) Bahwa pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Apalah artinya norma yang ada dilestarikan namun memunculkan kekisruhan/ keresahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit). Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas. Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol begitu juga Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada. 11) Bahwa ketentuan dalam Pasal 23 Ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwa: “Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.” Sedangkan Pasal 23 Ayat (3) UU Parpol menyatakan bahwa : “Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.” Hal ini menegaskan kewenangan Penyelenggara Negara Bidang Eksekutif dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjalankan tugasnya mengesahkan dan menetapkan Susunan Kepengurusan Partai Politik. Sementara dalam Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada menyatakan bahwa : Jika masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dapat disimpulkan bahwa penetapan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan dihilangkan sebagai bentuk penyelenggaraan kekuasaan bidang eksekutif. Sehingga menurut DPR RI, pengaturan dalam Pasal a quo sudah menjamin kepastian hukum dan tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya, karena sudah sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan. 12) Bahwa dalam setiap penetapan maupun keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Publik selalu mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan). Sesuai dengan dasar menimbang huruf c UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi : “Bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan” Lebih lanjut dalam UU Administrasi Pemerintahan dijabarkan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan suatu keputusan oleh Pejabat Publik, yaitu : Pasal 8 (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. (2) Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan perundang-undangan; dan b. AUPB. (3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 9 (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Pasal 52 (1) Syarat sahnya Keputusan meliputi: a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. dibuat sesuai prosedur; dan c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. (2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Sehingga sejatinya dalam setiap penetapan maupun keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Publik termasuk juga Pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentunya mengacu kepada ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut.
24/PUU-XV/2017
Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23 Ayat (3), Pasal 33 UU Parpol dan Pasal 40A Ayat (3) UU Pilkada
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945